Jumat, 23 September 2011

FIKIH RAMADAN

Menjawab Pertanyaan Dari Eropa

Abd. Salam Nawawi

Tulisan ini disusun untuk memenuhi harapan sahabat saya, Prof. Dr. K.H. Muhammad Ali Aziz, M.Ag. (Pak Ali), agar saya sharing jawaban atas masail al-fiqh dari Eropa (tepatnya Amsterdam, Belanda), menjelang Ramadan 1432 H. (Agustus 2011). Masail al-fiqh tersebut dikirim via email bertanggal 14 Mei 2011 oleh Hamzah, Kordinator Dakwah PPME (Perkumpulan Pemuda Muslim Eropa (PPME), kepada MUI Jatim via Pak Ali, dan Pak Ali kemudian memforwardnya kepada saya. Meskipun saya sendiri adalah anggota Komisi Fatwa MUI Jatim, namun jawaban dalam tulisan ini sepenuhnya atas nama pribadi. Mengingat pertanyaan yang dikirim Hamzah terdiri dari tiga item, saya pilah tulisan ini menjadi tiga bagian.

(1)

Ramadlan tahun 2011 ini di Belanda, waktu puasa amat panjang. Maghrib pukul 10 malam dan Subuh pukul 4 pagi. Apakah kami boleh meninggalkan puasa, lalu kami qadla nanti pada musim yang tidak memberatkan kami untuk puasa. Musim dingin misalnya. Ataukah kami boleh berpuasa dengan mengikuti waktu di negara terdekat yang kira-kira 14-15 jam panjang harinya. Ataukah ada alternatif lain?

Ada tiga masalah yang termuat dalam pertanyaan ini. Setiap masalah perlu diberi jawaban tersendiri sebagai berikut:

Pertama, hukum tidak berpuasa pada bulan Ramadan karena waktunya amat panjang dengan maksud mengqadlanya pada waktu yang lain.

Masalah ini akan dijawab dengan bertolak dari peringatan Rasulullah SAW berikut ini:

مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ رُخْصَةٍ رَخَّصَهَا اللهُ لَهُ لَمْ يَقْضِ عَنْهُ صِيَامُ الدَّهْر وَإِنْ صَامَهُ ِ (رواه الطيالسى وأحمد وأبو داود والترمذى وابن ماجه والبيهقى)

Barangsiapa berbuka (tidak berpuasa) pada satu hari dari Ramadan bukan karena rukhshah (dispensasi) yang diberikan Allah untuknya, maka satu hari itu tidak dapat diqadla dengan puasa selama setahun, jika pun ia melakukannya.

Siapa gerangan orang yang diberi rukhshah oleh Allah SWT untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadan dengan keharusan mengqadla pada hari lain? Dari firmanNya dalam al-Qur’an surat 2, al-Baqarah, ayat 184 dan 185 dapat dipahami bahwa rukhshah tersebut diberikan oleh Allah SWT kepada (1) orang sakit dan (2) orang yang sedang dalam perjalanan. Teks firman Allah tersebut berbunyi begini:

... فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ... (البقرة: 184) ... وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ... (البقرة: 185)

… Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (ia wajib berpuasa) sebanyak hari itu pada hari-hari yang lain … (al-Baqarah: 184) … dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (ia wajib berpuasa), sebanyak hari itu pada hari-hari yang lain …. (al-Baqarah: 185)

Di sebelah itu, fukaha mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Ahmad menyimpulkan bahwa rukhshah yang sama diberikan pula, melalui lisan RasulNya, kepada (3) wanita hamil dan (4) wanita menyusui. Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ الله تَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ ، وَعَن الْحَامِلِ أَوْ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ

Sesungguhnya Allah Ta’ala menggugurkan puasa dan separuh salat dari musafir, dan menggugurkan puasa dari wanita hamil atau wanita menyusui.

Selebihnya tidak ditemukan dalil syara’ yang memberikan rukhshah seperti itu kepada selain keempat orang di atas. Ada rukhshah lain untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadan, namun dengan konsekuensi membayar fidyah. Rukhshah ini diberikan kepada orang sakit menahun yang tidak lagi ada harapan sembuh, orang-orang yang sudah renta, dan semacamnya. Adapun wanita haid dan wanita nifas, mereka bukan diberi rukhshah, tetapi dilarang berpuasa.

Kesimpulannya, HARAM hukumnya meninggalkan puasa pada bulan Ramadan dengan alasan waktunya amat panjang, meskipun dengan maksud mengqadlanya pada waktu yang lain.

Kedua, hukum berpuasa Ramadan dengan mengikuti waktu negara lain terdekat yang waktu siangnya lebih pendek.

Para ulama telah berijmak bahwa batas waktu puasa yang disyariatkan Allah SWT adalah dari TERBIT FAJAR sampai DATANGNYA MALAM. Allah SWT menggariskan ketentuan ini dalam al-Qur’an, surat 2, al-Baqarah, ayat 187:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

Makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam,

Dalam penjelasan Nabi SAW yang dituturkan oleh Umar bin Khattab, moment datangnya malam itu ditandai oleh peristiwa TERBENAM MATAHARI di negeri setempat:

إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَا هُنَا وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ (أخرجه ابن أبي شيبة والبخاري ومسلم وأبو داود والترمذي والنسائي)

Bila malam telah datang dari sini, siang telah pergi dari sini, dan MATAHARI TELAH TERBENAM, maka berbukalah orang yang berpuasa.

Peristiwa TERBIT FAJAR dan TERBENAM MATAHARI itu terjadi pada sebagian besar kawasan di permukaan Bumi. Masing-masing dari kedua peristiwa itu tidak terjadi serentak di seluruh kawasan Bumi, melainkan mengalir bergantian dari satu kawasan ke kawasan yang lain. Karena itu waktu puasa adalah waktu lokal (setempat). Orang wajib memulai puasa dari terbit fajar dan mengakhirinya pada saat terbenam matahari di kawasan di mana ia berada.

Tentu saja dikecualikan dari ketentuan ini orang yang tinggal di kawasan yang tidak mengalami peristiwa TERBIT FAJAR dan TERBENAM MATAHARI seperti di kawasan kutub dan sekitarnya. Waktu puasa untuk kawasan seperti ini, karena kondisinya yang tidak normal, harus berpedoman pada kawasan lain terdekat yang mengalami TERBIT FAJAR dan TERBENAM MATAHARI.

Kesimpulannya, orang Islam yang tinggal di kawasan yang mengalami siklus terbit fajar dan terbenam Matahari, seperti Amsterdam, HARAM hukumnya berpuasa dengan mengikuti waktu puasa negara lain terdekat yang waktu siangnya lebih pendek.

Ketiga, alternatif lain agar puasa dapat dilaksanakan dalam waktu yang lebih pendek.

Agar puasa dapat dilakukan dalam waktu yang lebih pendek, alternatifnya hanya satu, yaitu berhijrah (bermigrasi) ke kawasan lain yang waktu siangnya lebih pendek dan berpuasa di sana karena, seperti telah dikemukakan, setiap orang wajib berpuasa berdasarkan waktu setempat.

Merasakan puasa dalam waktu yang lebih panjang sebagai beban yang lebih berat, tentu sangat masuk akal. Tetapi Allah SWT mensyariatkan puasa tidak untuk menimpakan kesulitan kepada hambaNya. Dengan tegas hal itu dinyatakanNya dalam al-Qur’an surat 2, al-Baqarah, ayat 185: يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ (Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu).

Allah memilih satu dari bulan-bulan kamariah, yakni Ramadan, sebagai bulan puasa. Panjang tahun kamariah yang lebih pendek 10-12 hari daripada tahun syamsiah meniscayakan Ramadan bergeser maju pada kalender syamsiah dan bergulir di antara musim-musim yang berlainan. Panjang siangnya terus berubah dalam tren memendek dan memanjang.

Karena itu, di kawasan mana pun orang menetap di permukaan Bumi ini, ia akan mengalami variasi waktu puasa yang terus berubah dalam tren memendek dan memanjang. Di kawasan tengah (sekitar khatulistiwa) rentang variasi panjang-pendeknya tidak seberapa lebar. Makin jauh dari khatulistiwa, makin lebar. Di kota Nabi, Madinah, yang terletak pada 24º 30’ Lintang Utara, misalnya, variasi waktu puasa di sana bergerak dalam rentang 3 jam 9 menit (terpendeknya 12j 1m dan terpanjangnya 15j 10m). Di kota Amsterdam yang jauh lebih ke utara (52º 22’ LU) rentang variasinya kian lebar, yaitu 9 jam 13 menit (terpendeknya 9j 48m, terpanjangnya 19j 1m).

Pada tahun 2011 ini, umat Islam di Amsterdam akan berpuasa selama 18jam lebih. Pada 2015 yang akan datang, mereka akan berpuasa selama 19 jam lebih. Tetapi pada tahun berikutnya waktu puasa di sana memasuki tren memendek hingga pada tahun 2032 hanya tinggal 9 jam 48 menit saja. Padahal pada tahun yang sama waktu puasa di Madinah adalah 12 jam 1 menit, dan di Melbourne 16 jam 43 menit.

Hamba yang memahami sistem pergiliran waktu ini sebagai manifestasi dari keadilan Sang Khaliq, ia akan legawa menunaikan kewajiban puasa dengan semestinya, waktunya pendek maupun panjang. Apalagi Sang Khaliq mengingatkannya dalam surat 2, al-Baqarah, ayat 184: وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (Berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui). Rasulullah SAW pun mengingatkannya:

مَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَاعْمَلُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَمَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا / أخرجه البزار وأحمد

Apa yang kuperintahkan padamu, kerjakanlah semampumu, dan apa yang kularang atasmu, hentikanlah.

(2)

Banyak jamaah masjid di Amsterdam yang amat jauh rumahnya. Ada yang harus transfer kereta api dua kali untuk menuju masjid. Bolehkah pada musim seperti ini, kami shalat Isya' dijamak takdim dengan maghrib?. Artinya setelah shalat maghrib, langsung shalat isyak (jamak taqdim, tidak qashar) dan juga tarawih, agar jamaah bisa segera pulang dan bersiap-siap sahur?

Pertanyaan ini memuat dua masalah. Keduanya perlu dijawab secara terpisah sebagai berikut:

Pertama, hukum salat jamaah Isyak di masjid secara jamak taqdim dengan Maghrib ketika malam Ramadan amat pendek supaya jamaah yang jauh rumahnya dari masjid bisa segera pulang untuk makan sahur.

Sayyid Sabiq dalam kitabnya, Fiqh al-Sunnah, menyimpulkan bahwa salat boleh dijamak dalam 5 (lima) keadaan: (1) ketika berada di Arafah dan Muzdalifah dalam rangka menunaikan manasik haji; (2) ketika akan atau sedang dalam safar; (3) ketika turun hujan agar jamaah tidak perlu datang lagi ke masjid untuk salat jamaah berikutnya dalam keadaan hujan; (4) ketika sakit atau ada uzur (halangan) mengingat tingkat kesukarannya lebih kuat dari keadaan hujan; dan (5) ketika ada keperluan atau hajat.

Mengenai “sakit dan uzur (halangan)” pada nomor (4) di atas, fukaha mazhab Hambali memperluas lingkupnya hingga mencakup (a) wanita menyusui kalau ia mengalami kesukaran buat menyuci kain setiap hendak salat, (b) wanita yang sedang mengalami pendarahan atau istihadlah, (c) orang yang mengalami gangguan silsalatul baul atau terus-menerus keluar kencing, (d) orang yang tidak dapat bersuci, (e) orang yang takut bahaya menimpa dirinya, hartanya, dan kehormatannya, dan (f) orang yang takut mendapat rintangan dalam mata pencaharian sekiranya ia meninggalkan jamak.

Pendeknya waktu malam, seperti yang terjadi pada kasus Amsterdam di atas, memang tidak disinggung dalam teks-teks fikih tentang alasan salat jamak. Tetapi melihat kesukaran yang ditimbulkannya, problem tersebut cukup relevan untuk dipertimbangkan masuk dalam kategori uzur yang membolehkan untuk menjamak taqdim Isyak dan Maqhrib.

Dalam jadual salat yang disusun oleh Muslim World League (Liga Muslim Dunia), pada awal Ramadan 1432 H. (1 Agustus 2011 M.) ini, Subuh di Amsterdam masuk pada pukul 03:24, Maghrib pukul 21:33, dan Isyak pukul 11:54. Akibatnya, rentang waktu antara azan Isyak dan azan Subuh hanya 3,5 jam. Kalau salat jamaah Isyak pada waktunya memakan waktu 0,5 jam (azan+iqamah+salat), waktu yang tersisa tinggal 3 jam. Perjalanan jamaah pulang ke rumah katakanlah rata-rata menghabiskan waktu 0,5 jam, maka untuk istirahat malam dan makan sahur hanya tinggal 2,5 jam. Jika setelah Isyak diselenggarakan salat Tarawih, sisa waktunya makin kurang lagi. Untuk jamaah yang rumahnya jauh dari masjid (sampai dua kali transfer kereta api) sudah tentu sisa waktu tersebut akan semakin mepet. Empat tahun yang akan datang (Ramadan 1436 H./2015 M.), pendeknya waktu malam di Amsterdam akan semakin ekstrim, karena jarak azan Isyak dan azan Subuh hanya 3 jam saja.

Tingkat kesulitan yang timbul akibat pendeknya waktu malam seperti diilustrasikam di atas tidak kurang, atau bahkan bisa lebih tinggi, daripada kesulitan yang muncul akibat turun hujan. Karena itu amatlah layak bila sempitnya waktu malam yang sedemikian ekstrim tersebut masuk dalam kategori uzur yang membolehkan dilakukannya salat jamaah Isyak secara jamak taqdim dengan Maghrib.

Kesimpulannya, pendeknya waktu malam yang ekstrim sehingga mempersempit waktu istirahat malam adalah layak dikatagorikan sebagai uzur yang membolehkan salat Isyak dikerjakan secara jamak taqdim dengan Maghrib.

Kedua, hukum melakukan salat Tarawih setelah salat Isyak yang dijamak taqdim dengan Maghrib.

Salat Tarawih adalah salat malam (qiyam al-lail). Waktu qiyam al-lail ialah setelah salat Isyak hingga terbit fajar. Tidak ditemukan riwayat bahwa Nabi SAW mengerjakan salat malam sesudah salat Isyak yang dijamak dengan Maghrib. Alih-alih salat malam, salat-salat sunah rawatib yang berkait langsung dengan salat-salat fardu yang dijamak itu saja tidak beliau kerjakan.

Juga tidak ditemukan riwayat bahwa Nabi SAW pernah memajukan pelaksanaan salat sunah pada sebelum waktunya. Yang ada malah sebaliknya, yaitu salat sunah beliau kerjakan sesudah lewat waktunya. Siti Aisyah menuturkan bahwa manakala beliau tidak sempat mengerjakan salat sunah empat rakaat qabliyah Zuhur, beliau mengerjakan atau mengqadlanya sesudah megerjakan dua rakaat ba’diyah Zuhur. Ummu Salamah juga menuturkan salat dua rakaat ba’diyah Zuhur pernah beliau kerjakan sesudah salat Ashar, ketika beliau tidak sempat mengerjakannya karena disibukkan oleh urusan penerimaan setoran harta (baitul mal) dan pengalokasiannya hingga masuk waktu Ashar. Juga diriwayatkan bahwa orang yang belum mengerjakan salat witir hingga masuk waktu Subuh, beliau perintahkan untuk mengerjakannya. Umar ibn Qais mengerjakan salat sunah dua rakaat fajar (qabliyah Subuh) setelah salat berjamaah Subuh karena ketika tiba di masjid salat jamaah Subuh sudah dimulai. Nabi SAW bertanya kepada Umar ibn Qais tentang salat itu. Setelah dijelaskannya, beliau diam tidak berkomentar.

Kesimpulannya, salat Tarawih tidak boleh dikerjakan sebelum masuk waktu Isyak meskipun salat Isyaknya sudah dijamak taqdim dengan Maghrib.

TAMBAHAN. Jika para jamaah masih bertahan di masjid untuk salat Tarawih, padahal mereka menjamak taqdim salat Isyak dengan Maghrib dengan alasan sempitnya waktu malam, maka sungguh ini tidak logis. Harusnya mereka segera pulang untuk istirahat malam dan makan sahur. Jika ada yang ingin salat Tarawih, biarlah mereka mengerjakannya di rumah. Imam Bukhari meriwayatkan penuturan Zaid ibn Tsabit bahwa di bulan Ramadan Nabi SAW salat di masjid beberapa malam, lalu orang-orang ikut salat (berjamaah) bersama beliau. Ketika mengetahui bahwa mereka menunggu, beliau keluar kepada mereka seraya bersabda:

... صلوا أيها الناس في بيوتكم فإن أفضل الصلاة صلاة المرء في بيته إلا المكتوبة

Salatlah kalian wahai manusia di rumah-rumah kalian. Sungguh sebaik-baik salat adalah salat seseorang di rumahnya kecuali salat wajib.

(3)

Kami sering shalatul lail malam lailatul qadar dengan berjamaah. Sekarang jamaah bingung karena ada yang melarangnya. Bagaimana sebenarnya shalat sunat berjamaah?

Mengenai salat jamaah, Nabi SAW telah menggambarkan keutamaannya, antara lain dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Abdullah bin Umar sebagai berikut:

صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَ عِشْرِيْنَ دَرَجَةً

Salat jamaah itu lebih afdol dua puluh tujuh derajat daripada salat sendiri.

Pernyataan Nabi SAW mengenai keutamaan salat jamaah ini bersifat umum, tidak khusus salat fardu. Karena itu tidak ada alasan untuk mengecualikan salat sunah dari cakupan makna pernyataan beliau tersebut. Beliau sendiri bahkan membawa sejumlah salat sunah ke ruang publik dan mengerjakannya secara berjamaah, yakni salat Idul Fitri, salat Idul Adha, salat Kusuf (gerhana matahari), salat Khusuf (gerhana bulan), dan salat Istisqa’ (minta hujan). Sedangkan salat-salat sunah lainnya yang ditekankan oleh beliau untuk dikerjakan di ruang privat atau di rumah menjadi lebih banyak terkondisi untuk dikerjakan secara privat (munfarid). Keadaan tersebut tidak menyebabkan berkembangnya anggapan di kalangan para sahabat bahwa salat sunah tidak boleh dikerjakan secara berjamaah.

Buktinya, kasus salat malam. Nabi SAW biasa mengerjakan salat ini di ruang privat secara munfarid. Tetapi ketika beliau mengerjakannya di ruang publik, yaitu ketika beliau i’tikaf di masjid pada malam-malam Ramadan, tanpa dikomando, para sahabat yang hadir di masjid segera membentuk barisan (berjamaah) di belakang beliau. Esok malamnya, peristiwa itu terulang dengan jumlah jamaah yang lebih banyak. Malam ketiga, sahabat yang hadir di masjid kian bertambah, tetapi Nabi SAW tidak keluar ke masjid. Pada pagi harinya (subuh), beliau mengklarifikasi ketidakhadirannya kepada mereka seraya bersabda:

قَدْ رَأَيْتُ الَّذِيْ صَنَعْتُمْ وَلمَْ يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ / أخرجه أبو داود من حديث عائشة

Sungguh aku lihat apa yang kalian lakukan (tadi malam), dan tidak ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali bahwa aku kuatir akan difardukan kepadamu.

Fakta-fakta tentang (1) pernyataan Nabi SAW mengenai keutamaan salat jamaah secara umum (tidak khusus salat fardu), (2) adanya sejumlah salat sunah yang ditekankan Nabi SAW untuk dikerjakan secara berjamaah, (3) tiadanya pengingkaran Nabi SAW terhadap spontanitas para sahabat yang membentuk barisan jamaah salat lail di belakang beliau hingga terulang lagi pada esok malamnya, dan (4) klarifikasi Nabi SAW bahwa ketidakhadirannya pada malam ketiga hanyalah disebabkan oleh kekuatiran bahwa salat malam secara berjamaah itu akan difardukan (atau dianggap fardu) secara keseluruhan merajut satu pengertian bahwa mengerjakan salat sunah secara berjamaah itu tidak dilarang.

Kesimpulannya, mengerjakan salat al-lail pada malam lailatul qadar secara berjamaah hukumnya BOLEH, tidak dilarang. Nabi SAW bahkan pernah melakukan salat al-lail di bulan Ramadan secara berjamaah bersama para sahabat.

Demikianlah, wallahu a’lam.

FIKIH QIYAMUL LAIL

Menjawab Pertanyaan Dari Pertamina

Abd. Salam Nawawi
(Lektor Kepala pada Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya)

Tulisan ini mulanya disusun untuk memenuhi harapan sahabat saya, Ustadz Dimas Sukiran, agar saya membantu jawaban mengenai landasan syariat pelaksanaan Qiyamul Lail secara berjamaah di masjid Wal Ashri, Pertamina, seperti yang beliau sampaikan kepada saya melalui sms pada tanggal 25 Mei 2011 yang lalu sebagai berikut:

Assalamu’alaikum Wr. Wb. Mohon bantuan jawaban, pimpinan saya menghendaki adanya Qiyamul Lail rutin 2 bulan sekali jam 03.00 di masjid Wal Ashri berjamaah seperti Tarawih Ramadan dengan cara salat Tasbih 4 rekaat 2 salam, salat Tahajjud 4 rekaat 2 salam, salat Witir 3 rekaat 1 salam. Landasan syari’at bagaimana? Mohon dikirim ke alamat email: dimas.sukiran@yahoo.co.id. Maturnuwun Pak Kyai, masalah berjamaahnya itu bagaimana mendudukkannya?

Agar jawaban bisa diberikan secara terpilah, saya break pertanyaan di atas menjadi tiga sub pertanyaan sebagai berikut: (1) Apa landasan syariat salat Tasbih? (2) Apakah salat Tarawih itu identik dengan Qiyamul Lail? (3) Bolehkah salat tasbih dan qiyamul lail dilakukan dengan berjamaah?

Salat Tasbih

Apa landasan syariat salat Tasbih? Di dalam kitab karyanya, Fiqh al-Sunnah, Syekh Sayyid Sabiq, seorang ulama al-Azhar (Mesir) yang masyhur kepakarannya dalam bidang fikih, menukil hadis tentang salat Tasbih yang bersumber dari Abdullah ibn ’Abbas sebagai berikut:

عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ : يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهُ أَلاَ أُعْطِيكَ أَلاَ أَمْنَحُكَ أَلاَ أَحْبُوكَ أَلاَ أَفْعَلُ لَكَ عَشْرَ خِصَالٍ، إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَقَدِيمَهُ وَحَدِيثَهُ وَخَطَأَهُ وَعَمْدَهُ وَصَغِيْرَهُ وَكَبِيْرَهُ وَسِرَّهُ وَعَلاَنِيَتَهُ. عَشْرَ خِصَالٍ أَنْ تُصَلِّىَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَسُورَةٍ، فَإِذَا فَرَغْتَ مِنَ الْقِرَاءَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ فَقُلْ وَأَنْتَ قَائِمٌ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ، ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُولُ وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ الرُّكُوْعِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ، ثُمَّ تَهْوِيْ سَاجِدًا فَتَقُولُ وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُوْدِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا، ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُولُهَا عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُوْدِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا. فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ مَرَّةً فِىكُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِي أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ. وَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَفِى كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَفِىكُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَفِى كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَفِى عُمُرِكَ مَرَّةً / رواه أبو داود وابن ماجه وابن خزيمة في صحيحه والطبراني.

Dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada Abbas bin Abdil Muththalib: Wahai Abbas, Wahai Paman! Sudikah engkau kuberi, kukaruniai, kuberi hadiah istimewa, kuajari sepuluh amalan yang jika engkau kerjakan niscaya Allah mengampuni dosamu yang awal dan yang akhir, yang lama dan yang baru, yang tidak disengaja dan yang disengaja, yang kecil dan yang besar, yang sembunyi dan yang terang-terangan. Sepuluh amalan itu adalah engkau salat empat rakaat, tiap rakaat membaca al-Fatihah dan surat. Sehabis membaca surat pada rakaat pertama ucapkanlah dalam keadaan engkau berdiri: Subhanallah Walhamdulillah Walailaha Illallah Wallahu Akbar lima belas kali. Kemudian engkau ruku’, lalu engkau mengucapkan kalimat itu dalam keadaan ruku’ sepuluh kali. Kemudian engkau angkat kepalamu dari ruku’, lalu engkau mengucapkannya sepuluh kali. Kemudian engkau turun untuk sujud, lalu engkau mengucapkannyas dalam keadaan sujud sepuluh kali. Kemudian engkau angkat kepalamu dari sujud, lalu engkau mengucapkannya sepuluh kali. Kemudian engkau sujud, lalu engkau mengucapkannya sepuluh kali. Kemudian engkau angkat kepalamu dari sujud, lalu engkau mengucapkannya sepuluh kali. Demikianlah tujuh puluh lima dalam setiap satu rakaat, engkau kerjakan dalam empat rakaat. Jika engkau bisa mengerjakan salat tersebut sekali setiap hari, maka kerjakanlah. Jika tidak bisa, maka sekali setiap jumat (minggu). Jika tidak bisa, maka sekali setiap bulan. Jika tidak bisa, maka sekali setiap tahun. Jika tidak bisa, maka sekali sepanjang umurmu. (Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahihnya, dan ath-Thabrani)

Hadis ini, menurut al-Hafidh, diriwayatkan dari banyak jalan, dan dari sekumpulan sahabat. Yang bagus adalah hadis riwayat Ikrimah ini. Sejumlah ulama, di antaranya al-Hafidh Abu Bakar al-Ajri, Syaikhuna Abu Muhammad Abdurrahim al-Mishri, dan Syaikhuna al-Hafidh Abul Hasan al-Maqdisi semoga Allah merahmati mereka, meinilai hadis ini sahih. Ibnul Mubarak berkata: Salat Tasbih itu dianjurkan, sunah membiasakannya pada setiap waktu dan tidak mengabaikannya. [Dikutip dari: Fiqh al-Sunnah, karya al-Sayyid Sabiq, Guru Besar Fikih pada Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (al-Maktabah al-Syamilah), juz 1, h. 212]

Dapat dipahami dari hadis di atas bahwa salat Tasbih merupakan salat sunah yang waktunya mutlak, boleh dikerjakan di siang hari dan boleh pula di malam hari. Jumlah rakaatnya 4 (empat). Angka 4 rakaat pada dasarnya dapat menerima dua alternatif makna, yaitu 2x2 rakaat atau 1x4 rakaat. Hanya saja tuturan dalam redaksi hadis di atas lebih dekat pada alternatif makna yang kedua. Sebagian pendapat memilih alternatif 2x2 rakaat jika salat tasbih dikerjakan pada malam hari mengingat sabda Nabi SAW: shalatul laili matsna-matsna (salat malam itu dua-dua). Wallahu a’lam

Tarawih dan Qiyamul lail

Apakah salat Tarawih itu identik dengan Qiyamul Lail? Suatu kali Abu Salamah ibn Abdur Rahman bertanya kepada Aisyah mengenai salat Nabi SAW pada (malam) Ramadan. Aisyah menjawab:

إِنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّم مَا كَانَ يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشَرَةَ رَكْعَةً ...

”Sesungguhnya beliau SAW tidak menambah pada bulan Ramadan dan tidak pula pada bulan selainnya atas sebelas rakaat ...” [Dikutip dari: Subul al-Salam, karya Muhammad ibn Isma’il al-Shan’ani, (al-Maktabah al-Syamilah), juz 2, h. 11]

Jawaban Aisyah ini menunjukkan bahwa pada malam-malam Ramadan dan pada malam-malam selain Ramadan qiyamul lail (salat malam) Nabi SAW itu sama saja. Kalau begitu apa yang disebut salat Tarawih tiada lain adalah qiyamul lail itu juga. Secara khusus, Nabi SAW memang mendorong kaum muslimin untuk menghidupkan malam-malam Ramadan dengan qiyamul lail. Beliau bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

”Barangsiapa melakukan qiyamul lail pada bulan Ramadan dengan iman dan mengaharap (ridlaNya), ia diampuni dosanya yang telah lalu.” [Dikutip dari Shahih al-Bukhari, karya Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, (al-Maktabah al-Syamilah), juz 2, h. 707]

Di belakang hari, qiyamul lail pada malam-malam Ramadan dikenal dengan sebutan salat Tarawih. Artinya bila disebut Tarawih, maka yang dimaksud adalah qiyamul lail pada bulan Ramadan.

Adapun angka 11 (sebelas) yang diungkap Aisyah, itu adalah angka maksimal jumlah rakaat yang disimpulkan Aisyah dari pengamatannya atas praktik qiyamul lail Nabi SAW. Jika 11 itu angka maksimal, berarti Nabi SAW pernah melakukannya kurang dari sebelas rakaat. Aisyah jugalah yang menuturkan bahwa Nabi SAW pernah melakukan salat lail hanya 9 rakaat, dan di waktu yang lain lagi bahkan hanya 7 rakaat.

Di tengah realitas keragaman jumlah rakaat qiyamul lail Nabi SAW yang dilaporkan Aisyah itu, Nabi SAW sendiri tidak pernah menggariskan batas maksimal rakaat dalam anjuran-anjuran beliau kepada para sahabat untuk melakukan qiyamul lail. Yang beliau lakukan justeru menyebut batas minimalnya. Misalnya sabda beliau yang dituturkan Abdullah ibn Abbas menyatakan:

عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ وَلَوْ رَكْعَةً وَاحِدَةً

”Lakukan oleh kalian qiyamul lail meskipun hanya satu rakaat.” [Dikutip dari al-Mu’jam al-Awsath, karya Abu Qasim Sulaiman ibn Ahmad ath-Thabrani, (al-Maktabah al-Syamilah), juz 7, h. 51]

Sejalan dengan itu tidak pernah muncul di kalangan Sahabat sebagai angkatan kaum muslimin pertama pemahaman bahwa dalam qiyamul lail ada batas maksimal jumlah rakaat. Mereka pun bahkan tidak mewacanakan masalah itu dalam ijtihad-ijtihad keagamaan mereka sepeninggal Nabi SAW. Bahkan Umar ibn Khattab di masa kekhilafahannya pernah memutuskan untuk menertibkan qiyamul lail pada bulan Ramadan (Tarawih) yang dilakukan di masjid dengan menunjuk imam tertentu dan dengan jumlah rakaat tertentu (23 rakaat).

Nalar logis kita tentu akan memustahilkan jika figur Sahabat sekualitas Umar ibn Khattab, yang dikenal sangat kokoh memegangi sunah Nabi SAW, akan dengan mudah menggariskan kebijakan yang disadarinya mencederai sunah. Lebih dan lebih mustahil lagi seluruh sahabat akan kompak untuk mengambil sikap ”diam seribu bahasa” jika mereka tahu bahwa kebijakan Umar tentang 23 rakaat qiyamu ramadlan tersebut jelas-jelas melawan sunah.

Ringkasnya, fakta-fakta sejarah yang berasal dari zaman Nabi SAW dan Sahabat memantulkan makna bahwa salat tarawih tiada lain adalah qiyamul lail dan di kalangan kaum muslimin yang hidup sezaman dengan Nabi SAW tidak pernah muncul pemahaman bahwa beliau telah menggariskan jumlah tertentu sebagai batas maksimal rakaat qiyamul lail. Wallahu a’lam.

Qiyamul Lail Berjamaah

Bolehkah qiyamul lail dilakukan dengan berjamaah? Dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Abdullah bin Umar, Nabi SAW membuat pernyataan tentang keutamaan salat jamaah sebagai berikut:

صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَ عِشْرِيْنَ دَرَجَةً / متفق عليه

Salat jamaah itu lebih utama daripada salat sendirian sebanyak dua puluh tujuh derajat. [Dikutip dari Bulugh al-Maram, Ibnu Hajar al-’Asqalani, (al-Maktabah al-Syamilah), juz 1, h. 144]

Dari redaksinya jelas terpaham bahwa pernyataan Nabi SAW tentang keutamaan salat jamaah ini bersifat umum, tidak ada pengkhususan untuk salat fardu. Karena itu tidak ada alasan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mengecualikan salat sunah dari cakupan makna pernyataan di atas. Artinya, salat sunah pun pada dasarnya boleh dan afdol dilakukan secara berjamaah. Bukankah Nabi SAW sendiri telah menghasung sejumlah salat sunah ke ruang publik dan mengerjakannya secara berjamaah? Salat-salat sunah yang dimaksud adalah salat sunah Idul Fitri, salat sunah Idul Adha, salat sunah Kusuf (gerhana matahari), salat sunah Khusuf (gerhana bulan), dan salat sunah Istisqa’ (minta hujan).

Adapun salat-salat sunah yang lain, oleh karena ditekankan oleh beliau untuk dikerjakan di ruang-ruang privat (di rumah), dengan sendirinya menjadi terkondisi untuk dikerjakan secara privat (munfarid) pula. Penekanan beliau itu tersimpul dalam hadis:

أَفْضَلُ الصَّلاَةِ صَلاَةُ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوْبَةَ

Sebaik-baik salat adalah salat seseorang di rumahnya kecuali salat fardu. [Dikutip dari al-Jami’ al-Shahih al-Mukhtashar, karya Muhammad ibn Isma’il Abu ‘Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, (al-Maktabah al-Syamilah) juz 1, h. 256.]

Penekanan untuk mengerjakan salat sunah di rumah itu tidak menyebabkan berkembangnya anggapan di kalangan para sahabat bahwa salat sunah tidak boleh dikerjakan secara berjamaah. Apalagi Nabi SAW sendiri memang tidak pernah melarang pelaksanaan salat sunah secara berjamaah.

Dalam konteks ini penting disebut fakta tentang qiyamul lail yang lazim dikerjakan Nabi SAW di rumah secara munfarid. Suatu kali pada malam Ramadan, sewaktu i’tikaf, beliau melakukan qiyamul lail di masjid. Melihat Nabi SAW salat, para sahabat yang hadir di sana tanpa dikomando segera membentuk barisan jamaah qiyamul lail di belakang beliau. Esok malamnya, salat jamaah qiyamul lail itu terulang kembali dengan jumlah jamaah yang lebih banyak. Malam ketiga, jamaah yang hadir kian bertambah, tetapi Nabi SAW tidak keluar. Ketika memberi konfirmasi pada pagi hari (subuh) nya, beliau bersabda kepada mereka:

قَدْ رَأَيْتُ الَّذِيْ صَنَعْتُمْ وَلمَْ يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ / أخرجه أبو داود من حديث عائشة

Sungguh aku lihat apa yang kalian lakukan (tadi malam), dan tidak ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali bahwa aku kuatir akan difardukan kepadamu. [Dikutip dari Subul al-Salam, karya Muhammad ibn Isma’il al-Shan’ani, (al-Maktabah al-Syamilah) juz 2, h. 9.]

Fakta-fakta tentang (1) pernyataan Nabi SAW mengenai keutamaan salat jamaah secara umum (tidak khusus salat fardu), (2) adanya sejumlah salat sunah yang ditekankan Nabi SAW untuk dikerjakan secara berjamaah, (3) tiadanya pengingkaran Nabi SAW terhadap spontanitas para sahabat yang membentuk barisan jamaah qiyamul lail di belakang beliau hingga terulang lagi pada esok malamnya, dan (4) klarifikasi Nabi SAW bahwa ketidakhadirannya pada malam ketiga hanyalah disebabkan oleh kekuatiran bahwa qiyamul lail secara berjamaah itu akan difardukan (atau dianggap fardu), secara keseluruhan membangun satu pengertian yang gamblang bahwa mengerjakan salat sunah secara berjamaah itu boleh, tidak dilarang.

Jadi, qiyamul lail dan salat sunah lainnya seperti salat tasbih boleh (tidak dilarang) dikerjakan secara berjamaah. Khusus qiyamul lail secara berjamaah, Nabi SAW sendiri malah pernah mengerjakannya bersama para sahabat di bulan Ramadan. Wallahu a’lam

BULAN DAN KALENDER ISLAM

(Catatan untuk Agus Mustofa)

Abd. Salam Nawawi
Ketua Lajnah Falakiyah NU Jatim

Dalam tulisan ini kata bulan (huruf biasa) digunakan sebagai padanan kata syahr (Arab) atau month (Inggris), sedangkan BULAN (huruf kapital) digunakan sebagai padanan kata qamar (Arab) atau moon (Inggris).

Harian Jawa Pos (Sabtu, 3 September 2011) memuat tulisan Agus Mustofa bertajuk “Bulan Tak Pernah Bohong”. Melihat banyak orang masih “pusing” memahami perbedaan Lebaran, Agus Mustofa terpanggil untuk menawarkan kunci jawaban.

”Sesungguhnyalah BULAN tidak akan pernah berbohong. Sebab ia adalah fakta alias realitas. Yang bisa berbohong itu kan manusia. Karena itu, pertanyaan seputar ketinggian BULAN dan sekarang tanggal berapa Syawal sebenarnya bisa Anda jawab sendiri dengan mudah.” Demikian Agus Mustofa memberikan hantaran.

Caranya, kata Agus Mustofa, sangat sederhana. Pertama, dengan melihat BULAN di langit sudah berapa tinggi. Kedua, kalau masih ragu karena sekarang masih berbentuk sabit, dengan mudahnya Anda bisa melihat saat BULAN Purnama. Itulah tanggal 15 Syawal. Kemudian hitunglah maju kearah awal bulan. Maka, Anda akan tahu kapankah tanggal 1 Syawal yang sebenarnya. BULAN tidak bisa berbohong, bukan …?

Agus Mustofa membangun persepsi mengenai kelompok-kelompok yang berbeda hari Lebaran tersebut sebagai berikut. “Mereka semua tahu kok bahwa akhir Ramadan (ijtimak alias posisi segaris antara BULAN-BUMI-MATAHARI) itu jatuh pada 29 Agustus 2011, sekitar jam 11.”

Di bagian lain, Agus Mustofa menegaskan bahwa “usia bulan Ramadan maksimal memang hanya 29,5 hari.”

Dari pernyataan-pernyataan di atas, saya memahami tiga konsep dasar yang menjadi pijakan Agus Mustofa. Pertama, bahwa siklus bulan dalam kalender Islam berawal dari —dan berakhir pada— saat Ijtimak. Kedua, bahwa ketika terjadi Purnama, umur bulan dihitung masuk tanggal 15. Ketiga, bahwa usia bulan dalam kalender Islam maksimal hanya 29,5 hari.

Realitas BULAN

Agus Mustofa meracik resep jawaban di atas berdasarkan realitas BULAN dari perspektif astronomi. Supaya jelas duduk perkaranya, saya merasa perlu untuk mengartikulasikan realitas tersebut dengan ringkas.

BULAN adalah benda langit yang gelap. Jika ia tampak bercahaya, maka cahayanya itu adalah sinar MATAHARI yang dipantulkan permukaannya yang menghadap ke BUMI. Karena jarak BUMI-MATAHARI dan BULAN-MATAHARI amat jauh ( 150 juta kilometer), maka permukaan BUMI dan BULAN yang tersinari MATAHARI hanyalah seperduanya.

BULAN, BUMI, dan MATAHARI adalah benda-benda langit yang bergerak. BULAN mengelilingi BUMI, BUMI mengelilingi MATAHARI, dan MATAHARI mengelilingi pusat galaksi. Konfigurasi gerak ketiganya membuat posisi BULAN terhadap BUMI dan MATAHARI selalu berubah. Akibatnya seperdua permukaan BULAN yang tersinari Matahari terus bergeser dari bagian yang membelakangi BUMI ke bagian lain yang menghadap ke BUMI, dan sebaliknya.

BULAN bergerak mengelilingi BUMI (gerak revolusi) ke arah timur, satu putaran rata-rata 27 hari 7 jam 43 menit 11,51 detik. Masa ini disebut Satu Bulan Sideris. Berarti per hari, BULAN bergerak ke timur rata-rata 13 10' 34,89". BULAN juga bergerak pada sumbunya (gerak rotasi) dalam waktu yang sama dengan waktu yang dibutuhkannya untuk satu putaran gerak revolusi. Karena itu wajah BULAN yang menghadap ke BUMI adalah sisi permukaannya yang selalu sama.

BUMI berputar pada sumbunya (gerak rotasi) ke arah timur, satu kali dalam ± 24 jam. Karena itu sinar MATAHARI yang mengenai permukaan BUMI terus bergeser ke barat sehingga di BUMI terjadi siklus malam-siang. BUMI juga bergerak mengelilingi MATAHARI (gerak revolusi) ke arah timur pada suatu lingkaran yang disebut Ekliptika. Satu putaran berlangsung dalam 365 hari 5 jam 45 menit 46 detik. Berarti dalam satu hari BUMI bergerak sejauh 0 59' 8,33".

Akibat gerak revolusi BUMI ini, MATAHARI jadi terlihat bergerak-semu di Ekliptika ke arah timur secepat gerak revolusi BUMI (0 59' 8,33" per hari). Karena arah Ekliptika memotong Khatulistiwa (Equator) sebesar sudut 23 27’ maka MATAHARI kadang terlihat di Khatulistiwa, kadang di utaranya, dan kadang di selatannya.

Di pihak lain arah lintasan BULAN memotong Ekliptika dengan sudut bervariasi antara 4 57’ sampai 5 20’ sehingga BULAN kadang terlihat berhimpit dengan MATAHARI (seperti ketika terjadi gerhana MATAHARI), kadang di utaranya, dan kadang di selatannya.

Jika BULAN bergerak ke timur sejauh 13 10' 34,89" per hari, sedangkan MATAHARI hanya 0 59' 8,33", maka BULAN bergerak ke timur 12 11' 26,56" lebih cepat daripada MATAHARI. Perbedaan kecepatan ini meniscayakan terjadinya peristiwa ijtimak (konjungsi) dan istiqbal (oposisi).

Ijtimak dan istiqbal adalah konsep-konsep astronomik berkenaan dengan posisi BULAN dan MATAHARI pada Garis Bujur Astronomis (GBA). GBA sendiri ialah garis (busur) imajinatif yang menghubungkan kedua kutub Ekliptika. Kala BULAN dan MATAHARI berada pada GBA yang sama (bersegaris), konsep astronomi menyatakan keduanya sedang dalam posisi ijtimak. Adapun kala berada pada GBA yang berlawanan (terpisah jarak 180º), keduanya dikatakan sedang dalam posisi istiqbal.

Jika BULAN berijtimak dengan MATAHARI pada suatu GBA, maka untuk kembali ke GBA itu lagi BULAN membutuhkan waktu Satu Bulan Sideris (27 hari lebih). Namun kala BULAN telah kembali ke GBA itu, MATAHARI sudah bergeser ke timur sejauh ± 27º. Karena itu, untuk berijtimak kembali, BULAN harus menempuh 360 lebih banyak daripada MATAHARI. Waktu rata-rata yang dibutuhkan BULAN untuk itu adalah (360 : 12º 11’ 26,56”) x 1 hari = 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik. Masa ini dalam konsep astronomi disebut Satu Bulan Sinodik atau Satu Bulan Ijtimak.

Tapi ini hanyalah hitungan rata-rata. Panjang Satu Bulan Ijtimak yang sebenarnya bervariasi antara 29 hari plus 6 jam lebih sampai 29 hari plus 19 jam lebih. Karena itu ijtimak dan istiqbal selalu berubah momen terjadinya, adakalanya pada siang hari dan adakalanya pada malam hari.

Di seputar momen ijtimak, BULAN menghilang. BULAN tidak tampak dari BUMI karena sinar MATAHARI mengenai semua/bagian terbesar permukaannya yang membelakangi BUMI. Fenomena penampakan BULAN pada momen ijtimak ini dalam astronomi disebut New Moon (Qamar Jadid, BULAN Mati), bukan New Month (Syahr Jadid, Sasi Anyar).

Sebaliknya pada momen istiqbal, BULAN tampak utuh/penuh. Itu terjadi karena sinar MATAHARI mengenai semua/bagian terbesar permukaan BULAN yang menghadap ke BUMI. Fenomena penampakan BULAN pada momen istiqbal ini dalam astronomi disebut Full Moon (Badr, Purnama).

Setelah menghilang pada seputar ijtimak, BULAN kembali akan menampakkan diri berseiring dengan perubahan posisinya terhadap BUMI dan MATAHARI. Astronomi membagi penampakan BULAN menjadi beberapa fase. Dimulai dari fase New Crescents (Hilal-Hilal Muda) selama beberapa hari dengan ciri penampakan berbentuk lengkung. Kemudian fase First Quarter (Tarbi’ Awwal, Seperempat Pertama) ketika penampakannya mencapai separuh lingkaran. Lalu fase First Gibos selama beberapa hari dengan ciri penampakan bebentuk cembung. Saat mencapai ukuran terbesar, penampakan BULAN dikatakan berada pada fase Full Moon (Badr, Purnama). Sesudah itu, penampakan BULAN memasuki fase-fase Last Gibos, Last Quarter (Tarbi’ Tsani, Seperempat Kedua), Old Crescents (Hilal-Hilal Tua), lalu menghilang kembali.

Perubahan posisi dan penampakan BULAN seperti digambarkan di atas berlangsung teratur dan eksak sesuai dengan rekayasa husban (perhitungan) Penciptanya, yaitu Allah SWT. Karena itu benarlah adanya, BULAN memang tak akan pernah berbohong.

Kalender Islam

Dalam surat Yunus ayat 5, Allah SWT menegaskan bahwa realitas BULAN dengan perubahan posisi dan penampakannya itu dimaksudkanNya agar manusia punya acuan untuk menyusun kalender (takwim). Sebagai realitas, tentu saja ia netral dan independen. Dalam sejarah peradaban manusia, sistem-sistem kalender yang mengacu pada realitas BULAN penyusunannya selalu bertolak dari perspektif dan kriteria tertentu.

Contohnya kalender Cina. Siklus bulan (month) dalam kalender ini disusun berdasarkan realitas BULAN dengan kriteria bahwa awal bulan dimulai dari hari terjadinya ijtimak (H0). Juga kalender Saka Bali, yang siklus bulannya disusun berdasarkan realitas BULAN juga. Dalam kalender Saka Bali hitungan awal bulan dimulai dari hari pertama paska ijtimak (H+1).

Untuk siklus tahun (year), kalender Cina dan Saka Bali sama mengacu pada realitas MATAHARI (solar). Dengan dual system seperti ini, tahun-tahun tertentu dalam kedua kalender tersebut ada yang terdiri atas 13 bulan.

Penyusunan kalender Islam juga mengacu pada realitas BULAN, baik untuk siklus bulan (syahr) maupun tahun (sanah). Pola penyusunannya mengacu pada konsep-konsep waktu yang dibakukan berdasarkan doktrin kalender Islam sebagai berikut.

Hari (yaum, day) adalah satuan masa yang terdiri atas malam dan siang. Siklusnya dimulai dari —dan berakhir pada— saat terbenam MATAHARI (al-Isra’ 12). Bulan (syahr, month) ialah satuan masa yang terdiri atas 29 atau 30 hari. Awal dan akhir siklusnya ditandai oleh kemunculan hilal termuda sesudah terbenam MATAHARI paska ijtimak (al-Baqarah 189, hadis Nabi SAW). Tahun (sanah, year) ialah satuan masa yang terdiri atas dua belas bulan (al-Taubah 36).

Implementasinya, kalau ijtimak terjadi dinihari sehingga setelah terbenam MATAHARI pada petang harinya terjadi kemunculan hilal, maka awal bulan Islam dimulai dari hari pertama paska ijtimak (H+1). Tetapi kalau saat ijtimak relatif dekat dengan terbenam MATAHARI sehingga tidak terjadi kemunculan hilal, maka umur bulan berjalan diistikmalkan (digenapkan) sehingga awal bulan baru dimulai pada hari kedua paska ijtimak (H+2).

Coba kita ingat realitas BULAN di akhir Ramadan lalu. Saat ijtimak ketika itu terjadi pada Senin, 29 Agustus 2011 sekitar pukul 11. Karena jarak antara ijtimak dan terbenam MATAHARI relatif pendek (hanya 7,5 jam) sehingga pada petang hari itu tidak terjadi kemunculan hilal karena ketinggian BULAN (qamar) sangat rendah (kurang dari 2º), maka Isbat pemerintah menyatakan awal Syawal dimulai dari Rabu (H+2).

Jadi, walau benar bahwa kalender Islam itu disusun berdasarkan realitas BULAN, namun Bulan Takwim atau Bulan Kalender Islam tidak sama (dan tidak dapat disamakan) dengan Bulan Sideris dan/atau Bulan Ijtimak/Sinodik dalam konsep astronomi.

Khatha’ Jaly

Kunci jawaban yang ditawarkan Agus Mustofa di muka tadi memang terasa logis plus gampang dicerna. Sayang, kunci jawaban itu dibuat hanya berdasarkan konsep-konsep astronomi tentang realitas BULAN (sunnatullah). Padahal untuk penyusunan kalender, Islam menggariskan seperangkat panduan yang mesti dipedomani. Karena melakukan jumping, Agus Mustofa jatuh dalam slip of the concept. Sadar atau tidak, dengan kunci jawaban seperti yang ditawarkan itu Agus Mustofa mengajari umat Islam menyamakan ”bulan takwim/kalender” dengan ”bulan ijtimak/sinodik”. Jadinya kalau diikuti, ujungnya akan seperti memakai celana salah ukuran, yakni cingkrang.

Ada baiknya kita baca kembali konsep-konsep yang dipijak Agus Mustofa di atas. Pertama, bahwa siklus bulan dalam kalender Islam berawal dari —dan berakhir pada— saat Ijtimak. Konsep ini jelas murni astronomik. Sebab, panduan Islam tentang pergantian siklus “bulan kalender” mengaitkannya dengan fenomena hilal, bukan dengan fenomena ijtimak.

Konsep kedua, bahwa ketika terjadi Purnama, umur bulan dihitung masuk tanggal 15. Tesis Agus Mustofa ini BENAR andai angka 15 itu ia nisbatkan pada usia Bulan Ijtimak yang awal harinya dimulai dari saat ijtimak itu sendiri. Tapi tesis itu jadi SALAH karena Agus Mustofa menisbatkannya pada umur Bulan Takwim/Kalender. Oleh karena dalam kalender Islam awal hari dimulai dari terbenam MATAHARI paska ijtimak, maka Purnama bisa jatuh pada tanggal 14, bahkan bisa juga pada bagian akhir tanggal 13. Karena itu puasa sunah pada Ayyam al-Biidh dilakukan Nabi SAW pada tanggal-tanggal 13, 14. dan 15.

Ilustrasi konkritnya adalah kasus Ramadan 1432 H. yang “disepakati” awal bulannya jatuh pada Senin, 1 Agustus 2011. Pada malam Senin, di saat ghurub MATAHARI, usia Bulan Kalender = 0 jam, tapi Bulan Ijtimak sudah 17 jam karena ijtimak terjadi pada kira-kira pukul 1 Ahad dinihari. Dengan beda start seperti ini, maka pada 14 Agustus 2011 pukul 1 Ahad dinihari, usia Bulan Ijtimak mulai memasuki hitungan hari ke-15, sedangkan usia Bulan Kalender masih tanggal 14.

Realitas BULAN kala itu menunjukkan bahwa saat Purnama (istiqbal) terjadi pada sekitar pukul 2 Ahad dinihari itu juga. Nah, fakta ini membuktikan bahwa Purnama itu benar terjadi pada hari ke-15 Bulan Ijtimak, tetapi dalam konteks Bulan Kalender, Purnama terjadi pada tanggal 14. Andai malam itu secara serampangan kita hitung sebagai tanggal 15 sesuai petunjuk Agus Mustofa, lalu kita hitung maju ke awal bulan, maka kita akan memperoleh jawaban pasti bahwa 1 Ramadan jatuh pada Ahad, 31 Juli 2011. Nah, barabe, kan?

Konsep ketiga, bahwa usia bulan dalam kalender Islam maksimal hanya 29,5 hari. Konsep ini kian mempertegas khatha’ jaly (kesalahan yang nyata) dalam ”kunci jawaban” Agus Mustofa itu. Bagaimana tidak, sejak 1400 tahun yang silam Nabi SAW sudah menegaskan bahwa umur bulan dalam takwim/kalender Islam itu 29 hari atau 30 hari. Tidak ada 29 hari koma sekian. Sekali lagi, angka 29,5 hari yang disebut Agus Mustofa itu tidak lain adalah umur Bulan Ijtimak/Sinodik dalam hitungan rata-rata.

Akar Persoalan

Tidak seperti yang dipersepsi Agus Mustofa, kelompok-kelompok mainstream yang berbeda Lebaran itu sesungguhnya tidak ada yang berpendapat bahwa Ramadan telah berakhir pada saat ijtimak. Pijakan mereka, sesuai dengan petunjuk dinullah, Ramadan berakhir apabila paska terbenam MATAHARI di penghujung tanggal 29 Ramadan itu terjadi kemunculan hilal. Kalau itu tidak terjadi, maka Ramadan digenap/istikmalkan 30 hari. Realitas pada saat itu menunjukkan bahwa BULAN berada di atas ufuk dengan ketinggian rendah (kurang dari 2º). Apakah dengan realitas BULAN seperti itu dapat disimpulkan bahwa Hilal sudah muncul?

Dalam belukar pengalaman selama ratusan tahun para astronom mengobservasi BULAN dengan teleskop tidak pernah ada satu pun referensi ilmiah yang menyatakan bahwa dari permukaan BULAN dengan umur dan posisi seperti di atas sudah lahir crescent moon (sabit BULAN).

Mayoritas kelompok yang berbeda Lebaran memahami Hilal —yang pada zaman Nabi SAW diburu dengan rukyat— sebagai visible crescent moon, yakni cahaya yang terlihat berbentuk lengkung tipis pada bibir bawah (lower limb) piringan BULAN (qamar). Karena itu, meskipun pada Senin petang itu BULAN alias QAMAR sudah wujud di atas ufuk, tetapi karena permukaannya masih gelap, mereka simpulkan kemunculan Hilal tidak akan terjadi. Andai pun ada yang melapor bahwa Hilal dapat dirukyat, laporan itu mereka posisikan sebagai natijah dari kekeliruan. Realitas BULAN pada Senin petang itu bagi mereka adalah Wujudl Qamar, bukan Wujudul Hilal. Karena itu, mereka memutuskan Ramadan diistikmalkan dan Lebaran Fitri jatuh pada hari Rabu.

Tetapi Muhammadiyah membaca realitas BULAN pada Senin petang itu sebagai Wujudul Hilal. Sebab, Hilal menurut Muhammadiyah tidak lain adalah BULAN (qamar) itu sendiri. Jadi, kalau piringan BULAN berada di atas ufuk pada saat MATAHARI terbenam, seberapa pun ketinggiannya dan biarpun permukaannya benar-benar gelap, Hilal mereka simpulkan sudah wujud. Jadi Wujudul Hilal menurut Muhammadiyah adalah moonset after sunset (BULAN terbenam sesudah MATAHARI terbenam). Dengan cara berpikir seperti ini Muhammadiyah tidak mengistikmalkan Ramadan dan memilih berlebaran pada hari Selasa.

Inilah akar persoalannya. Selagi konsep Hilal kelompok Muhammadiyah masih berbeda dengan kelompok yang lainnya, maka kalau BULAN berada di atas ufuk tetapi posisinya belum memenuhi batas ambang visibilitas (imkan rukyat), selalu akan terjadi perbedaan hari Lebaran.

Sebagai penutup, al-Qur’an menyebut kata qamar sebanyak 26 kali seluruhnya dengan kata berbentuk tunggal (mufrad, singular). Sedangkan Hilal, oleh al-Qur’an hanya disebut satu kali tetapi dengan kata berbentuk jamak (plural): al-Ahillah. Di samping itu pada zaman Rasul, untuk penentuan awal bulan Islam, beliau keluarkan instruksi rukyat al-Hilal, bukan rukyat al-Qamar. Fakta penggunaan kata Hilal dan Qamar dalam al-Qur’an dan Hadis ini cukup memberi indikasi bahwa realitas Hilal memang tidak identik dengan realitas Qamar seperti yang dipahami para astronom dan mayoritas kelompok yang berbeda Lebaran tadi. Demikianlah, wallahu a’lam.

Sabtu, 12 Maret 2011

MENJAGA AGAMA

Ada lima perkara penting yang amat dijaga oleh Islam demi terealisasinya kemaslahatan bagi manusia dalam kehidupannya kini dan nanti. Kelima perkara itu adalah 1) agama (al-din), 2) jiwa (al-nafs), 3) akal (al-‘aql), 4) keturunan (al-nasl), dan 5) harta (al-mal).


Untuk menjaga agama (al-din) Islam, setiap muslim digariskan untuk memegangi empat komitmen, yakni komitmen iman, komitmen amal, komitmen dakwah, dan komitmen pertahanan.

Komitmen Iman

Komitmen iman merupakan moda penjagaan agama Islam melalui jalur internalisasi. Komitmen ini menuntut setiap muslim untuk meyakini Islam sebagai satu-satunya bukan salah satu agama yang benar. Keyakinan atas kebenaran Islam ini meliputi dua dimensinya sekaligus, yakni dimensi isi maupun dimensi bingkai.

Pada dimensi isi, Islam diyakini benar dalam arti semua materi ajaran yang diturunkan Allah itu tetap terjaga kemurniannya sampai sekarang. Sisi ini terpulang pada keterjagaan al-Qur’an dari segala bentuk perubahan dan infiltrasi unsur-unsur asing seperti yang digaransi sendiri oleh Allah melalui firmanNya: “Sungguh Kami telah menurunkan adz-Dzikr (al-Qur’an) dan sungguh Kami jua yang selalu menjaganya” (QS 15, al-Hijr: 9). Realitas konkrit dari keterjagaan al-Qur’an adalah eksisnya kitab suci ini dalam teksnya yang asli dan dalam versinya yang tunggal (hanya ada satu versi al-Qur’an di dunia).

Pada dimensi bingkai, Islam diyakini benar dari segi ruang dan waktu yang membinhgkai keberlakuannya. Sisi ini bertemali dengan universalitas subyek kepada siapa nabi pembawa ajaran Islam ini diutus, yakni kepada seluruh manusia atau kaffah li al-nas (QS 34, Saba’: 28). Juga bertemali dengan eternalitas masa kerberlakuannya (sampai akhir zaman) karena nabi pembawa ajaran ini adalah nabi penutup. “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasul Allah dan penutup nabi-nabi …” (QS 33, al-Ahzab: 40).

Menjaga Islam dengan komitmen iman meniscayakan subyek pemangkunya terbebas dari keyakinan sinkretis yang mengarah pada pembenaran ajaran semua agama. Jika pun ada warisan ajaran dari kitab Allah terdahulu yang dari dimensi isi berkualifikasi benar, pastilah warisan ajaran itu dari dimensi bingkai tidak berkualifikasi benar karena masa berlakunya sudah lewat (expired) dan kapling subyek sasarannya sudah tersapu habis oleh universalitas kerasulan Muhammad.

Komitmen Amal

Komitmen amal merupakan moda penjagaan agama Islam melalui jalur eksternalisasi. Komitmen ini tersimpul dengan singkat paling tidak dalam firman-firman Allah berikut ini: “Sungguh Kami menurunkan al-Kitab kepadamu dengan (membawa) kebenaran, maka sembahlah Allah dengan memurnikan agama kepadaNya” (QS 39, al-Zumar: 2); “Katakanlah: Sungguh aku diperintahkan menyembah Allah dengan memurnikan agama kepadaNya” (QS 39, al-Zumar: 11); “Katakanlah: Hanya Allah yang aku sembah dengan memurnikan agama kepadaNya” (QS 39, al-Zumar: 14)”

Menjaga Islam dengan komitmen amal, dengan demikian, adalah mengimplementasikan semua ajarannya dalam spirit mukhlishan lahu al-din (memurnikan agama kepadaNya). Murni itu apa adanya, tidak dicampuri, tidak dikurangi, dan tidak ditambahi. Tentu dalam makna ini, tidaklah dapat dibilang memurnikan agama kepada Allah, individu muslim yang hanya Islam ibadahnya tetapi tidak Islam muamalahnya. Disiplin membayar zakat tapi gigih mengembangkan riba adalah paduan dari dua aksi kesungguhan yang paradoks. Di satu bersemangat menjaga Islam tetapi di lain bernafsu mencampakkannya.

Komitmen Dakwah

Komitmen dakwah merupakan moda penjagaan agama Islam melalui jalur obyektivasi. Jalur ini membawa ajaran Islam yang eksis di bilik-bilik subyektif (baca: dunia individu) bergerak keluar “melanda” alam obyektif (baca: dunia masyarakat).

Dunia (individu dan masyarakat) adalah panggung ujian dengan manusia sebagai aktornya. Aktor yang tengah diuji ini memasuki panggung sebagai subyek yang bebas, yang merdeka, yang tidak dipaksa, yang leluasa memilih aksi yang hendak dimainkannya di panggung dengan penuh kesadaran, dan karena itu adalah juga subyek yang bertanggungjawab atas pilihannya.

Untuk mendapatkan yang terbaik amalnya (QS 11, Hud: 7 dan QS 67, al-Mulk: 2), Sang Khalik selaku penguji memberlakukan aturan main (role of the game) yang liberal sebagai berikut:

“… kebenaran itu datang dari Tuhanmu, maka SIAPA YANG MAU SILAKAN BERIMAN DAN SIAPA YANG MAU SILAKAN KAFIR. Buat mereka yang zalim sungguh telah Kami sediakan neraka yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta minum, mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. Sungguh mereka yang beriman dan beramal saleh, tentu Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang memperbagus amalnya. Bagi mereka surga 'Adn yang di bawahnya sungai-sungai mengalir; mereka di sana dihiasi dengan gelang-gelang emas dan mereka memakai busana hijau dari sutera halus dan sutera tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah. Itulah pahala yang sebaik-baiknya dan tempat istirahat yang indah. (QS 18, al-Kahfi: 29-31)

Karena sedemikian ini aturan main yang berlaku di medan dakwah, maka komitmen dakwah harus mengejawantah dalam aras yang serasi dengan aturan main itu. Karena itu Rasulullah SAW, juru dakwah Islam yang pertama dan utama, implementasi dakwahnya dipagari dengan sejumlah rambu berikut ini.

Pertama, rambu bahwa eksisnya peran-peran antagonistik di medan dakwah adalah sesuatu yang niscaya. Kalau saja Tuhanmu menghendaki demikian Allah menekankan dalam sebagian firmanNya, niscaya semua manusia berada dalam petunjukNya (QS 6, al-An’am: 35, QS 16, al-Nahl: 9); tidak ada manusia yang menyekutukanNya (QS 6, al-An’am: 107); tidak ada manusia dan jin yang menjadi setan dan memusuhi nabi (QS 6, al-An’am: 112); orang-orang musyrik tidak memandang baik perbuatan membunuh anak (QS 6, al-An’am: 137); penduduk Bumi beriman semuanya (QS 10, Yunus: 99); dan manusia menjadi umat yang satu (QS 11, Hud: 118, QS 16, al-Nahl: 33, QS 42, al-Syura: 8).

Kedua, rambu bahwa Rasul masuk ke medan dakwah itu dalam keadaan tidak dibekali pengetahuan tentang siapa-siapa yang berpotensi sesat dari jalanNya dan siapa-siapa yang berpotensi untuk mendapat petunjuk (QS 16, al-Nahl: 105).

Ketiga, rambu bahwa Rasul masuk ke medan dakwah tanpa dibekali otoritas untuk memberi hidayah, bahkan termasuk kepada orang yang dicitainya sekali pun. Otoritas tersebut dipegang sepenuhnya oleh Allah (QS 28, al-Qashash: 56).

Keempat, rambu bahwa adanya orang sesat di medan dakwah tidaklah punya efek bahaya terhadap orang-orang yang beriman apabila mereka berpegang pada petunjuk (QS 5, al-Maidah: 105).

Kelima, rambu bahwa yang boleh mengejawantah di medan dakwah adalah aksi-aksi persuasif yakni: a) Tabligh atau presentasi (QS 3, Ali ‘Imran: 20, QS 5, al-Maidah: 92, QS 5, al-Maidah: 99, QS 13, al-Raid: 90), b) Da’wah atau mengajak dengan bijak, dengan nasehat yang baik, dan dengan dialog yang lebih baik (QS 16, al-Nahl: 125), c) Tadzkir atau mengingatkan (QS 88, al-Ghasyiyah: 21), d) Tawshiyah atau berpesan (QS 103, al-‘Ashr: 3), dan e) Tabsyir atau mengabarkan berita gembira dan Tandzir atau memberi peringatan (QS 2, al-Baqarah: 119, QS 34, Saba’: 28, QS 35, Fathir: 24).

Keenam, rambu bahwa yang tidak boleh mengejawantah di medan dakwah adalah aksi-aksi kasar dan melecehkan seperti: a) Ikrah atau pemaksaan (QS 2, al-Baqarah: 256, QS 10, Yunus: 99), dan b) Sabb atau caci-maki (QS 6, al-An’am: 108).

Komitmen Pertahanan

Komitmen pertahanan merupakan moda penjagaan agama Islam melalui jalur advokasi ketika hadir kekuatan destruktif, baik dari kalangan eksternal (non muslim) maupun dari kalangan internal (muslim), yang hendak menjauhkan umat muslimin dari kehidupan damai yang realisasinya menjadi tujuan substansial dari ajaran agama mereka (Islam).

Jika kekuatan kontra damai itu datang dari kalangan eksternal (non muslim), maka komitmen pertahanan yang digariskan Islam (seperti diajarkan Nabi dalam hadis yang diriwayatkan Muslim) melarang umat Islam menghadapinya dengan kekuatan senjata (perang) kecuali sesudah langkah-langkah persuasif yang mereka tempuh berikut ini direspons dengan penolakan.

Pertama, langkah ajakan agar mereka masuk Islam. Jika mereka menerima dan mau bermigrasi (hijrah) ke negeri muslim, maka mereka memperoleh perlakukan yang sama dengan kaum muslimin yang sudah bermigrasi ke negeri muslim. Jika mereka memilih tidak bermigrasi, maka seperti kaum muslimin lainnya yang berdomisili di luar negeri muslim hukum-hukum Allah berlaku atas mereka dan mereka tidak mendapat bagian dari harta fay’ dan ghanimah kecuali jika mereka berjihad (berperang) bersama kaum muslimin.

Kedua, setelah langkah pertama ditolak langkah ajakan untuk hidup berdampingan secara damai di mana mereka dapat hidup aman dalam agama/keyakinan mereka di bawah perlindungan dari otoritas keamanan muslim dengan kompensasi pembayaran jizyah/pajak dari mereka.

Jika mereka menolak dan bersikukuh untuk memerangi kaum muslimin, maka komitmen pertahanan Islam yang cinta damai menggariskan: ”Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (QS 2, al-Baqarah: 190)

Perang yang tidak melampaui batas adalah perang yang diselenggarakan sekedar untuk menundukkan kekuatan destruktif yang kontra damai. Karena itu etika perang dalam Islam melarang pejuang muslim untuk: a) membunuh musuh dengan disertai perusakan wajah; b) membunuh warga sipil yang tidak melibatkan diri dalam perang seperti wanita, orang tua, dan anak-anak; c) merusak tempat-tempat ibadah, dan d) merusak tanaman (lingkungan hidup).

Jika kekuatan kontra damai itu datang dari kalangan internal (muslim), maka komitmen pertahanan Islam menggariskan tindakan sebagai berikut: ”Dan kalau dua golongan dari kalangan orang-orang yang beriman berperang, damaikanlah keduanya! Jika yang satu bertindak melampaui batas terhadap yang lain, perangilah yang melampaui batas itu sampai mereka kembali pada perintah Allah. Kalau mereka sudah surut, damaikanlah keduanya dengan adil, dan berlakulah adil, sungguh Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS 49, al-Hujurat: 9)

Empat komitmen penjagaan agama yang digariskan Islam di atas merangkai dengan serasi nilai-nilai kebebasan, keyakinan, konsistensi, tanggungjawab, kelembutan, keteguhan, proporsionalitas, dan keadilan. Inilah pijakan substansial yang mengantar umat Islam hadir sebagai ummatan wasathan yang menyuguhkan moderasi ke tengah kehidupan publik dunia yang cenderung membelit diri dengan ekstrimitas.

Kaum minoritas dengan agama dan keyakinan apa pun yang mau hidup berdampingan dengan damai akan aman dan terlindungi di tengah mayoritas umat muslim yang menjaga agamanya dengan cara Islam. Jika tidak, tentu pihak mayoritas muslim tidak lagi konsisten menjaga agamanya dengan acara Islam. Wallahu a’lam (Abd. Salam Nawawi).

Kamis, 10 Februari 2011

Mewaspadai Penyimpangan Amil Zakat

PERINTAH membayar zakat dalam Alquran datang dalam bentuk yang sangat mujmal (garis besar), lebih mujmal daripada perintah salat. Dalam Alquran, tidak dirinci jenis-jenis harta yang wajib dizakati, syarat-syarat yang harus dipenuhi harta itu seperti nisab dan masa kepemilikan yang sudah berlangsung setahun (haul), serta jumlah yang harus dibayarkan sebagai zakat. Pengaturan soal-soal rinci seperti itu diserahkan kepada al-Sunnah.

Namun, menyangkut pihak-pihak yang berhak menerima zakat (mustahiq), Alquran merincinya (dalam surat al-Taubah: 60) dengan lengkap satu demi satu dalam suatu redaksi ayat yang menunjukkan arti qashr (terbatas untuk yang disebutkan, tidak boleh untuk selainnya). Alquran sangat menekankan terwujudnya pendistribusian zakat secara tepat kepada orang yang berhak (mustahiq)-nya. Di antaranya kepada para amil (pekerja) zakat.

Undang-Undang Pengelolaan Zakat (UUPZ) Tahun 1999 memosisikan amil sebagai pengelola zakat dengan tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat. Dengan posisi rangkap seperti itu, sebagai pengelola dan sebagai mustahiq, amil berada pada posisi yang rawan penyimpangan.

Karena itu, UUPZ mengantisipasinya dengan menggariskan ketentuan tentang sanksi, yaitu pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak mencatat harta zakat atau mencatat dengan tidak benar diancam hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 30 juta. Selain itu, posisi rangkap amil sebagai pengelola sekaligus sebagai mustahiq zakat adalah wilayah yang masih cukup terbuka bagi tindak penyimpangan oleh amil.

Amil Mustahiq Dominan

Dengan otoritas yang dimiliki, amil sangat berpeluang menjadikan dirinya sebagai mustahiq dominan. Amil merupakan mustahiq yang bisa memastikan dirinya mendapatkan bagian serta menentukan jumlah bagiannya, sedangkan mustahiq lain tidak memiliki kepastian seperti itu. Bisa saja dia tergoda untuk mewujudkan kepentingan subjektifnya tersebut dengan relatif leluasa dan bahkan dengan yang tampak legal.

Setahun lalu, dalam suatu sesi pertemuan amil zakat di Jawa Timur, seorang narasumber dari salah satu lembaga manajemen zakat Jakarta menyatakan dengan sangat antusias bahwa pekerjaan mengurus zakat sekarang ini telah menjadi profesi yang sangat "menjanjikan". Sekarang, katanya, gaji manajer lembaga amil zakat sudah ada yang setara dengan gaji manajer perusahaan nasional.

Dengan regulasi yang sangat longgar dari UUPZ, jika mau, amil bisa mudah mengelola zakat yang berorientasi pada kesejahteraan dirinya sebagai mustahiq. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi bila seorang pekerja dipersilakan menentukan sendiri jumlah gajinya? Ya, seperti yang telah disinggung tadi, seorang manajer lembaga amil zakat (yang kerjanya menghimpun harta amal dan kemudian menyalurkannya) menentukan gaji dirinya setara dengan gaji manajer perusahaan nasional.

Padahal, manajer perusahaan pasti dituntut bekerja keras supaya perusahaannya bisa meraih untung dan terhindar dari risiko rugi. Sedangkan manajer lembaga amil zakat bisa dibilang tidak berisiko rugi. Sudah kerjanya tanpa risiko, gajinya ditentukan sendiri pula. Luar biasa "profesional", bukan?

Yang lazim jadi payung kaum "profesional" zakat itu selama ini adalah bagian "seperdelapan". Jelasnya, karena amil itu salah satu di antara delapan mustahiq zakat yang disebutkan Alquran, bagian yang menjadi hak amil adalah seperdelapan. Memang benar bahwa Alquran menetapkan amil sebagai salah satu di antara delapan mustahiq zakat. Tapi, Alquran sama sekali tidak menyinggung kadar bagian masing-masing. Bahkan, al-Sunnah pun tidak menetapkan kadar bagian tersebut.

Bagian seperdelapan untuk amil, dengan demikian, tidaklah berdasar Alquran atau sunah, tetapi hanyalah tafsiran yang tampak logis dan sangat menarik bagi sebagian orang yang memandang kerja menjadi amil sebagai profesi yang sangat "menjanjikan".

Padahal, bagi orang yang mau berpikir jernih, penyamarataan bobot semua golongan mustahiq zakat itu akan tampak sebagai tindakan yang sama sekali tidak proporsional dan jauh dari mencerminkan keadilan.

Mari kita buat ilustrasi untuk lebih menggambarkan ketidakadilan tersebut. Kita misalkan di suatu wilayah kabupaten terdapat 3.000 orang miskin. Jumlah pengurus amil zakat di sana 30 orang. Misalnya, amil zakat mengambil bagian seperdelapan senilai Rp 300 juta. Berarti, masing-masing anggota amil akan meraup bagian rata-rata Rp 10 juta. Jika jumlah yang sama, yakni Rp 300 juta, dibagikan kepada 3.000 orang miskin, setiap orang miskin hanya akan memperoleh Rp 100 ribu saja. Padahal, arahan Rasulullah SAW: "Zakat dipungut dari orang-orang kaya dan dikembalikan kepada orang-orang fakir."

Dengan begitu, kita butuh peraturan perundang-undangan yang lebih kuat dalam meregulasi zakat. Jelasnya, yang tidak hanya membendung tindakan penyimpangan oleh amil pada aspek pencatatan, tetapi juga pada aspek-aspek yang lain. Juga, yang mereposisi lembaga amil zakat secara mendasar supaya tidak menjadi begitu dominan seperti sekarang.

Amil, menurut penulis kitab Kifayah al-Akhyar (vol 1: 190), adalah "orang yang dipekerjakan oleh imam (pemerintah) untuk memungut zakat guna disalurkan kepada para mustahiq-nya sebagaimana yang diperintahkan Allah." Jadi, hak pengelolaan zakat itu ada di tangan pemerintah. Maka, gaji amil harus diatur dan ditentukan pemerintah.

Jadi, UUPZ perlu didukung dan diperkuat oleh peraturan pemerintah atau peraturan menteri tentang sistem penggajian amil. Jika amil dibiarkan menentukan sendiri gajinya seperti sekarang, bisa saja zakat tak akan bisa berfungsi signifikan untuk meningkatkan kesejahteraan kaum miskin.

Menimbun Zakat

Menimbun harta zakat boleh dibilang sebagai bentuk penyimpangan lain dari lembaga amil zakat. Umumnya, lembaga amil begitu bersemangat dalam menghimpun harta zakat dan jumlah perolehannya itu sering menjadi tolok ukur prestasi. Tetapi, kerap kinerja amil zakat di bidang penyaluran masih belum seimbang dengan penghimpunannya. Bahkan, di tengah kondisi jumlah orang miskin yang terus meningkat, ada lembaga amil yang menyimpan (baca: menimbun) sekian persen dana zakat yang diamanahkan para wajib zakat kepada mereka untuk disalurkan.

Mu’az bin Jabal yang ditugasi khalifah Umar bin Khattab untuk mengurus zakat di Negeri Yaman selalu menuntaskan (baca: menghabiskan) pendayagunaan serta pendistribusian zakat yang dikumpulkannya. Pernah terjadi masih ada sisanya. Maka, Mu’az segera mengirimkannya ke Madinah (tidak menimbunnya). Khalifah Umar menolak menerima sisa itu dengan teguran: "Engkau pungut dari orang-orang kaya mereka, maka engkau harus mengembalikannya kepada orang-orang fakir mereka."

Mu’az menjawab: "Saya tidak akan membawanya kemari kalau di sana masih ada yang berhak mengambilnya" (Kasysyaf al-Qina’, vol 3: 264).

Kita perlu membentuk manajer lembaga amil zakat sekualitas Mu’az bin Jabal melalui regulasi zakat yang lebih ketat dan lebih berpihak pada kepentingan para fakir miskin. Wallahu a’lam.