HUKUM ISLAM
TENTANG SISTEM KALENDER BULAN
(Analisis Terhadap Doktrin al-Qur’an)
Abd. Salam
A. Pendahuluan
Sejak awal peradaban, manusia sudah merasakan perlunya sistem pembagian waktu menjadi satuan-satuan bulan dan tahun yang sekarang lazim disebut Kalender atau Penanggalan. Kebutuhan manusia terhadap kalender tersebut di samping berkait dengan keperluan kehidupan sosial mereka sehari-hari adalah juga bertemali dengan kepentingan pelaksanaan ritual keagamaan mereka.
Berbagai sistem kalender yang dikenal dalam sejarah peradaban manusia hingga saat ini disusun berdasarkan siklus pergerakan dua benda langit yang amat menonjol dan besar pengaruhnya terhadap kehidupan manusia di Bumi, yaitu Bulan dan Matahari. Kalender yang disusun berdasarkan siklus sinodik Bulan dinamakan Kalender Bulan (Penanggalan Qamariyah, Lunar Calendar), kalender yang disusun berdasarkan siklus tropik Matahari dinamakan Kalender Matahari (Penanggalan Shamsiyah, Solar Calendar), dan kalender yang disusun berdasarkan siklus keduanya dinamakan Kalender Bulan-Matahari (Penanggalan Qamariyah-Shamsiyah, Luni-Solar Calendar).
Pada sekitar empat ribu tahun lebih sebelum Masehi bangsa Arab telah membuat kalender Matahari. Satu tahun dalam kalender mereka kala itu terdiri dari 365 hari. Yang 360 hari mereka bagi rata menjadi 12 bulan: masing-masing bulan berumur 30 hari. Sedangkan yang 5 hari mereka gunakan untuk pesta tahunan bangsa Arab. Di belakang hari kalender Matahari itu digunakan juga oleh bangsa Romawi. Bangsa Arab sendiri kemudian beralih pada kalender Bulan yang digunakan juga oleh masyarakat Mesir kuna dan Babilonia. Sedangkan kalender Bulan-Matahari digunakan oleh orang-orang Cina dan India.[1]
Meskipun tidak jelas sejak kapan terjadinya, namun agaknya cukup beralasan bila diasumsikan bahwa peralihan bangsa Arab ke kalender Bulan itu terkait dengan kehadiran Nabi Ibrahim dari Babilonia ke wilayah itu. Ibrahim memboyong isteri dan anaknya (Siti Hajar dan Ismail) ke suatu lembah sunyi yang bernama Bakkah (Mekah) di tanah Arab. Di sana Ibrahim membangun Ka’bah (Baitullah) dan kemudian merintis penyelenggaraan ibadah haji yang waktunya dikaitkan dengan kalender Bulan. Sejak itu kalender Bulan mulai dipakai dan lambat-laun menggeser kalender Matahari.
Kelak di belakang hari ketika al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW pada abad ketujuh Masehi, kalender Bulan itu sudah mapan berlaku di kalangan masyarakat Arab. Hanya saja di Mekah sendiri pada waktu itu, negeri yang menjadi markas pertama dakwah Nabi Muhammad SAW selama lebih dari separuh masa kerasulannya, terjadi inkonsistensi penggunaan kalender tersebut oleh orang-orang musyrik. ‘Abdulla>h Yu>suf ‘Ali menggambarkannya sebagai berikut:
The Pagan Arabs were in the habit of counting months by the appearence of the moon, but irregularly intercalating a month once in about three years to bring the calendar up into conformity with the seasons. They did not do it on any astronomical calculations or on any system, but just as it suited their own selfish puposes, thus often upsetting all the old-established conventions about the months of the peace and security from war and thus getting an unfair adventage for the clique in power in Mecca over their enemies. Unless exact mathematical calculations are applied and reduced to a well-established system, there is apt to be confusion, and this can well be taken adventage of by arbitrary cliques in power. [2]
(Kaum musyrikin Arab mempunyai kebiasaan menghitung bulan dengan kemunculan Bulan, tetapi secara tidak teratur mereka menyisipkan satu bulan sebanyak satu kali dalam kira-kira tiga tahun guna menyelaraskan kalender dengan musim. Mereka tidak melakukan itu berdasarkan perhitungan-perhitungan astronomi atau sistem apapun, melainkan sekedar menyesuaikan dengan kepentingan-kepentingan mereka sendiri, sehingga seringkali mengacaukan semua konvensi yang sudah lama terbentuk tentang bulan-bulan damai dan aman dari perang (bulan-bulan haram, Pen.) dan oleh karenanya memberikan keuntungan terselubung bagi kelompok yang berkuasa di Mekah terhadap musuh-musuh mereka. Tidak adanya kalkulasi-kalkulasi matematik yang eksak yang diterapkan dan mereduksi suatu sistem yang telah dibakukan dengan baik, adalah mudah membingungkan, dan ini bisa dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok penguasa yang sewenang-wenang.)
Fakta sejarah yang kurang lebih sama didapati pula dalam suatu riwayat yang dituturkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Abi Malik, yaitu bahwa orang-orang kafir menjadikan satu tahun tiga belas bulan sehingga bulan Muharram jatuh pada bulan Shafar. Dengan begitu mereka dapat menghalalkan hal-hal yang diharamkan dalam bulan Muharram itu. [3]
Merespon fenomena tersebut, al-Qur’an —yang hadir dengan misi pokok melanjutkan millah Ibrahim[4]— pada awalnya —yakni pada periode Mekah— turun dengan membawa pesan-pesan ilahiyah bahwa fenomena perputaran siang dan malam serta berubah-ubahnya manzilah Bulan adalah dimaksudkan supaya manusia mengetahui bilangan tahun dan perhitungan. Kemudian setelah itu —pada periode Madinah— al-Qur’an turun dengan sejumlah pesan yang lebih tegas dan lebih operasional. Al-Qur’an mulai mengecam keras ulah kaum paganis Mekah yang tidak konsisten dalam menerapkan kalender Bulan,[5] dan melansir sejumlah rambu yang diperlukan untuk membakukan sistem kalender tersebut. Tidak hanya itu, al-Qur’an juga mempertalikan aspek waktu dari sejumlah ketentuan syariat yang dibawanya pada kalender tersebut, seperti larangan untuk berperang (kecuali kalau diserang lebih dahulu) pada “bulan-bulan haram”,[6] masa ‘iddah,[7] hawl zakat,[8] puasa Ramadan, salat ‘i>d, haji,[9] dan beberapa lagi lainnya. Ayat-ayat yang turun secara terpencar itu tadi secara keseluruhan merupakan pilar-pilar penopang doktrin al-Qur’an tentang sistem kalender Bulan.
Mengingat tema pembicaraan ayat-ayat penopang doktrin tersebut adalah tentang fenomena alam (al-kawn), khususnya Bulan dan Matahari, maka penafsirannya dalam tulisan ini dilakukan dengan pendekatan tafsir ‘Ilmiy kontemporer. Kualifikasi kontemporer diberikan untuk menegaskan apresiasi yang semestinya dari tulisan ini terhadap tafsiran yang selaras dengan temuan ilmiah yang terbaru atau bahkan meletakkan temuan tersebut secara langsung sebagai tafsirannya.
Dengan pendekatan ini, tentu research material kajian ini menjadi lebih longgar. Artinya bahan-bahan ilmiah dari sumber mana saja yang bisa diakses, sepanjang relevan untuk mengelaborasi kandungan ayat yang sedang dikaji, akan didayagunakan secara maksimal. Kalau tidak demikian, tentu ruang gerak penafsiran terhadap ayat-ayat tentang al-kawn tersebut menjadi agak sesak dan kurang leluasa.
B. Ayat-ayat al-Qur’an Penopang Doktrin
Seperti telah dikemukakan, al-Qur’an sebagai sumber utama Hukum Islam melansir doktrin tentang sistem kalender Bulan (lunar calendar) dalam sejumlah ayat yang turun terpencar pada periode Mekah dan pada periode Madinah. Ayat-ayat yang turun pada periode Mekah adalah sebagai berikut:
1. Ayat 12 surah 17: al-Isra’ :
وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ آيَتَيْنِ
فَمَحَوْنَا آيَةَ اللَّيْلِ وَجَعَلْنَا آيَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَةً
لِتَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ
وَالْحِسَابَ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنَاهُ تَفْصِيلًا
Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan. Segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas. [10]
2. Ayat 5 surah 10: Yunus :
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ
ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ
وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الْآيَاتِ
لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Dialah yang menjadikan
Matahari bersinar dan Bulan bercahaya dan Dia menetapkan manzilah-manzilah bagi
perjalanan bulan supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).
Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan
tanda-tanda (kebesaranNya) kepada orang-orang yang mengetahui. [11]
3. Ayat 39-40 surah 36: Yasin :
وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ
لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ (38) وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ
مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ - لَا الشَّمْسُ يَنْبَغِي
لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي
فَلَكٍ يَسْبَحُونَ
Dan Bulan telah Kami tetapkan untuknya manzilah-manzilah sehingga kembalilah ia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidak mungkin bagi Matahari mendapatkan Bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.[12]
Adapun ayat-ayat yang turun pada periode Madinah adalah sebagai berikut:
1. Ayat 5 surah 55: al-Rahman :
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ
Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.[13]
2. Ayat 189 surah 2: al-Baqarah :
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
Mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal. Katakanlah: “Hilal-hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji …”[14]
3. Ayat 36-37 surah 9: al-Tawbah :
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ
اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا
تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا
يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ - إِنَّمَا
النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا يُحِلُّونَهُ
عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُ عَامًا لِيُوَاطِئُوا عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ
فَيُحِلُّوا مَا حَرَّمَ اللَّهُ زُيِّنَ لَهُمْ سُوءُ أَعْمَالِهِمْ وَاللَّهُ
لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (keketapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran. Orang-orang kafir disesatkan dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang Allah haramkan maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Setan) menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. [15]
C. Analisis dan Formulasi Doktrin
Melalui ayat-ayat di atas al-Qur’an mengintrodusir sejumlah prinsip yang secara keseluruhan membentuk bangunan doktrin hukum Islam tentang sistem kalender Bulan. Prinsip-prinsip tersebut adalah: 1) Prinsip Acuan Bulan, 2) Prinsip Keajegan Acuan, 3) Prinsip Siklus Natural, dan 4) Prinsip Lokalitas Siklus.
Supaya jabaran dari prinsip-prinsip tersebut tersaji dengan baik, kajian ini memilih pola penafsiran pertema (maudhu’iy) dalam arti bahwa ayat-ayat dan atau penggalannya yang berkaitan temanya dengan prinsip yang sedang dijabarkan, dirajut dalam suatu essai penafsiran yang luwes dan logis.
1. Prinsip Acuan Bulan
Prinsip Acuan Bulan ini terdapat jabarannya pada ayat 5 surah 10: Yunus, ayat 39 surah 36: Yasin, dan ayat 189 surah 2: al-Baqarah. Pada ayat 5 su>rah 10: Yunus, dinyatakan: “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan Dia menetapkan manzilah-manzilah Bulan supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan”. Dikaitkannya penetapan manzilah Bulan dengan pengetahuan manusia tentang bilangan tahun mengisyaratkan doktrin hukum Islam tentang diletakkannya manzilah Bulan sebagai acuan penyusunan kalender.
Ayat di atas
menggunakan kata ضياء untuk Matahari dan kata نور
untuk Bulan. Menurut
suatu tafsiran yang disitir oleh al-Zuh}ayliy, kata ضياء
digunakan untuk Matahari karena ia mempunyai cahaya sendiri, dan kata نور digunakan untuk Bulan karena ia memperoleh cahaya dari
yang lain.[16]
Hasil observasi ruang angkasa membenarkan bahwa Bulan adalah benda langit yang
gelap. Ia baru tampak bercahaya manakala bagian dari permukaannya yang
menghadap ke Bumi tersinari Matahari. Berarti cahaya atau نور Bulan itu
berasal ―atau hanyalah pantulan― dari sinar atau ضياء Matahari.
Melalui sinar Matahari yang dipantulkannya ke Bumi, perubahan manzilah-manzilah Bulan bisa dengan mudah diikuti dari Bumi. Manzilah-manzilah Bulan ialah: المسافات التى يقطعها القمرفى يوم وليلة [17] (jarak-jarak yang ditempuh Bulan dalam waktu sehari semalam). Perubahan manzilah Bulan adalah berarti perubahan posisinya terhadap Bumi dan Matahari, dan oleh karena itu sinar Matahari yang selalu mengenai seperdua permukaan Bulan terus-menerus bergeser dari bagian permukaannya yang menghadap ke Bumi ke bagian lain yang membelakanginya, dan sebaliknya. Akibat pergeseran itu bentuk penampakan Bulan pun jadi berubah-ubah. Kalau awalnya tampak laksana sabit tipis, maka pada malam-malam berikutnya Bulan akan terus tampak makin membesar sampai purnama, kemudian berangsur mengecil kembali sampai tidak kelihatan sama sekali. Al-Qur’an melukiskan dengan indah sekali kaitan antara perubahan manzilah Bulan itu dengan perubahan bentuk penampakannya di dalam su>rah 36: Ya>si>n ayat 39 sebagai berikut: "Dan Kami tetapkan bagi Bulan manzilah-manzilah, sehingga kembalilah ia sebagai bentuk tandan yang tua".
Bulan yang tampak laksana tandan yang tua itu lazim disebut Hilal. Ketika ayat 189 su>rah 2: al-Baqarah yang turun pada periode Madinah menyatakan bahwa “hilal-hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”, maka ini tiada lain adalah bentuk pernyataan yang lebih tegas dari al-Qur’an tentang doktrin kalender Bulan.
Dengan menggunakan acuan Bulan, umur tanggal dan berlalunya bulan (shahr, month) bisa diketahui dengan mudah hanya dengan penginderaan yang sederhana terhadap posisi dan bentuk penampakan Bulan yang selalu berubah setiap hari secara signifikan. Itu tidak mungkin dilakukan pada kalender dengan acuan Matahari karena setiap hari Matahari hadir dengan posisi dan bentuk penampakan yang relatif sama. [18]
2. Prinsip Keajegan Acuan
Prinsip keajegan acuan ini tergambar pada ayat 5 su>rah 10: Yunus, ayat 39-40 surah 36: Yasin, dan ayat 5 surah 55: al-Rahman. Prinsip ini bertemali dengan perubahan manzilah Bulan seperti yang telah disinggung di atas. Perubahan manzilah Bulan itu sendiri adalah akibat yang niscaya dari adanya gerakan. Karena itu lafal-lafal قدّره منازل dalam ayat 5 surah 10: Yunus dan قدّرناه منازل dalam ayat 39 surah 36: Yasin di atas itu tadi pada dasarnya adalah ungkapan-ungkapan yang menunjukkan bahwa Bulan itu bergerak. Selaras dengan ini Ibnu Katsir menafsirkan lafal قدّرناه منازل dengan جعلناه يسير سيرا آخر[19] (Kami jadikan Bulan menempuh suatu tempuhan yang lain).
Di samping itu lafal قدّر juga berarti menetapkan kadar dan menentukan ukuran.[20] Dengan arti ini, lafal-lafal ayat di atas tadi menjadi tidak sekedar menyatakan bahwa Bulan itu bergerak, tetapi juga bahwa gerakan Bulan itu terukur. Aspek keterukuran gerakan Bulan itu ―dan juga Matahari― dinyatakan dengan tegas dalam ayat 5 surah 55: al-Rahman, yang turun pada periode Madinah sebagai berikut: “Matahari dan Bulan (beredar) menurut perhitungan”.
Selanjutnya ayat 40 surah 36: Yasin menegaskan bahwa “tidak mungkin bagi Matahari mendapatkan Bulan”. Ayat ini oleh sebagian mufassirin lama ditafsirkan dengan suatu ilustrasi tentang Matahari sebagai penguasa siang dan Bulan sebagai penguasa malam yang masing-masing diikat oleh suatu batas yang tidak bisa dilampaui ataupun dikurangi. Ketika datang era kekuasaan Matahari, hilanglah era kekuasaan Bulan, dan begitu pula sebaliknya.[21] Meskipun ilustrasi ini cukup lugas menggambarkan prinsip Keajegan Acuan, namun ia tidak mencerminkan tafsiran yang logis terhadap ayat 40 surah 36: Yasin yang ―sebenarnya― melukiskan keajegan Matahari dan Bulan dari aspek kecepatan gerakannya. Hasil penyelidikan ilmu astronomi kiranya akan dapat memberikan penjelasan mengenai soal ini secara lebih memuaskan.
Melalui penyelidikan ilmu astronomi terungkap bahwa Bulan bergerak ke Timur mengelilingi Bumi dalam waktu 27,321661 hari (27 hari 7 jam 43 menit 11,51 detik) untuk satu kali putaran.[22] Matahari juga bergerak ke Timur pada lingkaran Ekliptika[23] dalam waktu 365,242199 hari (365 hari 5 jam 45 menit 46 detik) untuk satu putaran. Akibat dari pergerakan itu Bulan setiap hari bergeser 13° 10' 34,89" ke Timur, sedangkan Matahari hanya 0° 59' 8,33". Jadi terbuktilah secara empirik bahwa Matahari memang tidak mungkin mendapatkan Bulan karena setiap harinya Bulan rata-rata bergerak ke Timur 12° 11' 26,56" lebih cepat daripada Matahari.[24]
Dengan prinsip Keajegan Acuan ini tentu saja terbuka peluang bagi dilakukannya penyusunan kalender Bulan secara preskriptif, yaitu dengan bantuan ilmu hisab atau perhitungan. Peluang ini merupakan konsekuensi logis yang telah diisyaratkan al-Qur’an semenjak periode Mekah melalui kalimat “supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan” dalam surah 10: Yunus ayat 5 dan surah 17: al-Isra’ ayat 12. Penjelasannya, “pengetahuan tentang bilangan tahun” adalah pengetahuan deskriptif, yakni pengetahuan tentang kalender sesudah terjadinya. Sedangkan “pengetahuan tentang perhitungan” adalah pengetahuan preskriptif, yakni pengetahuan tentang kalender sebelum terjadinya. Yang pertama tadi bisa dijangkau oleh orang kebanyakan, sedangkan yang kedua hanya bisa digapai oleh mereka yang bisa “naik” ke pundak akumulasi pengetahuan yang deskriptif itu tadi sehingga dapat memproyeksikan keajegan siklusnya itu ke depan.
3. Prinsip Siklus Natural
Prinsip Siklus Natural ini terdapat jabarannya dalam ayat 12 surah 17: al-Isra’, ayat 189 surah 2: al-Baqarah, dan ayat 36 surah 9: al-Tawbah. Siklus natural ialah periode atau penggalan masa yang berulang —atau diulang— yang batas-batasnya dikaitkan dengan fenomena alam tertentu, yakni “hari” (yawm, day), “bulan” (shahr, month), dan “tahun” (sanah, year).
Mengenai siklus hari, ayat 12 su>rah 17: al-Isra’ menyatakan sebagai berikut: “Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, … supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan ….”[25] Ayat ini mengisyaratkan bahwa malam dan siang merupakan periode atau penggalan masa yang diacu dalam perhitungan kalender, yaitu sebagai periode “hari” atau “tanggal”. Dengan menyebut malam lebih dahulu daripada siang ayat ini mengisyaratkan pula bahwa siklus hari itu bermula dari saat datangnya malam dan berakhir pada saat perginya siang. Malam dan siang —yang ditandai dengan gelap dan terang— adalah fenomena yang terkait langsung dengan sinar Matahari. Dengan demikian siklus hari di sini bersifat natural yang batas-batasnya ditentukan berdasarkan fenomena terbenamnya Matahari, bukan berdasarkan perjalanan jarum jam seperti siklus hari pada sistem kalender Kristen.
Mengenai siklus bulan, melalui pernyataan ayat 189 surah 2: al-Baqarah, “hilal-hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji …”, al-Qur’an membakukannya sebagai periode waktu yang membentang di antara dua penampakan hilal berurutan. Penampakan hilal itu sendiri terjadi pada sekitar peristiwa ijtima’ (konjungsi),[26] baik sebelumnya maupun sesudahnya. Sebelum ijtima’, hilal tampak pada dinihari menjelang Matahari terbit, sedangkan sesudah ijtima’, hilal tampak pada senjahari setelah Matahari terbenam. Karena kemunculan hilal terjadi dua kali, maka dengan hanya mengacu pada unsur “hilal” saja batas siklus bulan tersebut sulit ditentukan.
Dari isyarat pada ayat 40 surah 36: Yasin, “tidak mungkin Matahari mendapatkan Bulan”, didapati unsur yang lain, yakni Bulan sudah mendahului Matahari. Karena Matahari dan Bulan sama bergerak ke Timur, maka Bulan dikatakan mendahului Matahari apabila ia sudah berkedudukan di sebelah Timur Matahari. Penentuan kedudukan Bulan terhadap Matahari dapat dilakukan dengan acuan lingkaran-lingkaran imajinatif seperti lingkaran bujur langit yang tegak lurus pada Ekliptika, lingkaran waktu yang tegak lurus pada Ekuator, dan lingkaran-lingkaran bujur Bulan yang tegak lurus pada lingkaran tempuhan Bulan. Tetapi dari lanjutan ayat, “dan malam tidak dapat mendahului siang”, diperoleh isyarat tentang acuan yang lain. Ayat ini melukiskan situasi pada senjahari, saat mana malam mengambil alih kekuasaan dari siang. Pengambilalihan ini berlaku dengan teratur, tertib, dan tepat, yang ditentukan sepenuhnya oleh terbenamnya Matahari terhadap garis ufuk. Garis ufuk inilah unsur baru yang diisyaratkan ayat ini sebagai acuan dalam menentukan kedudukan Bulan terhadap Matahari dalam kaitannya dengan penentuan siklus bulan.[27] Unsur ini sejalan dengan isyarat ayat 12 surah 17: al-Isra’ mengenai moment pergantian siklus hari atau tanggal sebagaimana telah diungkap pada uraian sebelumnya.
Jadi bila pada suatu senja sesudah
terjadinya ijtima’
[28] kedudukan Bulan sudah di Timur
Matahari, dan pada saat Matahari terbenam Bulan berada di atas ufuk dalam
keadaan bagian dari permukaannya yang tersinari Matahari sudah ada yang
menghadap ke Bumi dalam kadar yang cukup sehingga Bulan tampak sebagai hilal,[29]
maka sejak terbenam Matahari itulah pergantian siklus bulan terjadi.
Dengan mengacu pada fenomena penampakan hilal seperti dinyatakan dalam ayat 189 surah 2: al-Baqarah itu Nabi SAW memberikan petunjuk operasional mengenai siklus kehadiran dan kepergian bulan Ramadan sebagai berikut:
|
جعل الله الأهلة مواقيت للناس فصوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فعدوا ثلاثين يوما [30] |
Allah telah menjadikan hilal-hilal itu sebagai tanda-tanda waktu bagi manusia, maka berpuasalah kamu karena melihatnya dan berbukalah kamu karena melihatnya. Apabila kamu terhalangi mendung, maka hitunglah tiga puluh hari.
Mengenai siklus tahun, melalui ayat 36 surah 9: al-Tawbah, “sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan …”, al-Qur’an dengan gamblang membakukannya sebagai periode waktu yang terdiri dari 12 (dua belas) bulan. Keduabelas bulan tersebut dikenal nama-namanya sebagai berikut: Muharram, Shafar, Rabi‘ al-Awwal, Rabi‘ al-Akhir, Jumada al-Ula, Jumada al-Tsaniyah, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawwal, Dzu al-Qa’dah, Dzul al-Hijjah.
Al-Qur’an sangat tegas dengan misi pembakuan
ini sehingga skandal penambahan bulan yang dilakukan orang-orang musyrik Mekah
—yang gambaran lengkapnya telah disinggung di muka— dikecam keras melalui ayat
37 su>rah 9: al-Tawbah: “Sesungguhnya
mengundur-undur bulan haram itu hanyalah menambah kekafiran. Orang-orang kafir
disesatkan dengan pengundur-unduran itu. Mereka menghalalkannya pada suatu
tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain. ...”
Jadi dalam sistem kalender Bulan yang digariskan al-Qur’an tidak dikenal
adanya bulan ketigabelas. Bulan ketigabelas itu hanya dikenal di dalam sistem
kalender Bulan-Matahari (Luni-Solar
Calendar) yang dewasa ini dipergunakan oleh komunitas Hindu Bali, Cina, dan
Yahudi.
4. Prinsip Lokalitas Siklus
Prinsip Lokalitas Siklus ialah prinsip berlakunya pergantian siklus-siklus waktu dalam kalender menurut keadaan obyektif setempat, yakni keadaan fenomena alam setempat yang dengan itu siklus-siklus waktu tersebut dipertalikan. Prinsip ini merupakan konsekuensi yang niscaya dari prinsip Siklus Natural yang telah dibahas sebelumnya, karena fenomena-fenomena alam itu memang terkait secara absolut dengan ruang setempat.
Perjalanan waktu di Bumi memang bersifat lokal, tidak bersifat global. Waktu di permukaan Bumi mengalir dari Timur ke Barat sebagaimana mengalirnya siang dan malam. Kawasan di Timur mengalami syuru>q dan ghuru>b Matahari lebih dahulu daripada kawasan di Barat. Semakin jauh jarak Barat-Timur antar dua kawasan, semakin panjang beda waktu antara keduanya. Karena itu orang yang melakukan perjalanan jauh, melepaskan diri dari kawasan tinggalnya, akan menghadapi kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan beda waktu.
Dengan demikian, alur pergantian siklus-siklus waktu dalam kalender harus selaras dengan logika sistem perjalanan waktu di permukaan Bumi yang bersifat setempat-setempat itu. Kalau pada saat ghuru>b Matahari di suatu kawasan hilal belum muncul, maka tidak layak kawasan itu “dipaksa” untuk berganti siklus bulan berdasarkan kemunculan hilal di kawasan lain. Sama persis tidak layaknya dengan penentuan pukul 4 sore sebagai awal waktu salat Zuhur dengan alasan mengacu pada tergelincir Mataharinya kawasan lain yang jauh lebih ke Barat, atau pukul 8 pagi dengan alasan mengikuti tergelincir Mataharinya kawasan lain yang jauh lebih ke Timur.
Terkait dengan ihwal kemunculan hilal penting dikemukakan
bahwa akibat konfigurasi pergerakan Bumi, Bulan, dan Matahari yang bervariasi,
maka kawasan-kawasan di Bumi yang pertama kali mengalami kemunculan hilal akan
selalu berubah setiap bulan. Ini berarti bahwa kalender Bulan tidak mengenal garis batas tanggal yang tetap,
melainkan bergerak dinamik di sepanjang
permukaan Bumi. “Bentuk dan arah garis batas tersebut berubah dari bulan
ke bulan dalam satu tahun, dan berubah pula dengan perubahan tahunnya.”[31]
Dengan demikian setiap kawasan di muka Bumi pada dasarnya mempunyai
peluang untuk pada suatu waktu berganti siklus bulan berdasarkan kemunculan
hilal dan pada waktu yang lain berdasarkan istikmal.
Semenjak zaman Nabi SAW prinsip Lokalitas Siklus ini telah diaplikasikan sedemikian rupa walaupun kemajuan pengetahuan tentang seluk-beluk pergerakan benda-benda langit pada waktu itu masih sangat tidak memadai. Pada bagian awal dari periode Madinah, pergantian siklus bulan ditetapkan oleh Nabi SAW dengan acuan kemunculan hilal di Madinah dan sekitarnya. Penetapan tersebut cukup mengcover kawasan tinggal kaum muslimin yang sebarannya masih sebatas Madinah dan sekitarnya. Tetapi sesudah sebaran kawasan tinggal mereka mulai meluas, misalnya dengan jatuhnya negeri Mekah ke bawah kontrol politik kaum muslimin (Fath Makkah), maka penetapan pergantian siklus bulan berdasarkan kemunculan hilal di Madinah itu dipandang tidak lagi memadai. Nabi SAW menyerahkan penetapan pergantian siklus bulan untuk negeri Mekah kepada kaum muslimin di sana. Untuk itu beliau hanya memberi arahan tentang prosedur penetapannya. Husayn ibn al-Harts al-Jadaliy meriwayatkan bahwa gubernur (amir) Mekah, al-Harts ibn Hathib, menyatakan dalam khutbahnya begini:
عهد
إلينا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن ننسك للرؤية فإن لم نره وشهد شاهدا عدل نسكنا
بشهادتهما [32]
|
Rasulullah SAW mengikat komitmen kami untuk bermanasik berdasarkan rukyah hilal. Jika kami tidak merukyahnya, dan ada dua orang adil yang bersaksi telah merukyahnya, maka kami disuruh bermanasik berdasarkan kesaksian mereka.
Dengan makin meluasnya sebaran kawasan tinggal kaum muslimin sepeninggal Nabi SAW, terutama sesudah terjadinya gelombang ekspansi wilayah pada masa Umar ibn al-Khaththab (khalifah kedua dari Khulafa’ Rasyidun) dan kemudian pada masa Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (khalifah pertama dari dinasti Amawiyah), penerapan prinsip Lokalitas Siklus ini semakin menemukan relevansinya. Pada masa Mu’awiyah ibn Abi Sufyan pergantian siklus bulan Ramadan di Sham tidak dipedomani oleh penduduk Madinah. Kurayb ―yang waktu itu diutus oleh Umm al-Fadhl bint al-Harits untuk menemui Mu’awiyah di Syam― menuturkan peristiwa itu sebagai berikut:
|
استهل علي رمضان وأنا بالشام فرأيت الهلال
ليلة الجمعة ثم قدمت المدينة فى آخرالشهر فسألنى عبدالله بن عباس رضي الله عنهما
ثم دكر الهلال فقال متى رأيتم الهلال فقلت رأيناه ليلة الجمعة فقال أنت رأيته فقلت
نعم ورآه الناس وصاموا وصام معاوية فقال لكنا رأيناه ليلة السبت فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه أولا تكتفى
برؤية معاوية وصيامه فقال لا هكدا أمرنا رسول
الله صلى الله عليه وسلم ... [33] |
Tampak kepadaku Hilal Ramadan, sedangkan aku berada di Sha>m. Aku melihat Hilal itu pada malam Jum’at. Kemudian aku tiba kembali di Madi>nah pada akhir bulan. ‘Abdullah ibn ‘Abbas R.A. menanyaiku, lalu ia menyinggung soal hilal dan bertanya: “Kapan kalian melihat hilal?” Kujawab: “Kami melihatnya pada malam Jum’at.” Ia bertanya lagi: “Engkau sendiri melihatnya?” Kujawab: “Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Mereka berpuasa dan Mu’a>wiyah pun berpuasa.” Ia berkata: “Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu. Karena itu kami akan terus berpuasa sampai genap 30 hari atau kami melihatnya.” Lalu aku bertanya: “Apakah engkau tidak mencukupkan saja dengan rukyat Mu’awiyah dan puasanya?” Ia menjawab: “Tidak. Begitulah Rasulullah SAW menyuruh kita”.)
Dalam perkembangan berikutnya muncul pandangan yang menyuarakan universalitas siklus. Misalnya pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad ―yang dalam konteks sekarang sudah sangat aneh― yang menyatakan bahwa الزوال فى الدنيا واحد [34] (peristiwa tergelincirnya Matahari itu di dunia adalah satu). Begitu juga pendapatnya bahwa Bumi merupakan hamparan yang luas dan datar, sehingga bila sebagian kawasan sudah merukyat hilal sedangkan kawasan yang lainnya tidak, maka harus disimpulkan bahwa hal itu terjadi karena adanya sesuatu yang menghalangi, bukan karena hilalnya sendiri belum berada pada posisi yang dapat dirukyat (dari kawasan-kawasan yang lain itu).[35]
Tentu saja dengan prinsip Lokalitas Siklus, pandangan Imam Ahmad tersebut dengan sendirinya terposisikan sebagai pandangan yang tidak mempunyai tempat berpijak di dalam doktrin “Kalender Bulan” al-Qur’an. Begitu pula teori Ittihad al-Mathali’ (Kesatuan Mathla’), yang belakangan ini dipopulerkan dengan sebutan keren: Rukyat Global, walau dahulunya dibangun oleh jumhur fuqaha, mesti diposisikan sama dengan pandangan Imam Ahmad di atas.
Meskipun perkembangan peradaban manusia —berkat
kemajuan teknologi di bidang informasi dan komunikasi sekarang ini— telah
sedemikian jauh memasuki era globalisasi, tetapi keterkaitan siklus-siklus
waktu dalam kelender Bulan dengan fenomena alam lokal adalah sesuatu yang
absolut sehingga tidak tersedia sedikitpun ruang bagi h{ujjah yang ingin menyeret masalah tersebut ke dalam gerbong
globalisasi.
Sekiranyapun kaum muslimin sedunia —misalnya— dapat dipersatukan kembali di bawah otoritas politik seorang khalifah, itu tidak berarti bahwa ide mathla’ global dengan sendirinya bisa diwujudkan. Hanya khalifah yang naif sajalah yang akan menggunakan otoritas politiknya untuk menyatukan pergantian siklus-siklus waktu dalam kalender Bulan untuk seluruh dunia.
D. Penutup
Mengakhiri kajian ini kiranya perlu dikemukakan bahwa doktrin hukum Islam tentang kalender Bulan itu mencerminkan dengan jelas sekali perpaduan yang serasi antara ayat-ayat qawliyah yang berdimensi syar’i dengan ayat-ayat kawniyah yang berdimensi empirik. Sehubungan dengan itu penerapan kalender Bulan yang sesuai dengan doktrin hukum Islam belumlah dipandang terwujud dengan semestinya kecuali jika kedua dimensinya itu dapat dijaga dan mengejewantah secara seimbang.
Jelasnya, garis al-Qur’an tentang
kriteria-kriteria mengenai siklus-siklus waktu dalam kalender Bulan itu
mengikat secara syar’i untuk dipedomani. Konsekuensinya tidak ada lagi
ruang legitimasi syar’i bagi argumen apapun untuk berpaling ke kriteria
lainnya, seperti dari kriteria “kemunculan hilal” ke kriteria “ijtima’
qabl al-ghurub” dan sebagainya. Demikian pula, karena kemunculan hilal
itu adalah peristiwa empirik, maka pelacakan kemunculannya harus dilakukan
dengan melibatkan ukuran-ukuran kebenaran empirik. Menganggap valid secara a priori semua laporan tentang
kemunculan hilal oleh subyek perukyat yang secara legal formal dipandang
memenuhi syarat adalah contoh dari tindakan pengabaian terhadap segi-segi
kebenaran empirik tersebut. Karena itu kaidah yang menyatakan la ’ibrah
li qawl al-hussab (pendapat para ahli hisab sama sekali tidak
diperhitungkan) yang pernah dilansir oleh jumhur fuqaha, biarlah dikenang
sebagai slogan a priori warisan masa
lalu saja. Wallahu a’lam.
BIBLIOGRAFI
Abd. Salam Nawawi, Rukyat
Hisab di Kalangan NU-Muhammadiyah: Meredam Konflik dalam Menetapkan Hilal, (Surabaya:
diantama, 2004).
--------, Kalender Islam
di Antara Formalisme Fiqh dan Empirisme Hisab, (Memeo, 2001).
--------, Ilmu Falak:
Hisab Waktu Salat, Arah Kiblat, dan Kalender Hijriyah, (Sidoarjo: ‘Aqaba,
2001).
’Abdullah Yu>suf
‘Ali, The Holy Qur’a>n: Text,
Translation and Commentary, (Brentwood,
Maryland, U.S.A.: Amana Corporation, 1409 H./1989 M.).
Abdur Rachim, Penyerasian Metode dan Sistem Penetapan Awal
Bulan Qamariyah di Indonesia. Bogor: Makalah pada Musyawarah Kriteria
Imkanur Rukyah di Indonesia, tanggal 24 - 26 Maret 1998.
al-Azdiy, Abu Dawud Sulaiman ibn al-Asy’ats al-Sijistaniy, Sunan Abi Dawud, vol. 2,
nomor hadis: 2338, (t.t.p., Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabiy, t.t.).
Badan Hisab & Rukyat
Departemen Agama, Almanak Hisab Rukyat. Jakarta:
Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981, h. 55-56
al-Bahutiy,
Manshur ibn Yunus ibn Idris, Kassyaf
al-Qina’ ‘an Matn al-Iqna’, vol. 2. (t.p., t.t.)
Darsa Sukartadiredja,
“Perhitungan Astronomis Untuk Penentuan Awal Bulan Qamariah”, dalam Rukyah
dengan Teknologi: Upaya Mencari Kesamaan Pandangan tentang Penentuan Awal
Ramadhan dan Syawal, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994).
al-Dimasyqiy, Abu
al-Fida’ Isma’il ibn Katsir al-Qurashiy, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, (t.t.p, ‘Isa al-Babiy
al-Halabiy, t.t.), vol 2, h. 353
al-Hamsi,
Muhammad Hasan, Qur’an Karim:
Tafsir wa Bayan Ma’a Asbab al-Nuzul li al-Suyuthi Ma’a
Faharis Kamilah li al-Mawadhi’ wa al-Alfazh, (Damasqus-Beirut:
Dar al-Rashid).
Ma’luf, Louis, al-Munjid fiy al-Lughah wa al-A’lam (Beirut: Dar al-Masyriq,t.t.).
Muslim, Shahih Muslim, vol. 1, (Bandung: Dahlan, t.t.)
al-Nashir, Wahib
‘Isa. Muhammad Abdullah Ghiyats. Nabil Shukriy ‘Iwadhullah, Dalilu Awail al-Shuhur
al-Qamariyah al-Islamiyah bi Dawlah Bahrayn..
Purwanto, Mencari Titik Temu Hisab dan Rukyat. Bandung:
Makalah pada Diskusi Panel "Upaya Penyeragaman Hasil Hisab Untuk
Penyusunan Almanak Hijriyah di Indonesia", 1993
Ridha, Muhammad
Rasyid Tafsir al-Qur’an al-Hakim, vol. 2,
(Beirut-Lebanon: Dar al-Ma’rifah,
t.t.).
Sa’adoedin
Djambek, Hisab Awal Bulan (Jakarta:
Tintamas Indonesia, Cetakan I, 1976).
Schaefer,
Bradley E.. Nasa/Goddard Space Flight Center, “The Length of the Lunar Month”,
dalam M.A. Hoskin (ed.), Journal for the
History of Astronomy, no. 17, vol. xxiii, 1992, Printers: University
Printing Services, Cambridge).
al-Rafi’iy, Fath al-’Aziz, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), vol. 6.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Quran dan Terjemahnya, (Medinah Munawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd Li Thiba’ah al-Mushaf al-Syarif, 1421 H.).
al-Zuhayliy, Wahbah, al-Tafsir al-Munir, vol. 2,
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1409 H./1989 M.).
[1] Abd. Salam Nawawi, Rukyat Hisab di Kalangan NU-Muhammadiyah: Meredam Konflik dalam Menetapkan Hilal, (Surabaya: diantama, 2004), h. 2
[2] ’Abdullah Yusuf ‘Ali, The Holy Qur’an: Text, Translation and
Commentary, (Brentwood,
Maryland, U.S.A.: Amana Corporation, 1409 H./1989 M.), h. 1031
[3]
Muhammad Hasan al-Hamshi, Qur’an
Karim: Tafsir wa Bayan Ma’a Asbab al-Nuzul li al-Suyuthi Ma’a Faharis Kamilah li al-Mawadhi’ wa al-Alfazh, (Damasqus-Beirut:
Dar al-Rashid), h. 247
[4]
Terdapat sejumlah ayat di dalam al-Qur’an yang menempatkan millah
Ibrahim sebagai agama yang baik (surah 2: al-Baqarah ayat 130; surah 22: al-Hajj ayat 78),
memuji orang-orang yang mengikuti millah Ibrahim (surah 4: al-Nisa’
ayat 125), menyuruh Nabi SAW dan umatnya untuk mengikuti millah Ibrahim (surah 2: al-Baqarah ayat 135; surah
3: Ali ‘Imran ayat 95, surah 16: al-Nahl ayat 123),
dan menyuruh Nabi SAW untuk menyatakan diri sebagai pengikut millah Ibrahim
(surah 6: al-An’am ayat 161).
[5] Lihat al-Qur’an surah 9: al-Tawbah ayat 37.
[6] Penjelasan tentang bulan-bulan haram ini dimuat dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan disitir oleh Ibnu Kastir sebagai berikut: “Sesungguhnya zaman ini berputar sebagaimana keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan Bumi. Satu tahun itu duabelas bulan. Empat di antaranya bulan-bulan haram. Yang tiga berurutan yakni Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, dan Muharram, serta Rajab yang terletak di antara dua Jumada dan Sya’ban. Lihat: Abu al-Fida’ Isma’il ibn Katsir al-Qurashiy al-Dimasyqiy, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, (t.t.p, ‘I<sa al-Babiy al-Halabiy, t.t.), vol 2, h. 353
[7] Yakni masa ‘iddah yang menggunakan tolok ukur bulan, seperti "3 bulan” bagi wanita yang dicerai suaminya, dan “4 bulan 10 hari” bagi wanita yang ditinggal mati suaminya.
[8] Maksudnya ialah masa satu tahun yang dipersyaratkan untuk wajibnya zakat pada harta yang sifatnya berkembang seperti emas, perak, uang, binatang ternak, dan harta perniagaan.
[9] Di samping ketentuan tentang bulan-bulan haji, ada pekerjaan-pekerjaan di dalam ibadah haji yang pelaksanaannya dikaitkan dengan dengan tanggal-tanggal dalam kalender Bulan seperti wukuf, mabi>t, dan melempar jamrah.
[10] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Quran dan Terjemahnya, (Medinah Munawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd Lit}iba>’ah al-Mus}h}af al-Shari>f, 1421 H.), h. 426
[11] ibid, h. 306
[12] ibid, h. 710
[13] ibid, h. 885
[14] ibid, h. 283-284
[15] ibid, h. 306
[16] Wahbah al-Zuhayliy, al-Tafsir al-Munir, vol. 2, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1409 H./1989 M.), h. 109
[17] Orang Arab mengenal sebanyak 28 manzilah Bulan karena hanya sejumlah itu yang bisa diamati. Kalau bulan berumur 29 hari, maka 1 malam Bulan tidak bisa diamati. Kalau bulan berumur 30 hari, maka 2 malam Bulan tidak bisa diamati. Nama-nama ke 28 manzilab Bulan tersebut adalah: al-Syiratan, al-Buthayn, al-Tsurayya, al-Dabaran, al-Haq’ah, al-Han’ah, al-Zhira’ al-Mabsuthah, al-Nashrah, al-Tharaf, al-Jabhah, al-Zubrah, al-Sharfah, al-‘Awwa’, al-Simak al-A’zal, al-Ghafr, al-Zubaniy, al-Iklil, al-Qalb, al-Syawlah, al-Na’a-im, al-Baladdah, Sa’d al-Dzabih}, Sa’d Bula’, Sa’d al-Su’ud, Sa’d al-Akhbiyah, al-Faragh al-Muqaddam, al-Faragh al-Muakhkhar, al-Risya’. (Baca: ibid, v ol. 23, h. 11)
[18] Menurut Muhammad Rasyid Ridha, penentuan waktu dengan hilal itu mudah bagi orang yang paham ilmu hisab dan bagi yang tidak memahaminya, bagi kaum primitif dan bagi kaum berperadaban. Dengan demikian hilal adalah tanda-tanda waktu untuk seluruh manusia. Sedangkan tahun shamsiyah, bulan-bulannya diketahui dengan perhitungan, sehingga ia tidak sesuai kecuali untuk ahli hisab, dan mereka pun tidak dapat menentukannya dengan cermat kecuali setelah majunya ilmu-ilmu perhitungan dalam waktu yang lama (Baca: Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, vol. 2, (Beirut-Lebanon: Dar al-Ma’rifah, t.t.), h. 202
[19] Ibnu Katsir, Tafsir…, vol. 3, h. 572
[20] Dalam bahasa Arab, kata قدر الشيء dan مقدار الشيء berarti مبلغ الشيء (jumlah sesuatu), yakni مايعرف به قدر الشيئ من معدود ومكيل وموزون (Suatu ukuran yang dengannya diketahui kadar sesuatu yang dihitung, ditakar, dan ditimbang). Lihat: Louis Ma’luf, al-Munjid fiy al-Lughah wa al-A’lam (Beirut: Dar al-Masyriq,t.t.), h. 12
[21] Baca: Ibnu Katsir, Tafsir, vol. 3, h. 572-573
[22] Periode ini dinamakan satu bulan Sideris. Lihat: Sa’adoedin Djambek, Hisab Awal Bulan (Jakarta: Tintamas Indonesia, Cetakan I, 1976), h. 7
[23] Gerak Matahari ke arah Timur pada lingkaran Ekliptika tersebut bukanlah gerak yang senyatanya, melainkan gerak semu. Yang senyatanya bergerak adalah Bumi, Bumi bergerak mengitari Matahari (gerak revolusi) pada lingkaran Ekliptika menurut arah Barat-Timur. Akibatnya, Matahari terlihat bergeser posisinya pada lingkaran Ekliptika itu\ menurut arah Barat-Timur juga. Mengenai gerak revolusi Bumi ini al-Qur’an, surah 27: al-Naml, ayat 88 mengisyaratkannya sebagai berikut: “Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka ia diam, padahal ia terbang laksana awan.”
[24] Abd. Salam, Kalender Islam di Antara Formalisme Fiqh dan Empirisme Hisab, (Memeo, 2001), h. 39
[25] Ayat ini juga mengisyaratkan terjadinya gerak rotasi Bumi (gerak mengelilingi sumbunya sendiri). Sebab “siang” terjadi pada permukaan Bumi yang tersinari Matahari, dan “malam” terjadi pada permukaan Bumi yang tidak tersinari Matahari. Karena Bumi bulat, maka bagian permukaannya tersinari Matahari selalu hanya seperduanya. Supaya malam dihapus oleh siang atau sebaliknya, seperti dinyatakan dalam ayat ini, Matahari harus bergerak mengitari Bumi. Tetapi ini tidak logis karena, sebagaimana telah dikemukakan, Bumi sendiri bergerak mengelilingi Matahari. Dengan demikian satu-satunya kesimpulan yang logis ialah bahwa untuk terjadinya pergantian “siang” dan “malam” itu Bumi sendiri harus berputar pada sumbunya.
[26] Ijtima’ atau konjungsi ialah berkumpulnya Bulan dan Matahari pada satu garis bujur astronomis (garis bujur yang ditarik dari kedua kutub Ekliptika). Baca: Abd. Salam, Ilmu Falak: Hisab Waktu Salat, Arah Kiblat, dan Kalender Hijriyah, (Sidoarjo: ‘Aqaba, 2001), h. 15
[27] Djambek, Hisab …, h. 10-14
[28] Waktu yang terbentang di antara dua ijtimak yang berurutan atau periode sinodik Bulan panjang rata-ratanya adalah 29,53 hari. Karena itu secara sederhana dapat dikatakan bahwa satu bulan dalam kalender Bulan terdiri dari 29 atau 30 hari. Hanya saja periode sinodik Bulan itu kenyataannya tidak selalu tetap, melainkan berubah-ubah dengan variasi mulai dari 29,2679 hari sampai 29,8376 hari. Baca: Bradley E. Schaefer, Nasa/Goddard Space Flight Center, “The Length of the Lunar Month”, dalam M.A. Hoskin (ed.), Journal for the History of Astronomy, no. 17, vol. xxiii, (Cambridge: University Printing Services, 1992), h. 32
[29] Bulan yang sudah berkedudukan di atas ufuk pada saat Matahari terbenam sesudah terjadinya ijtima>’ tidak selalu berarti tampak sebagai hilal. Sebab, Bulan tampak dari Bumi kalau bagian permukaannya yang tersinari Matahari sudah ada yang menghadap ke Bumi dalam kadar yang cukup. Untuk itu Bulan harus berada pada jarak tertentu dari Matahari. Menurut Andre Danjon, astronom asal Perancis, apabila jarak relatif Bulan-Matahari 7° atau kurang, maka hilal tidak mungkin dapat dilihat. Menurut para ahli astronomi modern, "Bulan mulai terlihat jika fraksi (bagian) Bulan yang tersinari Matahari dan menghadap ke Bumi sudah mencapai 1% (dari seluruh permukaan Bulan)". Keadaan ini bisa dicapai bila jarak relatif Bulan-Matahari (busur Cahaya, aL) tidak kurang dari 11,5°. Menurut Muhammad Ilyas, dari Malaysia, berdasarkan data perukyatan hilal selama bertahun-tahun yang dipublikasikan dalam banyak jurnal astronomi, hilal pertama kali dapat dilihat jika busur cahayanya sekurang-kurangnya 10.5° (pada beda azimut 0°). Jika beda azimuthnya lebih dari 0°, maka kriteria tersebut akan lebih besar lagi. (Baca: Purwanto, Mencari Titik Temu Hisab dan Rukyat. Bandung: Makalah pada Diskusi Panel "Upaya Penyeragaman Hasil Hisab Untuk Penyusunan Almanak Hijriyah di Indonesia", 1993, h. 3-5; Badan Hisab & Rukyat Departemen Agama, Almanak Hisab Rukyat. Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981, h. 55-56). Konferensi Islam tentang Penyatuan Awal Bulan Qamariyah pada 27-30 Nopember 1978 di Istambul menetapkan kriteria sebagai berikut : Awal bulan dimulai jika jarak busur cahaya Bulan-Matahari sekurang-kurangnya 8°, dan ketinggian Bulan pada saat Matahari terbenam sekurang-kurangnya 5°, Menurut Taqwim Standard Empat Negara Asean, berdasarkan Musyawarah Jawatan Kuasa Penyelarasan Rukyat dan Taqwim Islam Negara-Negara Brunai Darus Salam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura, kriteria penentuan masuknya awal bulan Ramadan, Syawal dan Z|ulhijjah ialah apabila tinggi hilal sesudah terbenam Matahari pada akhir bulan sekurang-kurangnya 2 derajat dan umur bulan sekurang-kurangnya delapan jam (Baca: Abdur Rachim, Penyerasian Metode dan Sistem Penetapan Awal Bulan Qamariyah di Indonesia. Bogor: Makalah pada Musyawarah Kriteria Imkanur Rukyah di Indonesia, tanggal 24 - 26 Maret 1998, h. 5-7; Wahib ‘Isa al-Nashir, Muhammad Abdullah Ghiyats, Nabil Shukriy ‘Iwadhullah, Dalilu Awail al-Shuhur al-Qamariyah al_Islamiyah bi Dawlah Bahrayn, h. 17).
[30] Ibnu Katsir, Tafsir, vol. 1, h. 225
[31] Darsa Sukartadiredja, “Perhitungan Astronomis Untuk Penentuan Awal Bulan Qamariah”, dalam Rukyah dengan Teknologi: Upaya Mencari Kesamaan Pandangan tentang Penentuan Awal Ramadhan dan Syawal, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 44
[32]Abu Dawud Sulaiman ibn al-Ash’ats al-Sijistaniy al-Azdiy, Sunan Abu Dawud, vol. 2, nomor hadis: 2338, (t.t.p., Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabiy, t.t.) h. 301
[33] Muslim, Shahih Muslim, vol. 1, (Bandung: Dahlan, t.t.), h. 440; Abu Dawud, Sunan …, vol. 2, nomor hadis: 2332, h. 299-300
[34] Manshur ibn Yunus ibn Idris al-Bahutiy, Kasysyaf al-Qina’ ‘an Matn al-Iqna’, vol. 2, h. 968
[35]Al-Rafi’iy, Fath al-’Aziz, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), vol. 6, h. 272-273
Tidak ada komentar:
Posting Komentar