Jumat, 23 September 2011

FIKIH QIYAMUL LAIL

Menjawab Pertanyaan Dari Pertamina

Abd. Salam Nawawi
(Lektor Kepala pada Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya)

Tulisan ini mulanya disusun untuk memenuhi harapan sahabat saya, Ustadz Dimas Sukiran, agar saya membantu jawaban mengenai landasan syariat pelaksanaan Qiyamul Lail secara berjamaah di masjid Wal Ashri, Pertamina, seperti yang beliau sampaikan kepada saya melalui sms pada tanggal 25 Mei 2011 yang lalu sebagai berikut:

Assalamu’alaikum Wr. Wb. Mohon bantuan jawaban, pimpinan saya menghendaki adanya Qiyamul Lail rutin 2 bulan sekali jam 03.00 di masjid Wal Ashri berjamaah seperti Tarawih Ramadan dengan cara salat Tasbih 4 rekaat 2 salam, salat Tahajjud 4 rekaat 2 salam, salat Witir 3 rekaat 1 salam. Landasan syari’at bagaimana? Mohon dikirim ke alamat email: dimas.sukiran@yahoo.co.id. Maturnuwun Pak Kyai, masalah berjamaahnya itu bagaimana mendudukkannya?

Agar jawaban bisa diberikan secara terpilah, saya break pertanyaan di atas menjadi tiga sub pertanyaan sebagai berikut: (1) Apa landasan syariat salat Tasbih? (2) Apakah salat Tarawih itu identik dengan Qiyamul Lail? (3) Bolehkah salat tasbih dan qiyamul lail dilakukan dengan berjamaah?

Salat Tasbih

Apa landasan syariat salat Tasbih? Di dalam kitab karyanya, Fiqh al-Sunnah, Syekh Sayyid Sabiq, seorang ulama al-Azhar (Mesir) yang masyhur kepakarannya dalam bidang fikih, menukil hadis tentang salat Tasbih yang bersumber dari Abdullah ibn ’Abbas sebagai berikut:

عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ : يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهُ أَلاَ أُعْطِيكَ أَلاَ أَمْنَحُكَ أَلاَ أَحْبُوكَ أَلاَ أَفْعَلُ لَكَ عَشْرَ خِصَالٍ، إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَقَدِيمَهُ وَحَدِيثَهُ وَخَطَأَهُ وَعَمْدَهُ وَصَغِيْرَهُ وَكَبِيْرَهُ وَسِرَّهُ وَعَلاَنِيَتَهُ. عَشْرَ خِصَالٍ أَنْ تُصَلِّىَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَسُورَةٍ، فَإِذَا فَرَغْتَ مِنَ الْقِرَاءَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ فَقُلْ وَأَنْتَ قَائِمٌ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ، ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُولُ وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ الرُّكُوْعِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ، ثُمَّ تَهْوِيْ سَاجِدًا فَتَقُولُ وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُوْدِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا، ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُولُهَا عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُوْدِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا. فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ مَرَّةً فِىكُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِي أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ. وَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَفِى كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَفِىكُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَفِى كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَفِى عُمُرِكَ مَرَّةً / رواه أبو داود وابن ماجه وابن خزيمة في صحيحه والطبراني.

Dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada Abbas bin Abdil Muththalib: Wahai Abbas, Wahai Paman! Sudikah engkau kuberi, kukaruniai, kuberi hadiah istimewa, kuajari sepuluh amalan yang jika engkau kerjakan niscaya Allah mengampuni dosamu yang awal dan yang akhir, yang lama dan yang baru, yang tidak disengaja dan yang disengaja, yang kecil dan yang besar, yang sembunyi dan yang terang-terangan. Sepuluh amalan itu adalah engkau salat empat rakaat, tiap rakaat membaca al-Fatihah dan surat. Sehabis membaca surat pada rakaat pertama ucapkanlah dalam keadaan engkau berdiri: Subhanallah Walhamdulillah Walailaha Illallah Wallahu Akbar lima belas kali. Kemudian engkau ruku’, lalu engkau mengucapkan kalimat itu dalam keadaan ruku’ sepuluh kali. Kemudian engkau angkat kepalamu dari ruku’, lalu engkau mengucapkannya sepuluh kali. Kemudian engkau turun untuk sujud, lalu engkau mengucapkannyas dalam keadaan sujud sepuluh kali. Kemudian engkau angkat kepalamu dari sujud, lalu engkau mengucapkannya sepuluh kali. Kemudian engkau sujud, lalu engkau mengucapkannya sepuluh kali. Kemudian engkau angkat kepalamu dari sujud, lalu engkau mengucapkannya sepuluh kali. Demikianlah tujuh puluh lima dalam setiap satu rakaat, engkau kerjakan dalam empat rakaat. Jika engkau bisa mengerjakan salat tersebut sekali setiap hari, maka kerjakanlah. Jika tidak bisa, maka sekali setiap jumat (minggu). Jika tidak bisa, maka sekali setiap bulan. Jika tidak bisa, maka sekali setiap tahun. Jika tidak bisa, maka sekali sepanjang umurmu. (Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahihnya, dan ath-Thabrani)

Hadis ini, menurut al-Hafidh, diriwayatkan dari banyak jalan, dan dari sekumpulan sahabat. Yang bagus adalah hadis riwayat Ikrimah ini. Sejumlah ulama, di antaranya al-Hafidh Abu Bakar al-Ajri, Syaikhuna Abu Muhammad Abdurrahim al-Mishri, dan Syaikhuna al-Hafidh Abul Hasan al-Maqdisi semoga Allah merahmati mereka, meinilai hadis ini sahih. Ibnul Mubarak berkata: Salat Tasbih itu dianjurkan, sunah membiasakannya pada setiap waktu dan tidak mengabaikannya. [Dikutip dari: Fiqh al-Sunnah, karya al-Sayyid Sabiq, Guru Besar Fikih pada Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (al-Maktabah al-Syamilah), juz 1, h. 212]

Dapat dipahami dari hadis di atas bahwa salat Tasbih merupakan salat sunah yang waktunya mutlak, boleh dikerjakan di siang hari dan boleh pula di malam hari. Jumlah rakaatnya 4 (empat). Angka 4 rakaat pada dasarnya dapat menerima dua alternatif makna, yaitu 2x2 rakaat atau 1x4 rakaat. Hanya saja tuturan dalam redaksi hadis di atas lebih dekat pada alternatif makna yang kedua. Sebagian pendapat memilih alternatif 2x2 rakaat jika salat tasbih dikerjakan pada malam hari mengingat sabda Nabi SAW: shalatul laili matsna-matsna (salat malam itu dua-dua). Wallahu a’lam

Tarawih dan Qiyamul lail

Apakah salat Tarawih itu identik dengan Qiyamul Lail? Suatu kali Abu Salamah ibn Abdur Rahman bertanya kepada Aisyah mengenai salat Nabi SAW pada (malam) Ramadan. Aisyah menjawab:

إِنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّم مَا كَانَ يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشَرَةَ رَكْعَةً ...

”Sesungguhnya beliau SAW tidak menambah pada bulan Ramadan dan tidak pula pada bulan selainnya atas sebelas rakaat ...” [Dikutip dari: Subul al-Salam, karya Muhammad ibn Isma’il al-Shan’ani, (al-Maktabah al-Syamilah), juz 2, h. 11]

Jawaban Aisyah ini menunjukkan bahwa pada malam-malam Ramadan dan pada malam-malam selain Ramadan qiyamul lail (salat malam) Nabi SAW itu sama saja. Kalau begitu apa yang disebut salat Tarawih tiada lain adalah qiyamul lail itu juga. Secara khusus, Nabi SAW memang mendorong kaum muslimin untuk menghidupkan malam-malam Ramadan dengan qiyamul lail. Beliau bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

”Barangsiapa melakukan qiyamul lail pada bulan Ramadan dengan iman dan mengaharap (ridlaNya), ia diampuni dosanya yang telah lalu.” [Dikutip dari Shahih al-Bukhari, karya Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, (al-Maktabah al-Syamilah), juz 2, h. 707]

Di belakang hari, qiyamul lail pada malam-malam Ramadan dikenal dengan sebutan salat Tarawih. Artinya bila disebut Tarawih, maka yang dimaksud adalah qiyamul lail pada bulan Ramadan.

Adapun angka 11 (sebelas) yang diungkap Aisyah, itu adalah angka maksimal jumlah rakaat yang disimpulkan Aisyah dari pengamatannya atas praktik qiyamul lail Nabi SAW. Jika 11 itu angka maksimal, berarti Nabi SAW pernah melakukannya kurang dari sebelas rakaat. Aisyah jugalah yang menuturkan bahwa Nabi SAW pernah melakukan salat lail hanya 9 rakaat, dan di waktu yang lain lagi bahkan hanya 7 rakaat.

Di tengah realitas keragaman jumlah rakaat qiyamul lail Nabi SAW yang dilaporkan Aisyah itu, Nabi SAW sendiri tidak pernah menggariskan batas maksimal rakaat dalam anjuran-anjuran beliau kepada para sahabat untuk melakukan qiyamul lail. Yang beliau lakukan justeru menyebut batas minimalnya. Misalnya sabda beliau yang dituturkan Abdullah ibn Abbas menyatakan:

عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ وَلَوْ رَكْعَةً وَاحِدَةً

”Lakukan oleh kalian qiyamul lail meskipun hanya satu rakaat.” [Dikutip dari al-Mu’jam al-Awsath, karya Abu Qasim Sulaiman ibn Ahmad ath-Thabrani, (al-Maktabah al-Syamilah), juz 7, h. 51]

Sejalan dengan itu tidak pernah muncul di kalangan Sahabat sebagai angkatan kaum muslimin pertama pemahaman bahwa dalam qiyamul lail ada batas maksimal jumlah rakaat. Mereka pun bahkan tidak mewacanakan masalah itu dalam ijtihad-ijtihad keagamaan mereka sepeninggal Nabi SAW. Bahkan Umar ibn Khattab di masa kekhilafahannya pernah memutuskan untuk menertibkan qiyamul lail pada bulan Ramadan (Tarawih) yang dilakukan di masjid dengan menunjuk imam tertentu dan dengan jumlah rakaat tertentu (23 rakaat).

Nalar logis kita tentu akan memustahilkan jika figur Sahabat sekualitas Umar ibn Khattab, yang dikenal sangat kokoh memegangi sunah Nabi SAW, akan dengan mudah menggariskan kebijakan yang disadarinya mencederai sunah. Lebih dan lebih mustahil lagi seluruh sahabat akan kompak untuk mengambil sikap ”diam seribu bahasa” jika mereka tahu bahwa kebijakan Umar tentang 23 rakaat qiyamu ramadlan tersebut jelas-jelas melawan sunah.

Ringkasnya, fakta-fakta sejarah yang berasal dari zaman Nabi SAW dan Sahabat memantulkan makna bahwa salat tarawih tiada lain adalah qiyamul lail dan di kalangan kaum muslimin yang hidup sezaman dengan Nabi SAW tidak pernah muncul pemahaman bahwa beliau telah menggariskan jumlah tertentu sebagai batas maksimal rakaat qiyamul lail. Wallahu a’lam.

Qiyamul Lail Berjamaah

Bolehkah qiyamul lail dilakukan dengan berjamaah? Dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Abdullah bin Umar, Nabi SAW membuat pernyataan tentang keutamaan salat jamaah sebagai berikut:

صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَ عِشْرِيْنَ دَرَجَةً / متفق عليه

Salat jamaah itu lebih utama daripada salat sendirian sebanyak dua puluh tujuh derajat. [Dikutip dari Bulugh al-Maram, Ibnu Hajar al-’Asqalani, (al-Maktabah al-Syamilah), juz 1, h. 144]

Dari redaksinya jelas terpaham bahwa pernyataan Nabi SAW tentang keutamaan salat jamaah ini bersifat umum, tidak ada pengkhususan untuk salat fardu. Karena itu tidak ada alasan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mengecualikan salat sunah dari cakupan makna pernyataan di atas. Artinya, salat sunah pun pada dasarnya boleh dan afdol dilakukan secara berjamaah. Bukankah Nabi SAW sendiri telah menghasung sejumlah salat sunah ke ruang publik dan mengerjakannya secara berjamaah? Salat-salat sunah yang dimaksud adalah salat sunah Idul Fitri, salat sunah Idul Adha, salat sunah Kusuf (gerhana matahari), salat sunah Khusuf (gerhana bulan), dan salat sunah Istisqa’ (minta hujan).

Adapun salat-salat sunah yang lain, oleh karena ditekankan oleh beliau untuk dikerjakan di ruang-ruang privat (di rumah), dengan sendirinya menjadi terkondisi untuk dikerjakan secara privat (munfarid) pula. Penekanan beliau itu tersimpul dalam hadis:

أَفْضَلُ الصَّلاَةِ صَلاَةُ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوْبَةَ

Sebaik-baik salat adalah salat seseorang di rumahnya kecuali salat fardu. [Dikutip dari al-Jami’ al-Shahih al-Mukhtashar, karya Muhammad ibn Isma’il Abu ‘Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, (al-Maktabah al-Syamilah) juz 1, h. 256.]

Penekanan untuk mengerjakan salat sunah di rumah itu tidak menyebabkan berkembangnya anggapan di kalangan para sahabat bahwa salat sunah tidak boleh dikerjakan secara berjamaah. Apalagi Nabi SAW sendiri memang tidak pernah melarang pelaksanaan salat sunah secara berjamaah.

Dalam konteks ini penting disebut fakta tentang qiyamul lail yang lazim dikerjakan Nabi SAW di rumah secara munfarid. Suatu kali pada malam Ramadan, sewaktu i’tikaf, beliau melakukan qiyamul lail di masjid. Melihat Nabi SAW salat, para sahabat yang hadir di sana tanpa dikomando segera membentuk barisan jamaah qiyamul lail di belakang beliau. Esok malamnya, salat jamaah qiyamul lail itu terulang kembali dengan jumlah jamaah yang lebih banyak. Malam ketiga, jamaah yang hadir kian bertambah, tetapi Nabi SAW tidak keluar. Ketika memberi konfirmasi pada pagi hari (subuh) nya, beliau bersabda kepada mereka:

قَدْ رَأَيْتُ الَّذِيْ صَنَعْتُمْ وَلمَْ يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ / أخرجه أبو داود من حديث عائشة

Sungguh aku lihat apa yang kalian lakukan (tadi malam), dan tidak ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali bahwa aku kuatir akan difardukan kepadamu. [Dikutip dari Subul al-Salam, karya Muhammad ibn Isma’il al-Shan’ani, (al-Maktabah al-Syamilah) juz 2, h. 9.]

Fakta-fakta tentang (1) pernyataan Nabi SAW mengenai keutamaan salat jamaah secara umum (tidak khusus salat fardu), (2) adanya sejumlah salat sunah yang ditekankan Nabi SAW untuk dikerjakan secara berjamaah, (3) tiadanya pengingkaran Nabi SAW terhadap spontanitas para sahabat yang membentuk barisan jamaah qiyamul lail di belakang beliau hingga terulang lagi pada esok malamnya, dan (4) klarifikasi Nabi SAW bahwa ketidakhadirannya pada malam ketiga hanyalah disebabkan oleh kekuatiran bahwa qiyamul lail secara berjamaah itu akan difardukan (atau dianggap fardu), secara keseluruhan membangun satu pengertian yang gamblang bahwa mengerjakan salat sunah secara berjamaah itu boleh, tidak dilarang.

Jadi, qiyamul lail dan salat sunah lainnya seperti salat tasbih boleh (tidak dilarang) dikerjakan secara berjamaah. Khusus qiyamul lail secara berjamaah, Nabi SAW sendiri malah pernah mengerjakannya bersama para sahabat di bulan Ramadan. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar