(Catatan untuk Agus Mustofa)
Abd. Salam Nawawi
Ketua Lajnah Falakiyah NU Jatim
Dalam tulisan ini kata bulan (huruf biasa) digunakan sebagai padanan kata syahr (Arab) atau month (Inggris), sedangkan BULAN (huruf kapital) digunakan sebagai padanan kata qamar (Arab) atau moon (Inggris).
Harian Jawa Pos (Sabtu, 3 September 2011) memuat tulisan Agus Mustofa bertajuk “Bulan Tak Pernah Bohong”. Melihat banyak orang masih “pusing” memahami perbedaan Lebaran, Agus Mustofa terpanggil untuk menawarkan kunci jawaban.
”Sesungguhnyalah BULAN tidak akan pernah berbohong. Sebab ia adalah fakta alias realitas. Yang bisa berbohong itu kan manusia. Karena itu, pertanyaan seputar ketinggian BULAN dan sekarang tanggal berapa Syawal sebenarnya bisa Anda jawab sendiri dengan mudah.” Demikian Agus Mustofa memberikan hantaran.
Caranya, kata Agus Mustofa, sangat sederhana. Pertama, dengan melihat BULAN di langit sudah berapa tinggi. Kedua, kalau masih ragu karena sekarang masih berbentuk sabit, dengan mudahnya Anda bisa melihat saat BULAN Purnama. Itulah tanggal 15 Syawal. Kemudian hitunglah maju kearah awal bulan. Maka, Anda akan tahu kapankah tanggal 1 Syawal yang sebenarnya. BULAN tidak bisa berbohong, bukan …?
Agus Mustofa membangun persepsi mengenai kelompok-kelompok yang berbeda hari Lebaran tersebut sebagai berikut. “Mereka semua tahu kok bahwa akhir Ramadan (ijtimak alias posisi segaris antara BULAN-BUMI-MATAHARI) itu jatuh pada 29 Agustus 2011, sekitar jam 11.”
Di bagian lain, Agus Mustofa menegaskan bahwa “usia bulan Ramadan maksimal memang hanya 29,5 hari.”
Dari pernyataan-pernyataan di atas, saya memahami tiga konsep dasar yang menjadi pijakan Agus Mustofa. Pertama, bahwa siklus bulan dalam kalender Islam berawal dari —dan berakhir pada— saat Ijtimak. Kedua, bahwa ketika terjadi Purnama, umur bulan dihitung masuk tanggal 15. Ketiga, bahwa usia bulan dalam kalender Islam maksimal hanya 29,5 hari.
Realitas BULAN
Agus Mustofa meracik resep jawaban di atas berdasarkan realitas BULAN dari perspektif astronomi. Supaya jelas duduk perkaranya, saya merasa perlu untuk mengartikulasikan realitas tersebut dengan ringkas.
BULAN adalah benda langit yang gelap. Jika ia tampak bercahaya, maka cahayanya itu adalah sinar MATAHARI yang dipantulkan permukaannya yang menghadap ke BUMI. Karena jarak BUMI-MATAHARI dan BULAN-MATAHARI amat jauh ( 150 juta kilometer), maka permukaan BUMI dan BULAN yang tersinari MATAHARI hanyalah seperduanya.
BULAN, BUMI, dan MATAHARI adalah benda-benda langit yang bergerak. BULAN mengelilingi BUMI, BUMI mengelilingi MATAHARI, dan MATAHARI mengelilingi pusat galaksi. Konfigurasi gerak ketiganya membuat posisi BULAN terhadap BUMI dan MATAHARI selalu berubah. Akibatnya seperdua permukaan BULAN yang tersinari Matahari terus bergeser dari bagian yang membelakangi BUMI ke bagian lain yang menghadap ke BUMI, dan sebaliknya.
BULAN bergerak mengelilingi BUMI (gerak revolusi) ke arah timur, satu putaran rata-rata 27 hari 7 jam 43 menit 11,51 detik. Masa ini disebut Satu Bulan Sideris. Berarti per hari, BULAN bergerak ke timur rata-rata 13 10' 34,89". BULAN juga bergerak pada sumbunya (gerak rotasi) dalam waktu yang sama dengan waktu yang dibutuhkannya untuk satu putaran gerak revolusi. Karena itu wajah BULAN yang menghadap ke BUMI adalah sisi permukaannya yang selalu sama.
BUMI berputar pada sumbunya (gerak rotasi) ke arah timur, satu kali dalam ± 24 jam. Karena itu sinar MATAHARI yang mengenai permukaan BUMI terus bergeser ke barat sehingga di BUMI terjadi siklus malam-siang. BUMI juga bergerak mengelilingi MATAHARI (gerak revolusi) ke arah timur pada suatu lingkaran yang disebut Ekliptika. Satu putaran berlangsung dalam 365 hari 5 jam 45 menit 46 detik. Berarti dalam satu hari BUMI bergerak sejauh 0 59' 8,33".
Akibat gerak revolusi BUMI ini, MATAHARI jadi terlihat bergerak-semu di Ekliptika ke arah timur secepat gerak revolusi BUMI (0 59' 8,33" per hari). Karena arah Ekliptika memotong Khatulistiwa (Equator) sebesar sudut 23 27’ maka MATAHARI kadang terlihat di Khatulistiwa, kadang di utaranya, dan kadang di selatannya.
Di pihak lain arah lintasan BULAN memotong Ekliptika dengan sudut bervariasi antara 4 57’ sampai 5 20’ sehingga BULAN kadang terlihat berhimpit dengan MATAHARI (seperti ketika terjadi gerhana MATAHARI), kadang di utaranya, dan kadang di selatannya.
Jika BULAN bergerak ke timur sejauh 13 10' 34,89" per hari, sedangkan MATAHARI hanya 0 59' 8,33", maka BULAN bergerak ke timur 12 11' 26,56" lebih cepat daripada MATAHARI. Perbedaan kecepatan ini meniscayakan terjadinya peristiwa ijtimak (konjungsi) dan istiqbal (oposisi).
Ijtimak dan istiqbal adalah konsep-konsep astronomik berkenaan dengan posisi BULAN dan MATAHARI pada Garis Bujur Astronomis (GBA). GBA sendiri ialah garis (busur) imajinatif yang menghubungkan kedua kutub Ekliptika. Kala BULAN dan MATAHARI berada pada GBA yang sama (bersegaris), konsep astronomi menyatakan keduanya sedang dalam posisi ijtimak. Adapun kala berada pada GBA yang berlawanan (terpisah jarak 180º), keduanya dikatakan sedang dalam posisi istiqbal.
Jika BULAN berijtimak dengan MATAHARI pada suatu GBA, maka untuk kembali ke GBA itu lagi BULAN membutuhkan waktu Satu Bulan Sideris (27 hari lebih). Namun kala BULAN telah kembali ke GBA itu, MATAHARI sudah bergeser ke timur sejauh ± 27º. Karena itu, untuk berijtimak kembali, BULAN harus menempuh 360 lebih banyak daripada MATAHARI. Waktu rata-rata yang dibutuhkan BULAN untuk itu adalah (360 : 12º 11’ 26,56”) x 1 hari = 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik. Masa ini dalam konsep astronomi disebut Satu Bulan Sinodik atau Satu Bulan Ijtimak.
Tapi ini hanyalah hitungan rata-rata. Panjang Satu Bulan Ijtimak yang sebenarnya bervariasi antara 29 hari plus 6 jam lebih sampai 29 hari plus 19 jam lebih. Karena itu ijtimak dan istiqbal selalu berubah momen terjadinya, adakalanya pada siang hari dan adakalanya pada malam hari.
Di seputar momen ijtimak, BULAN menghilang. BULAN tidak tampak dari BUMI karena sinar MATAHARI mengenai semua/bagian terbesar permukaannya yang membelakangi BUMI. Fenomena penampakan BULAN pada momen ijtimak ini dalam astronomi disebut New Moon (Qamar Jadid, BULAN Mati), bukan New Month (Syahr Jadid, Sasi Anyar).
Sebaliknya pada momen istiqbal, BULAN tampak utuh/penuh. Itu terjadi karena sinar MATAHARI mengenai semua/bagian terbesar permukaan BULAN yang menghadap ke BUMI. Fenomena penampakan BULAN pada momen istiqbal ini dalam astronomi disebut Full Moon (Badr, Purnama).
Setelah menghilang pada seputar ijtimak, BULAN kembali akan menampakkan diri berseiring dengan perubahan posisinya terhadap BUMI dan MATAHARI. Astronomi membagi penampakan BULAN menjadi beberapa fase. Dimulai dari fase New Crescents (Hilal-Hilal Muda) selama beberapa hari dengan ciri penampakan berbentuk lengkung. Kemudian fase First Quarter (Tarbi’ Awwal, Seperempat Pertama) ketika penampakannya mencapai separuh lingkaran. Lalu fase First Gibos selama beberapa hari dengan ciri penampakan bebentuk cembung. Saat mencapai ukuran terbesar, penampakan BULAN dikatakan berada pada fase Full Moon (Badr, Purnama). Sesudah itu, penampakan BULAN memasuki fase-fase Last Gibos, Last Quarter (Tarbi’ Tsani, Seperempat Kedua), Old Crescents (Hilal-Hilal Tua), lalu menghilang kembali.
Perubahan posisi dan penampakan BULAN seperti digambarkan di atas berlangsung teratur dan eksak sesuai dengan rekayasa husban (perhitungan) Penciptanya, yaitu Allah SWT. Karena itu benarlah adanya, BULAN memang tak akan pernah berbohong.
Kalender Islam
Dalam surat Yunus ayat 5, Allah SWT menegaskan bahwa realitas BULAN dengan perubahan posisi dan penampakannya itu dimaksudkanNya agar manusia punya acuan untuk menyusun kalender (takwim). Sebagai realitas, tentu saja ia netral dan independen. Dalam sejarah peradaban manusia, sistem-sistem kalender yang mengacu pada realitas BULAN penyusunannya selalu bertolak dari perspektif dan kriteria tertentu.
Contohnya kalender Cina. Siklus bulan (month) dalam kalender ini disusun berdasarkan realitas BULAN dengan kriteria bahwa awal bulan dimulai dari hari terjadinya ijtimak (H0). Juga kalender Saka Bali, yang siklus bulannya disusun berdasarkan realitas BULAN juga. Dalam kalender Saka Bali hitungan awal bulan dimulai dari hari pertama paska ijtimak (H+1).
Untuk siklus tahun (year), kalender Cina dan Saka Bali sama mengacu pada realitas MATAHARI (solar). Dengan dual system seperti ini, tahun-tahun tertentu dalam kedua kalender tersebut ada yang terdiri atas 13 bulan.
Penyusunan kalender Islam juga mengacu pada realitas BULAN, baik untuk siklus bulan (syahr) maupun tahun (sanah). Pola penyusunannya mengacu pada konsep-konsep waktu yang dibakukan berdasarkan doktrin kalender Islam sebagai berikut.
Hari (yaum, day) adalah satuan masa yang terdiri atas malam dan siang. Siklusnya dimulai dari —dan berakhir pada— saat terbenam MATAHARI (al-Isra’ 12). Bulan (syahr, month) ialah satuan masa yang terdiri atas 29 atau 30 hari. Awal dan akhir siklusnya ditandai oleh kemunculan hilal termuda sesudah terbenam MATAHARI paska ijtimak (al-Baqarah 189, hadis Nabi SAW). Tahun (sanah, year) ialah satuan masa yang terdiri atas dua belas bulan (al-Taubah 36).
Implementasinya, kalau ijtimak terjadi dinihari sehingga setelah terbenam MATAHARI pada petang harinya terjadi kemunculan hilal, maka awal bulan Islam dimulai dari hari pertama paska ijtimak (H+1). Tetapi kalau saat ijtimak relatif dekat dengan terbenam MATAHARI sehingga tidak terjadi kemunculan hilal, maka umur bulan berjalan diistikmalkan (digenapkan) sehingga awal bulan baru dimulai pada hari kedua paska ijtimak (H+2).
Coba kita ingat realitas BULAN di akhir Ramadan lalu. Saat ijtimak ketika itu terjadi pada Senin, 29 Agustus 2011 sekitar pukul 11. Karena jarak antara ijtimak dan terbenam MATAHARI relatif pendek (hanya 7,5 jam) sehingga pada petang hari itu tidak terjadi kemunculan hilal karena ketinggian BULAN (qamar) sangat rendah (kurang dari 2º), maka Isbat pemerintah menyatakan awal Syawal dimulai dari Rabu (H+2).
Jadi, walau benar bahwa kalender Islam itu disusun berdasarkan realitas BULAN, namun Bulan Takwim atau Bulan Kalender Islam tidak sama (dan tidak dapat disamakan) dengan Bulan Sideris dan/atau Bulan Ijtimak/Sinodik dalam konsep astronomi.
Khatha’ Jaly
Kunci jawaban yang ditawarkan Agus Mustofa di muka tadi memang terasa logis plus gampang dicerna. Sayang, kunci jawaban itu dibuat hanya berdasarkan konsep-konsep astronomi tentang realitas BULAN (sunnatullah). Padahal untuk penyusunan kalender, Islam menggariskan seperangkat panduan yang mesti dipedomani. Karena melakukan jumping, Agus Mustofa jatuh dalam slip of the concept. Sadar atau tidak, dengan kunci jawaban seperti yang ditawarkan itu Agus Mustofa mengajari umat Islam menyamakan ”bulan takwim/kalender” dengan ”bulan ijtimak/sinodik”. Jadinya kalau diikuti, ujungnya akan seperti memakai celana salah ukuran, yakni cingkrang.
Ada baiknya kita baca kembali konsep-konsep yang dipijak Agus Mustofa di atas. Pertama, bahwa siklus bulan dalam kalender Islam berawal dari —dan berakhir pada— saat Ijtimak. Konsep ini jelas murni astronomik. Sebab, panduan Islam tentang pergantian siklus “bulan kalender” mengaitkannya dengan fenomena hilal, bukan dengan fenomena ijtimak.
Konsep kedua, bahwa ketika terjadi Purnama, umur bulan dihitung masuk tanggal 15. Tesis Agus Mustofa ini BENAR andai angka 15 itu ia nisbatkan pada usia Bulan Ijtimak yang awal harinya dimulai dari saat ijtimak itu sendiri. Tapi tesis itu jadi SALAH karena Agus Mustofa menisbatkannya pada umur Bulan Takwim/Kalender. Oleh karena dalam kalender Islam awal hari dimulai dari terbenam MATAHARI paska ijtimak, maka Purnama bisa jatuh pada tanggal 14, bahkan bisa juga pada bagian akhir tanggal 13. Karena itu puasa sunah pada Ayyam al-Biidh dilakukan Nabi SAW pada tanggal-tanggal 13, 14. dan 15.
Ilustrasi konkritnya adalah kasus Ramadan 1432 H. yang “disepakati” awal bulannya jatuh pada Senin, 1 Agustus 2011. Pada malam Senin, di saat ghurub MATAHARI, usia Bulan Kalender = 0 jam, tapi Bulan Ijtimak sudah 17 jam karena ijtimak terjadi pada kira-kira pukul 1 Ahad dinihari. Dengan beda start seperti ini, maka pada 14 Agustus 2011 pukul 1 Ahad dinihari, usia Bulan Ijtimak mulai memasuki hitungan hari ke-15, sedangkan usia Bulan Kalender masih tanggal 14.
Realitas BULAN kala itu menunjukkan bahwa saat Purnama (istiqbal) terjadi pada sekitar pukul 2 Ahad dinihari itu juga. Nah, fakta ini membuktikan bahwa Purnama itu benar terjadi pada hari ke-15 Bulan Ijtimak, tetapi dalam konteks Bulan Kalender, Purnama terjadi pada tanggal 14. Andai malam itu secara serampangan kita hitung sebagai tanggal 15 sesuai petunjuk Agus Mustofa, lalu kita hitung maju ke awal bulan, maka kita akan memperoleh jawaban pasti bahwa 1 Ramadan jatuh pada Ahad, 31 Juli 2011. Nah, barabe, kan?
Konsep ketiga, bahwa usia bulan dalam kalender Islam maksimal hanya 29,5 hari. Konsep ini kian mempertegas khatha’ jaly (kesalahan yang nyata) dalam ”kunci jawaban” Agus Mustofa itu. Bagaimana tidak, sejak 1400 tahun yang silam Nabi SAW sudah menegaskan bahwa umur bulan dalam takwim/kalender Islam itu 29 hari atau 30 hari. Tidak ada 29 hari koma sekian. Sekali lagi, angka 29,5 hari yang disebut Agus Mustofa itu tidak lain adalah umur Bulan Ijtimak/Sinodik dalam hitungan rata-rata.
Akar Persoalan
Tidak seperti yang dipersepsi Agus Mustofa, kelompok-kelompok mainstream yang berbeda Lebaran itu sesungguhnya tidak ada yang berpendapat bahwa Ramadan telah berakhir pada saat ijtimak. Pijakan mereka, sesuai dengan petunjuk dinullah, Ramadan berakhir apabila paska terbenam MATAHARI di penghujung tanggal 29 Ramadan itu terjadi kemunculan hilal. Kalau itu tidak terjadi, maka Ramadan digenap/istikmalkan 30 hari. Realitas pada saat itu menunjukkan bahwa BULAN berada di atas ufuk dengan ketinggian rendah (kurang dari 2º). Apakah dengan realitas BULAN seperti itu dapat disimpulkan bahwa Hilal sudah muncul?
Dalam belukar pengalaman selama ratusan tahun para astronom mengobservasi BULAN dengan teleskop tidak pernah ada satu pun referensi ilmiah yang menyatakan bahwa dari permukaan BULAN dengan umur dan posisi seperti di atas sudah lahir crescent moon (sabit BULAN).
Mayoritas kelompok yang berbeda Lebaran memahami Hilal —yang pada zaman Nabi SAW diburu dengan rukyat— sebagai visible crescent moon, yakni cahaya yang terlihat berbentuk lengkung tipis pada bibir bawah (lower limb) piringan BULAN (qamar). Karena itu, meskipun pada Senin petang itu BULAN alias QAMAR sudah wujud di atas ufuk, tetapi karena permukaannya masih gelap, mereka simpulkan kemunculan Hilal tidak akan terjadi. Andai pun ada yang melapor bahwa Hilal dapat dirukyat, laporan itu mereka posisikan sebagai natijah dari kekeliruan. Realitas BULAN pada Senin petang itu bagi mereka adalah Wujudl Qamar, bukan Wujudul Hilal. Karena itu, mereka memutuskan Ramadan diistikmalkan dan Lebaran Fitri jatuh pada hari Rabu.
Tetapi Muhammadiyah membaca realitas BULAN pada Senin petang itu sebagai Wujudul Hilal. Sebab, Hilal menurut Muhammadiyah tidak lain adalah BULAN (qamar) itu sendiri. Jadi, kalau piringan BULAN berada di atas ufuk pada saat MATAHARI terbenam, seberapa pun ketinggiannya dan biarpun permukaannya benar-benar gelap, Hilal mereka simpulkan sudah wujud. Jadi Wujudul Hilal menurut Muhammadiyah adalah moonset after sunset (BULAN terbenam sesudah MATAHARI terbenam). Dengan cara berpikir seperti ini Muhammadiyah tidak mengistikmalkan Ramadan dan memilih berlebaran pada hari Selasa.
Inilah akar persoalannya. Selagi konsep Hilal kelompok Muhammadiyah masih berbeda dengan kelompok yang lainnya, maka kalau BULAN berada di atas ufuk tetapi posisinya belum memenuhi batas ambang visibilitas (imkan rukyat), selalu akan terjadi perbedaan hari Lebaran.
Sebagai penutup, al-Qur’an menyebut kata qamar sebanyak 26 kali seluruhnya dengan kata berbentuk tunggal (mufrad, singular). Sedangkan Hilal, oleh al-Qur’an hanya disebut satu kali tetapi dengan kata berbentuk jamak (plural): al-Ahillah. Di samping itu pada zaman Rasul, untuk penentuan awal bulan Islam, beliau keluarkan instruksi rukyat al-Hilal, bukan rukyat al-Qamar. Fakta penggunaan kata Hilal dan Qamar dalam al-Qur’an dan Hadis ini cukup memberi indikasi bahwa realitas Hilal memang tidak identik dengan realitas Qamar seperti yang dipahami para astronom dan mayoritas kelompok yang berbeda Lebaran tadi. Demikianlah, wallahu a’lam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar