Jumat, 23 September 2011

FIKIH RAMADAN

Menjawab Pertanyaan Dari Eropa

Abd. Salam Nawawi

Tulisan ini disusun untuk memenuhi harapan sahabat saya, Prof. Dr. K.H. Muhammad Ali Aziz, M.Ag. (Pak Ali), agar saya sharing jawaban atas masail al-fiqh dari Eropa (tepatnya Amsterdam, Belanda), menjelang Ramadan 1432 H. (Agustus 2011). Masail al-fiqh tersebut dikirim via email bertanggal 14 Mei 2011 oleh Hamzah, Kordinator Dakwah PPME (Perkumpulan Pemuda Muslim Eropa (PPME), kepada MUI Jatim via Pak Ali, dan Pak Ali kemudian memforwardnya kepada saya. Meskipun saya sendiri adalah anggota Komisi Fatwa MUI Jatim, namun jawaban dalam tulisan ini sepenuhnya atas nama pribadi. Mengingat pertanyaan yang dikirim Hamzah terdiri dari tiga item, saya pilah tulisan ini menjadi tiga bagian.

(1)

Ramadlan tahun 2011 ini di Belanda, waktu puasa amat panjang. Maghrib pukul 10 malam dan Subuh pukul 4 pagi. Apakah kami boleh meninggalkan puasa, lalu kami qadla nanti pada musim yang tidak memberatkan kami untuk puasa. Musim dingin misalnya. Ataukah kami boleh berpuasa dengan mengikuti waktu di negara terdekat yang kira-kira 14-15 jam panjang harinya. Ataukah ada alternatif lain?

Ada tiga masalah yang termuat dalam pertanyaan ini. Setiap masalah perlu diberi jawaban tersendiri sebagai berikut:

Pertama, hukum tidak berpuasa pada bulan Ramadan karena waktunya amat panjang dengan maksud mengqadlanya pada waktu yang lain.

Masalah ini akan dijawab dengan bertolak dari peringatan Rasulullah SAW berikut ini:

مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ رُخْصَةٍ رَخَّصَهَا اللهُ لَهُ لَمْ يَقْضِ عَنْهُ صِيَامُ الدَّهْر وَإِنْ صَامَهُ ِ (رواه الطيالسى وأحمد وأبو داود والترمذى وابن ماجه والبيهقى)

Barangsiapa berbuka (tidak berpuasa) pada satu hari dari Ramadan bukan karena rukhshah (dispensasi) yang diberikan Allah untuknya, maka satu hari itu tidak dapat diqadla dengan puasa selama setahun, jika pun ia melakukannya.

Siapa gerangan orang yang diberi rukhshah oleh Allah SWT untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadan dengan keharusan mengqadla pada hari lain? Dari firmanNya dalam al-Qur’an surat 2, al-Baqarah, ayat 184 dan 185 dapat dipahami bahwa rukhshah tersebut diberikan oleh Allah SWT kepada (1) orang sakit dan (2) orang yang sedang dalam perjalanan. Teks firman Allah tersebut berbunyi begini:

... فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ... (البقرة: 184) ... وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ... (البقرة: 185)

… Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (ia wajib berpuasa) sebanyak hari itu pada hari-hari yang lain … (al-Baqarah: 184) … dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (ia wajib berpuasa), sebanyak hari itu pada hari-hari yang lain …. (al-Baqarah: 185)

Di sebelah itu, fukaha mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Ahmad menyimpulkan bahwa rukhshah yang sama diberikan pula, melalui lisan RasulNya, kepada (3) wanita hamil dan (4) wanita menyusui. Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ الله تَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ ، وَعَن الْحَامِلِ أَوْ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ

Sesungguhnya Allah Ta’ala menggugurkan puasa dan separuh salat dari musafir, dan menggugurkan puasa dari wanita hamil atau wanita menyusui.

Selebihnya tidak ditemukan dalil syara’ yang memberikan rukhshah seperti itu kepada selain keempat orang di atas. Ada rukhshah lain untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadan, namun dengan konsekuensi membayar fidyah. Rukhshah ini diberikan kepada orang sakit menahun yang tidak lagi ada harapan sembuh, orang-orang yang sudah renta, dan semacamnya. Adapun wanita haid dan wanita nifas, mereka bukan diberi rukhshah, tetapi dilarang berpuasa.

Kesimpulannya, HARAM hukumnya meninggalkan puasa pada bulan Ramadan dengan alasan waktunya amat panjang, meskipun dengan maksud mengqadlanya pada waktu yang lain.

Kedua, hukum berpuasa Ramadan dengan mengikuti waktu negara lain terdekat yang waktu siangnya lebih pendek.

Para ulama telah berijmak bahwa batas waktu puasa yang disyariatkan Allah SWT adalah dari TERBIT FAJAR sampai DATANGNYA MALAM. Allah SWT menggariskan ketentuan ini dalam al-Qur’an, surat 2, al-Baqarah, ayat 187:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

Makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam,

Dalam penjelasan Nabi SAW yang dituturkan oleh Umar bin Khattab, moment datangnya malam itu ditandai oleh peristiwa TERBENAM MATAHARI di negeri setempat:

إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَا هُنَا وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ (أخرجه ابن أبي شيبة والبخاري ومسلم وأبو داود والترمذي والنسائي)

Bila malam telah datang dari sini, siang telah pergi dari sini, dan MATAHARI TELAH TERBENAM, maka berbukalah orang yang berpuasa.

Peristiwa TERBIT FAJAR dan TERBENAM MATAHARI itu terjadi pada sebagian besar kawasan di permukaan Bumi. Masing-masing dari kedua peristiwa itu tidak terjadi serentak di seluruh kawasan Bumi, melainkan mengalir bergantian dari satu kawasan ke kawasan yang lain. Karena itu waktu puasa adalah waktu lokal (setempat). Orang wajib memulai puasa dari terbit fajar dan mengakhirinya pada saat terbenam matahari di kawasan di mana ia berada.

Tentu saja dikecualikan dari ketentuan ini orang yang tinggal di kawasan yang tidak mengalami peristiwa TERBIT FAJAR dan TERBENAM MATAHARI seperti di kawasan kutub dan sekitarnya. Waktu puasa untuk kawasan seperti ini, karena kondisinya yang tidak normal, harus berpedoman pada kawasan lain terdekat yang mengalami TERBIT FAJAR dan TERBENAM MATAHARI.

Kesimpulannya, orang Islam yang tinggal di kawasan yang mengalami siklus terbit fajar dan terbenam Matahari, seperti Amsterdam, HARAM hukumnya berpuasa dengan mengikuti waktu puasa negara lain terdekat yang waktu siangnya lebih pendek.

Ketiga, alternatif lain agar puasa dapat dilaksanakan dalam waktu yang lebih pendek.

Agar puasa dapat dilakukan dalam waktu yang lebih pendek, alternatifnya hanya satu, yaitu berhijrah (bermigrasi) ke kawasan lain yang waktu siangnya lebih pendek dan berpuasa di sana karena, seperti telah dikemukakan, setiap orang wajib berpuasa berdasarkan waktu setempat.

Merasakan puasa dalam waktu yang lebih panjang sebagai beban yang lebih berat, tentu sangat masuk akal. Tetapi Allah SWT mensyariatkan puasa tidak untuk menimpakan kesulitan kepada hambaNya. Dengan tegas hal itu dinyatakanNya dalam al-Qur’an surat 2, al-Baqarah, ayat 185: يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ (Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu).

Allah memilih satu dari bulan-bulan kamariah, yakni Ramadan, sebagai bulan puasa. Panjang tahun kamariah yang lebih pendek 10-12 hari daripada tahun syamsiah meniscayakan Ramadan bergeser maju pada kalender syamsiah dan bergulir di antara musim-musim yang berlainan. Panjang siangnya terus berubah dalam tren memendek dan memanjang.

Karena itu, di kawasan mana pun orang menetap di permukaan Bumi ini, ia akan mengalami variasi waktu puasa yang terus berubah dalam tren memendek dan memanjang. Di kawasan tengah (sekitar khatulistiwa) rentang variasi panjang-pendeknya tidak seberapa lebar. Makin jauh dari khatulistiwa, makin lebar. Di kota Nabi, Madinah, yang terletak pada 24º 30’ Lintang Utara, misalnya, variasi waktu puasa di sana bergerak dalam rentang 3 jam 9 menit (terpendeknya 12j 1m dan terpanjangnya 15j 10m). Di kota Amsterdam yang jauh lebih ke utara (52º 22’ LU) rentang variasinya kian lebar, yaitu 9 jam 13 menit (terpendeknya 9j 48m, terpanjangnya 19j 1m).

Pada tahun 2011 ini, umat Islam di Amsterdam akan berpuasa selama 18jam lebih. Pada 2015 yang akan datang, mereka akan berpuasa selama 19 jam lebih. Tetapi pada tahun berikutnya waktu puasa di sana memasuki tren memendek hingga pada tahun 2032 hanya tinggal 9 jam 48 menit saja. Padahal pada tahun yang sama waktu puasa di Madinah adalah 12 jam 1 menit, dan di Melbourne 16 jam 43 menit.

Hamba yang memahami sistem pergiliran waktu ini sebagai manifestasi dari keadilan Sang Khaliq, ia akan legawa menunaikan kewajiban puasa dengan semestinya, waktunya pendek maupun panjang. Apalagi Sang Khaliq mengingatkannya dalam surat 2, al-Baqarah, ayat 184: وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (Berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui). Rasulullah SAW pun mengingatkannya:

مَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَاعْمَلُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَمَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا / أخرجه البزار وأحمد

Apa yang kuperintahkan padamu, kerjakanlah semampumu, dan apa yang kularang atasmu, hentikanlah.

(2)

Banyak jamaah masjid di Amsterdam yang amat jauh rumahnya. Ada yang harus transfer kereta api dua kali untuk menuju masjid. Bolehkah pada musim seperti ini, kami shalat Isya' dijamak takdim dengan maghrib?. Artinya setelah shalat maghrib, langsung shalat isyak (jamak taqdim, tidak qashar) dan juga tarawih, agar jamaah bisa segera pulang dan bersiap-siap sahur?

Pertanyaan ini memuat dua masalah. Keduanya perlu dijawab secara terpisah sebagai berikut:

Pertama, hukum salat jamaah Isyak di masjid secara jamak taqdim dengan Maghrib ketika malam Ramadan amat pendek supaya jamaah yang jauh rumahnya dari masjid bisa segera pulang untuk makan sahur.

Sayyid Sabiq dalam kitabnya, Fiqh al-Sunnah, menyimpulkan bahwa salat boleh dijamak dalam 5 (lima) keadaan: (1) ketika berada di Arafah dan Muzdalifah dalam rangka menunaikan manasik haji; (2) ketika akan atau sedang dalam safar; (3) ketika turun hujan agar jamaah tidak perlu datang lagi ke masjid untuk salat jamaah berikutnya dalam keadaan hujan; (4) ketika sakit atau ada uzur (halangan) mengingat tingkat kesukarannya lebih kuat dari keadaan hujan; dan (5) ketika ada keperluan atau hajat.

Mengenai “sakit dan uzur (halangan)” pada nomor (4) di atas, fukaha mazhab Hambali memperluas lingkupnya hingga mencakup (a) wanita menyusui kalau ia mengalami kesukaran buat menyuci kain setiap hendak salat, (b) wanita yang sedang mengalami pendarahan atau istihadlah, (c) orang yang mengalami gangguan silsalatul baul atau terus-menerus keluar kencing, (d) orang yang tidak dapat bersuci, (e) orang yang takut bahaya menimpa dirinya, hartanya, dan kehormatannya, dan (f) orang yang takut mendapat rintangan dalam mata pencaharian sekiranya ia meninggalkan jamak.

Pendeknya waktu malam, seperti yang terjadi pada kasus Amsterdam di atas, memang tidak disinggung dalam teks-teks fikih tentang alasan salat jamak. Tetapi melihat kesukaran yang ditimbulkannya, problem tersebut cukup relevan untuk dipertimbangkan masuk dalam kategori uzur yang membolehkan untuk menjamak taqdim Isyak dan Maqhrib.

Dalam jadual salat yang disusun oleh Muslim World League (Liga Muslim Dunia), pada awal Ramadan 1432 H. (1 Agustus 2011 M.) ini, Subuh di Amsterdam masuk pada pukul 03:24, Maghrib pukul 21:33, dan Isyak pukul 11:54. Akibatnya, rentang waktu antara azan Isyak dan azan Subuh hanya 3,5 jam. Kalau salat jamaah Isyak pada waktunya memakan waktu 0,5 jam (azan+iqamah+salat), waktu yang tersisa tinggal 3 jam. Perjalanan jamaah pulang ke rumah katakanlah rata-rata menghabiskan waktu 0,5 jam, maka untuk istirahat malam dan makan sahur hanya tinggal 2,5 jam. Jika setelah Isyak diselenggarakan salat Tarawih, sisa waktunya makin kurang lagi. Untuk jamaah yang rumahnya jauh dari masjid (sampai dua kali transfer kereta api) sudah tentu sisa waktu tersebut akan semakin mepet. Empat tahun yang akan datang (Ramadan 1436 H./2015 M.), pendeknya waktu malam di Amsterdam akan semakin ekstrim, karena jarak azan Isyak dan azan Subuh hanya 3 jam saja.

Tingkat kesulitan yang timbul akibat pendeknya waktu malam seperti diilustrasikam di atas tidak kurang, atau bahkan bisa lebih tinggi, daripada kesulitan yang muncul akibat turun hujan. Karena itu amatlah layak bila sempitnya waktu malam yang sedemikian ekstrim tersebut masuk dalam kategori uzur yang membolehkan dilakukannya salat jamaah Isyak secara jamak taqdim dengan Maghrib.

Kesimpulannya, pendeknya waktu malam yang ekstrim sehingga mempersempit waktu istirahat malam adalah layak dikatagorikan sebagai uzur yang membolehkan salat Isyak dikerjakan secara jamak taqdim dengan Maghrib.

Kedua, hukum melakukan salat Tarawih setelah salat Isyak yang dijamak taqdim dengan Maghrib.

Salat Tarawih adalah salat malam (qiyam al-lail). Waktu qiyam al-lail ialah setelah salat Isyak hingga terbit fajar. Tidak ditemukan riwayat bahwa Nabi SAW mengerjakan salat malam sesudah salat Isyak yang dijamak dengan Maghrib. Alih-alih salat malam, salat-salat sunah rawatib yang berkait langsung dengan salat-salat fardu yang dijamak itu saja tidak beliau kerjakan.

Juga tidak ditemukan riwayat bahwa Nabi SAW pernah memajukan pelaksanaan salat sunah pada sebelum waktunya. Yang ada malah sebaliknya, yaitu salat sunah beliau kerjakan sesudah lewat waktunya. Siti Aisyah menuturkan bahwa manakala beliau tidak sempat mengerjakan salat sunah empat rakaat qabliyah Zuhur, beliau mengerjakan atau mengqadlanya sesudah megerjakan dua rakaat ba’diyah Zuhur. Ummu Salamah juga menuturkan salat dua rakaat ba’diyah Zuhur pernah beliau kerjakan sesudah salat Ashar, ketika beliau tidak sempat mengerjakannya karena disibukkan oleh urusan penerimaan setoran harta (baitul mal) dan pengalokasiannya hingga masuk waktu Ashar. Juga diriwayatkan bahwa orang yang belum mengerjakan salat witir hingga masuk waktu Subuh, beliau perintahkan untuk mengerjakannya. Umar ibn Qais mengerjakan salat sunah dua rakaat fajar (qabliyah Subuh) setelah salat berjamaah Subuh karena ketika tiba di masjid salat jamaah Subuh sudah dimulai. Nabi SAW bertanya kepada Umar ibn Qais tentang salat itu. Setelah dijelaskannya, beliau diam tidak berkomentar.

Kesimpulannya, salat Tarawih tidak boleh dikerjakan sebelum masuk waktu Isyak meskipun salat Isyaknya sudah dijamak taqdim dengan Maghrib.

TAMBAHAN. Jika para jamaah masih bertahan di masjid untuk salat Tarawih, padahal mereka menjamak taqdim salat Isyak dengan Maghrib dengan alasan sempitnya waktu malam, maka sungguh ini tidak logis. Harusnya mereka segera pulang untuk istirahat malam dan makan sahur. Jika ada yang ingin salat Tarawih, biarlah mereka mengerjakannya di rumah. Imam Bukhari meriwayatkan penuturan Zaid ibn Tsabit bahwa di bulan Ramadan Nabi SAW salat di masjid beberapa malam, lalu orang-orang ikut salat (berjamaah) bersama beliau. Ketika mengetahui bahwa mereka menunggu, beliau keluar kepada mereka seraya bersabda:

... صلوا أيها الناس في بيوتكم فإن أفضل الصلاة صلاة المرء في بيته إلا المكتوبة

Salatlah kalian wahai manusia di rumah-rumah kalian. Sungguh sebaik-baik salat adalah salat seseorang di rumahnya kecuali salat wajib.

(3)

Kami sering shalatul lail malam lailatul qadar dengan berjamaah. Sekarang jamaah bingung karena ada yang melarangnya. Bagaimana sebenarnya shalat sunat berjamaah?

Mengenai salat jamaah, Nabi SAW telah menggambarkan keutamaannya, antara lain dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Abdullah bin Umar sebagai berikut:

صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَ عِشْرِيْنَ دَرَجَةً

Salat jamaah itu lebih afdol dua puluh tujuh derajat daripada salat sendiri.

Pernyataan Nabi SAW mengenai keutamaan salat jamaah ini bersifat umum, tidak khusus salat fardu. Karena itu tidak ada alasan untuk mengecualikan salat sunah dari cakupan makna pernyataan beliau tersebut. Beliau sendiri bahkan membawa sejumlah salat sunah ke ruang publik dan mengerjakannya secara berjamaah, yakni salat Idul Fitri, salat Idul Adha, salat Kusuf (gerhana matahari), salat Khusuf (gerhana bulan), dan salat Istisqa’ (minta hujan). Sedangkan salat-salat sunah lainnya yang ditekankan oleh beliau untuk dikerjakan di ruang privat atau di rumah menjadi lebih banyak terkondisi untuk dikerjakan secara privat (munfarid). Keadaan tersebut tidak menyebabkan berkembangnya anggapan di kalangan para sahabat bahwa salat sunah tidak boleh dikerjakan secara berjamaah.

Buktinya, kasus salat malam. Nabi SAW biasa mengerjakan salat ini di ruang privat secara munfarid. Tetapi ketika beliau mengerjakannya di ruang publik, yaitu ketika beliau i’tikaf di masjid pada malam-malam Ramadan, tanpa dikomando, para sahabat yang hadir di masjid segera membentuk barisan (berjamaah) di belakang beliau. Esok malamnya, peristiwa itu terulang dengan jumlah jamaah yang lebih banyak. Malam ketiga, sahabat yang hadir di masjid kian bertambah, tetapi Nabi SAW tidak keluar ke masjid. Pada pagi harinya (subuh), beliau mengklarifikasi ketidakhadirannya kepada mereka seraya bersabda:

قَدْ رَأَيْتُ الَّذِيْ صَنَعْتُمْ وَلمَْ يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ / أخرجه أبو داود من حديث عائشة

Sungguh aku lihat apa yang kalian lakukan (tadi malam), dan tidak ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali bahwa aku kuatir akan difardukan kepadamu.

Fakta-fakta tentang (1) pernyataan Nabi SAW mengenai keutamaan salat jamaah secara umum (tidak khusus salat fardu), (2) adanya sejumlah salat sunah yang ditekankan Nabi SAW untuk dikerjakan secara berjamaah, (3) tiadanya pengingkaran Nabi SAW terhadap spontanitas para sahabat yang membentuk barisan jamaah salat lail di belakang beliau hingga terulang lagi pada esok malamnya, dan (4) klarifikasi Nabi SAW bahwa ketidakhadirannya pada malam ketiga hanyalah disebabkan oleh kekuatiran bahwa salat malam secara berjamaah itu akan difardukan (atau dianggap fardu) secara keseluruhan merajut satu pengertian bahwa mengerjakan salat sunah secara berjamaah itu tidak dilarang.

Kesimpulannya, mengerjakan salat al-lail pada malam lailatul qadar secara berjamaah hukumnya BOLEH, tidak dilarang. Nabi SAW bahkan pernah melakukan salat al-lail di bulan Ramadan secara berjamaah bersama para sahabat.

Demikianlah, wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar