Sabtu, 09 Mei 2020

Meneguhkan Moderasi Paska Puasa Dan Corona

MENEGUHKAN MODERASI

PASKA PUASA DAN CORONA

(Khutbah Idul Fitri 1441 H. di Masjid Asy-Syuhada’ Pamekasan)

Abd. Salam Nawawi

(Kalimat Pembuka Khutbah)

Allahu Akbar Walillahil Hamd.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah ! Marilah kita bersyukur kepada Allah SWT yang dengan perkenan-Nya kita bisa merampungkan ibadah Ramadan, sekaligus merayakan Idul Fitri 1441 hijriah.

Tahun ini kita menjalani Ramadan di tengah pandemi covid-19. Allah menguji kita dengan Puasa untuk mengencangkan “kendali diri” kita, dan menguji kita dengan Corona untuk menekan “kecenderungan pongah” kita.

Dengan puasa, kita diuji menahan diri dari tiga pekerjaan halal yang sehari-hari biasa kita lakukan, yaitu makan, minum, dan hubungan suami-isteri. Tiada lain, ini adalah vaksin yang mesti membikin kita lebih mampu mengendalikan diri dari pekerjaan haram yang kita memang diperintah untuk menjauhinya sepanjang hayat.

Dengan Corona, Allah hadirkan cermin utuh yang memperlihatkan keringkihan diri kita. Ribuan saudara kita terpapar oleh makhluk supermicro-Nya itu, lalu jatuh sakit beberapa waktu. Di antara mereka ada yang kemudian sembuh dan sehat kembali. Namun ada pula yang dikehendaki-Nya untuk berpulang –sebagai hamba beriman-- dengan derajat kemuliaan yang sudah menanti di sisi-Nya.

Allahu Akbar Walillahil Hamd.

Kehadiran Corona mengimbas pula banyak sektor kehidupan kita lainnya. Kelesuan massif melanda sektor sosial, budaya, agama, pendidikan, dan bahkan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi kita melambat, cadangan devisa menyusut, harga saham merosot, kurs rupiah anjlok, pendapatan jutaan orang menurun drastis, dan tidak sedikit pula di antara mereka yang kehilangan pekerjaan. Muara dari semuanya adalah jumlah orang miskin kian meningkat.

Ringkasnya, Corona hadir membisikkan pesan mendasar bahwa “sebanyak apapun kekayaan kita, setinggi apapun ilmu kita, dan sehebat apapun kekuasaan kita... semua itu sama sekali tidak berefek untuk membuat kita pantas bersikap pongah karena merasa diri serba cukup”. La hawla wala quwwata illa billah.

Duhai Allah, Yang Maha Rahman! Ujian yang Engkau timpakan ini benar-benar telah menggetarkan kesadaran iman kami. Hanya Engkau yang berhak menyandang semua kebesaran, yang berhak memiliki segala pujian, dan yang berhak dituju oleh segenap puja dan harapan. Semoga dengan ujian ini Engkau bekaskan hikmah berharga untuk menguatkan ikhtiar pendakian spiritual kami menuju penghambaan yang tulus kepada-Mu. Allahumma amin

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah !

Kita memang harus selalu mengokohkan ikhtiar pendakian spiritual kita menuju penghambaan yang tulus kepada Allah. Pertama, karena kita dicipta memang untuk melakoni peran itu. Kedua, karena setiap diri kita punya potensi untuk putar balik dan meluncur ke arah pembangkangan.

كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى () أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى / العلق ٦–٧

Ketahuilah! Sesungguhnya manusia itu benar-benar melampaui batas,

karena dia melihat dirinya serba cukup.

Allahu Akbar Walillahil Hamd.

Dengan modal yang ditanamkan Allah melalui ujian Puasa dan Corona tersebut, yakni kesiapan mental untuk mengendalikan diri dari sikap pongah, semoga kita mampu memainkan peran sebagai “Umat Moderat” seperti yang dikehendaki-Nya dalam percaturan hidup di dunia ini.

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا .../ البقرة ١٤٣

Dan demikianlah Kami telah menjadikan kamu sekalian sebagai Umat Moderat.

Umat Moderat itu proporsional, adil, terukur, sesuai kebutuhan, dan tidak over dosis. Terkait itu Rasul SAW mengajarkan prinsip “tinggalkan yang tidak berguna”: Min husni islaamil mar’i tarkuhuu maa laa ya’niihi (Bagusnya keislaman seseorang ialah komitmennya untuk meninggalkan apa yang tidak berguna / HR Malik, Ahmad, dan al-Tirmidzi).

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah !

Ada dua pekerjaan rutin harian yang bisa menyeret kita keluar dari posisi tengah atau moderat. Kedua pekerjaan itu adalah makan-minum dan belanja.

Mari kita baca diri. Dalam perkara makan-minum, kita sering berhenti pada aspek “halal” dan “thayyib” saja, lalu kurang peduli pada larangan “berlebihan”. Padahal kita tahu, Allah tidak suka terhadap kelakuan berlebihan itu.

... وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ / الأعراف ٣١

... Makan dan minumlah kamu sekalian, dan janganlah kamu sekalian berlebihan. Sungguh Dia tidak suka terhadap orang-orang yang berlebihan.

Yang namanya berlebihan dalam makan-minum tentu tidak hanya menyangkut volume yang kita makan, tetapi juga jumlah yang kita sia-siakan dan terbuang percuma sebagai sampah makanan atau food waste.

Tahun 2019 lalu, masyarakat internasional telah menobatkan negeri kita sebagai penghasil sampah makanan terbanyak kedua sedunia setelah Arab Saudi. Tak tanggung-tanggung, setiap tahun ada seberat 1,3 juta ton makanan yang kita sia-siakan menjadi sampah, dan masya Allah, jumlah itu cukup untuk menghidupi 11% atau 28 juta orang miskin di negeri ini. Bahkan yang lebih ironis, di bulan Ramadan produk sampah makanan kita meningkat rata-rata 10%. Nastaghfirullaah wa Natuubu Ilaih. Semoga Allah mengampuni kezaliman kita.

Allahu Akbar Walillahil Hamd.

Prilaku boros kita dalam soal makan-minum tersebut sekaligus menggambarkan pola yang sama di sektor belanja. Kita senang belanja apa saja yang kita inginkan, dan tidak tahan untuk hanya belanja apa yang kita butuhkan. Padahal kita juga tahu, yang seperti itu bukanlah pola belanjanya hamba Allah yang Maha Rahman.

وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا / الفرقان ٦٧

Dan (hamba-hamba dari Dia Yang Maha Rahman itu adalah) orang-orang yang apabila berbelanja tidak berlebihan dan tidak kikir, dan adalah (belanjanya berada) di antara yang demikian itu.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah !

Sejatinya syariat agama kita benar-benar menekankan moderasi dalam segenap aspek kehidupan. Lebih-lebih kalau menyangkut perkara sensitif seperti cara memperlakukan orang.

Diriwayatkan bahwa seorang a’rabi (orang desa) masuk ke masjid Nabi lalu kencing di sana. Tentu, perkara seperti ini sensitif. Mudah menyulut tindakan overdosis. Benar juga, orang-orang di dalam masjid segera bereaksi untuk menghentikan kelakuan orang itu. Tapi Rasul SAW mencegah mereka:

دَعُوْهُ وَأَرِيْقُوْا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوْبًا مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِيْنَ وَلَمْ تُبْعَثُوْا مُعَسِّرِيْنَ / رواه البخاري

“Biarkan dia, dan siramkan atas kencingnya satu wadah air atau satu timba air, karena sesungguhnya kamu sekalian dibangkitkan hanyalah untuk membikin mudah, dan tidak dibangkitkan untuk membikin sulit”). HR al-Bukhari dari Abu Hurairah.

Anas bin Malik --Sahabat yang menyaksikan peristiwa itu—menuturkan bahwa setelah orang desa itu selesai kencing, Rasul SAW memanggilnya dan mengajarinya:

إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لاَ تَصْلُحُ لِشَىْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلاَ الْقَذَرِ إِنَّمَا هِىَ لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلاَةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ / رواه مسلم

“Sesungguhnya masjid-masjid ini sama sekali tidak cocok untuk kencing ini dan tidak juga kotoran. Sesungguhnya ia (masjid-masjid) hanyalah untuk mengingat Allah ‘Azza wa Jalla, untuk salat, dan untuk membaca Alquran.”

Dalam kasus di atas, Rasul SAW menyontohkan moderasi dalam menyikapi dan menyelesaikan masalah. Beliau cegah reaksi spontan para Sahabat yang hendak menghentikan orang desa itu karena, pertama, tindakan tersebut mengganggu qadha hajat orang dan, kedua, bisa membuat area masjid yang terkena najis semakin luas. Beliau memilih tindakan membiarkannya sampai selesai lalu menyiramkan air ke kencingnya. Masalahnya selesai dengan pemecahan yang pas, tidak lebih. Sedangkan masalah ketidaktahuan orang desa itu terhadap kekeliruan kelakuannya, beliau pecahkan dengan menasehatinya. Ini juga pas, tidak lebih.

Dalam Riwayat lain, Rasul SAW menegur Umar bin al-Khaththab karena tindakannya yang tidak proporsional terhadap Zaid bin Sa’nah, pemuka Yahudi yang menagih hutang kepada Rasul SAW sebelum jatuh tempo dan dengan cara kasar.

Sambil mencengkram baju Rasul SAW, Zaid bin Sa’nah berkata: “Apakah engkau tidak membayar hakku, hai Muhammad? Demi Allah, kalian tidak tahu wahai Bani Abdul Muththalib bahwa pelunasan hutang yang buruk adalah menundanya. Padahal, melalui pergaulan dengan kalian, aku saja tahu.”

Terprovokasi oleh kekasaran Zaid, Umar menghardiknya: “Wahai musuh Allah. Apakah engkau bicara kepada Rasul seperti yang kudengar dan kauperlakukan beliau seperti yang kulihat? Demi Allah yang telah mengutus beliau dengan membawa kebenaran, andai aku tidak takut kehilangan beliau, sudah kutebas kepalamu.”

Karena tidak proporsional, Rasul SAW menegur Umar: Aku dan dia lebih butuh pada selain (hardikan) ini dari engkau, wahai Umar. (Lebih baik) kau suruh aku membayar hutang dengan baik, dan kau suruh dia menagihnya dengan cara yang baik. Pergilah engkau dengan dia. Berikan haknya. Tambahi dia 20 sha’ kurma sebagai konpensasi dari hardikanmu atasnya.”

Ringkas riwayat, setelah urusan selesai, Zaid bin Sa’nah menyatakan keislamannya dengan bersyahadat di hadapan Rasul SAW. (Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak ‘Ala al-Shahiihain)

Allahu Akbar Walillahil Hamd.

Menahan diri untuk tidak terpancing oleh prilaku buruk orang lain merupakan karakter atau akhlak mendasar dari umat ini. Bahkan akhlak ini menjadi tolok ukur tentang apakah kita tulus menjadi hamba Allah ataukah justru menghamba kepada kepongahan diri kita sendiri.

Prilaku “buruk” yang terarah pada symbol-simbol agama, semisal pengingkaran dan olok-olok non muslim terhadap ayat-ayat Allah, tidak jarang ini menjadi percik api yang membakar semangat jihad. Kita lalu terpancing keluar melakukan pembelaan dengan jihad ofensif. Padahal Sang Pemilik ayat sendiri, menyuruh kita bertahan di dalam dengan jihad defensif.

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا / النساء ١٤٠

Dan sungguh Dia telah menurunkan kepada kamu di dalam Alquran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan, maka janganlah kamu duduk bersama mereka sampai mereka masuk ke pembicaraan yang lain. Sungguh (kalau kamu berbuat begitu), kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di Jahannam semuanya.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah !

Sejatinya kalau kita mau berikir tenang dan proporsional, fenomena pengingkaran dan olok-olok non muslim terhadap ayat-ayat Allah itu perkara biasa. Khiththah” mereka memang seperti itu. Tidak kurang ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan sikap mereka yang seperti itu. Justru yang aneh adalah kalau mereka mengakui dan mengagungkan ayat-ayat Allah.

Karena itulah, kalau kita mendengar mereka mengingkari dan mengolok-olok ayat-ayat Allah, kita hanya disuruh Allah untuk mengingatkan saja supaya mereka mengontrol prilakunya (al-An’am, 69). Selebihnya kita disuruh Allah untuk walk out alias tidak duduk bersama mereka. Ca’na oreng Madura, “Se Baras Ngala”.

Nah, kalau kita terpancing untuk melayani mereka, kita tidak menggubris suruhan Allah untuk walk out, adalah pastas bila Allah mencap kita sama dengan mereka. Mereka mengingkari ayat-ayat Allah, kita melecehkannya. Na’uudzu billaah min dzaalik.

Karena itu, di hari ‘Id yang agung ini mari kita buhul tekad untuk lebih mengencangkan kendali diri. Dengan hidayah dan taufiq-Nya, semoga kita bisa hadir sebagai hamba yang mampu mencerminkan sikap dan prilaku Umat Moderat seperti yang digariskan-Nya. Amin.

أعوذ بالله من الشيطان الرجيم. أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ / الحديد ١٦

(Kalimat Penutup Khutbah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar