MENEGUHKAN MODERASI
PASKA PUASA DAN CORONA
(Khutbah Idul Fitri 1441 H. di Masjid Asy-Syuhada’
Pamekasan)
Abd. Salam Nawawi
(Kalimat Pembuka Khutbah)
Allahu Akbar Walillahil Hamd.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
! Marilah kita bersyukur kepada Allah SWT yang dengan perkenan-Nya kita bisa
merampungkan ibadah Ramadan, sekaligus merayakan Idul Fitri 1441 hijriah.
Tahun ini kita menjalani Ramadan di tengah
pandemi covid-19. Allah menguji kita dengan Puasa
untuk mengencangkan “kendali diri” kita, dan menguji kita dengan Corona untuk
menekan “kecenderungan pongah” kita.
Dengan puasa, kita diuji menahan diri dari tiga pekerjaan
halal yang sehari-hari biasa kita lakukan, yaitu makan, minum, dan hubungan
suami-isteri. Tiada lain, ini adalah vaksin yang mesti membikin kita lebih mampu
mengendalikan diri dari pekerjaan haram yang kita memang diperintah untuk menjauhinya
sepanjang hayat.
Dengan Corona, Allah
hadirkan cermin utuh yang memperlihatkan keringkihan diri kita. Ribuan saudara kita terpapar oleh makhluk supermicro-Nya
itu, lalu jatuh sakit beberapa waktu. Di antara mereka ada yang kemudian sembuh dan sehat kembali. Namun ada pula yang dikehendaki-Nya untuk berpulang –sebagai
hamba beriman-- dengan derajat kemuliaan yang sudah menanti di sisi-Nya.
Allahu Akbar Walillahil Hamd.
Kehadiran Corona mengimbas pula banyak sektor kehidupan kita lainnya. Kelesuan massif melanda sektor sosial, budaya, agama, pendidikan, dan bahkan ekonomi. Pertumbuhan
ekonomi kita melambat, cadangan devisa menyusut, harga saham merosot, kurs
rupiah anjlok, pendapatan jutaan orang menurun drastis, dan tidak sedikit pula di
antara mereka yang kehilangan pekerjaan. Muara dari semuanya adalah jumlah
orang miskin kian meningkat.
Ringkasnya, Corona hadir membisikkan pesan mendasar bahwa
“sebanyak apapun kekayaan kita, setinggi apapun ilmu kita, dan sehebat
apapun kekuasaan kita... semua itu sama sekali tidak berefek untuk membuat kita
pantas bersikap pongah karena merasa diri serba cukup”. La hawla wala
quwwata illa billah.
Duhai Allah, Yang Maha Rahman! Ujian yang Engkau timpakan ini benar-benar telah menggetarkan
kesadaran iman kami. Hanya Engkau yang berhak menyandang semua kebesaran, yang
berhak memiliki segala pujian, dan yang berhak dituju oleh segenap puja dan harapan.
Semoga dengan ujian ini Engkau bekaskan hikmah berharga untuk menguatkan ikhtiar
pendakian spiritual kami menuju penghambaan yang tulus kepada-Mu. Allahumma
amin
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah !
Kita memang harus selalu mengokohkan ikhtiar pendakian
spiritual kita menuju penghambaan yang tulus kepada Allah. Pertama, karena kita dicipta memang untuk melakoni peran itu. Kedua,
karena setiap diri kita punya potensi untuk putar balik dan meluncur ke arah pembangkangan.
كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى () أَنْ
رَآهُ اسْتَغْنَى / العلق ٦–٧
Ketahuilah!
Sesungguhnya manusia itu
benar-benar melampaui batas,
karena dia
melihat dirinya serba cukup.
Allahu Akbar Walillahil Hamd.
Dengan modal yang ditanamkan Allah melalui ujian Puasa
dan Corona tersebut, yakni kesiapan mental untuk mengendalikan diri dari sikap pongah, semoga kita
mampu memainkan peran sebagai “Umat Moderat” seperti yang dikehendaki-Nya dalam
percaturan hidup di dunia ini.
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا .../ البقرة ١٤٣
Dan
demikianlah Kami telah menjadikan kamu sekalian sebagai Umat Moderat.
Umat Moderat itu proporsional, adil, terukur, sesuai
kebutuhan, dan tidak over dosis. Terkait itu Rasul SAW mengajarkan prinsip
“tinggalkan yang tidak berguna”: Min husni islaamil mar’i tarkuhuu maa
laa ya’niihi (Bagusnya keislaman seseorang ialah komitmennya untuk
meninggalkan apa yang tidak berguna / HR Malik, Ahmad, dan al-Tirmidzi).
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah !
Ada dua pekerjaan rutin harian yang bisa menyeret kita keluar dari
posisi tengah atau moderat. Kedua pekerjaan itu adalah makan-minum dan belanja.
Mari kita baca diri. Dalam perkara makan-minum, kita sering
berhenti pada aspek “halal” dan “thayyib” saja, lalu kurang peduli pada larangan “berlebihan”. Padahal kita tahu, Allah tidak suka terhadap kelakuan berlebihan itu.
... وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ / الأعراف ٣١
... Makan dan
minumlah kamu sekalian,
dan janganlah kamu sekalian berlebihan.
Sungguh Dia tidak
suka terhadap orang-orang
yang berlebihan.
Yang namanya berlebihan dalam makan-minum tentu tidak hanya menyangkut volume yang kita makan, tetapi juga jumlah yang kita sia-siakan dan terbuang percuma sebagai sampah makanan atau food waste.
Tahun 2019 lalu, masyarakat internasional telah menobatkan negeri kita sebagai penghasil sampah
makanan terbanyak kedua sedunia setelah Arab Saudi. Tak tanggung-tanggung, setiap tahun ada seberat 1,3 juta
ton makanan yang kita sia-siakan menjadi sampah, dan masya Allah, jumlah
itu cukup untuk
menghidupi 11% atau 28 juta orang miskin di negeri ini. Bahkan yang lebih ironis,
di bulan Ramadan produk sampah makanan kita meningkat rata-rata 10%. Nastaghfirullaah wa Natuubu
Ilaih. Semoga Allah
mengampuni kezaliman kita.
Allahu Akbar Walillahil Hamd.
Prilaku
boros kita dalam soal makan-minum tersebut sekaligus menggambarkan pola yang
sama di sektor belanja. Kita senang belanja apa saja yang kita inginkan,
dan tidak tahan untuk hanya belanja apa yang kita butuhkan. Padahal kita juga tahu, yang seperti itu bukanlah pola
belanjanya hamba
Allah yang Maha Rahman.
وَالَّذِينَ
إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ
قَوَامًا / الفرقان ٦٧
Dan
(hamba-hamba dari Dia Yang Maha
Rahman itu adalah) orang-orang yang
apabila berbelanja tidak
berlebihan dan tidak kikir,
dan adalah (belanjanya berada) di antara
yang demikian itu.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah !
Sejatinya syariat agama kita benar-benar menekankan
moderasi dalam segenap aspek kehidupan.
Lebih-lebih kalau menyangkut perkara sensitif seperti cara
memperlakukan orang.
Diriwayatkan
bahwa seorang a’rabi (orang desa) masuk
ke masjid Nabi lalu kencing di sana. Tentu, perkara seperti ini sensitif. Mudah menyulut tindakan
overdosis. Benar juga, orang-orang di dalam masjid segera bereaksi untuk menghentikan kelakuan orang itu. Tapi Rasul SAW mencegah mereka:
دَعُوْهُ
وَأَرِيْقُوْا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوْبًا مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا
بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِيْنَ وَلَمْ تُبْعَثُوْا مُعَسِّرِيْنَ /
رواه البخاري
“Biarkan dia,
dan siramkan atas kencingnya satu wadah air atau satu timba air, karena sesungguhnya
kamu sekalian dibangkitkan hanyalah untuk membikin mudah, dan tidak
dibangkitkan untuk membikin sulit”). HR al-Bukhari dari
Abu Hurairah.
Anas
bin Malik --Sahabat yang menyaksikan peristiwa
itu—menuturkan bahwa setelah
orang desa itu selesai kencing, Rasul
SAW memanggilnya dan mengajarinya:
إِنَّ
هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لاَ تَصْلُحُ لِشَىْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلاَ الْقَذَرِ
إِنَّمَا هِىَ لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلاَةِ وَقِرَاءَةِ
الْقُرْآنِ / رواه مسلم
“Sesungguhnya masjid-masjid ini sama sekali tidak cocok untuk
kencing ini dan tidak juga kotoran. Sesungguhnya ia (masjid-masjid) hanyalah
untuk mengingat Allah ‘Azza wa Jalla, untuk salat, dan untuk membaca
Alquran.”
Dalam kasus di atas, Rasul SAW menyontohkan moderasi dalam menyikapi dan menyelesaikan masalah. Beliau cegah
reaksi spontan para Sahabat yang hendak menghentikan orang desa itu karena, pertama,
tindakan tersebut mengganggu qadha hajat orang dan, kedua, bisa membuat area
masjid yang terkena najis semakin luas. Beliau memilih
tindakan membiarkannya sampai selesai lalu menyiramkan air ke kencingnya. Masalahnya selesai dengan pemecahan yang pas, tidak
lebih. Sedangkan masalah ketidaktahuan orang desa itu terhadap kekeliruan kelakuannya, beliau pecahkan dengan menasehatinya. Ini juga pas, tidak lebih.
Dalam Riwayat lain, Rasul SAW
menegur Umar bin al-Khaththab karena tindakannya yang tidak proporsional terhadap
Zaid bin Sa’nah, pemuka Yahudi yang menagih hutang kepada Rasul SAW sebelum
jatuh tempo dan dengan cara kasar.
Sambil mencengkram baju Rasul
SAW, Zaid bin
Sa’nah berkata:
“Apakah engkau tidak membayar hakku, hai Muhammad? Demi Allah, kalian tidak
tahu wahai Bani Abdul
Muththalib bahwa pelunasan hutang yang buruk adalah menundanya. Padahal,
melalui pergaulan dengan kalian, aku saja tahu.”
Terprovokasi oleh kekasaran
Zaid, Umar menghardiknya: “Wahai musuh Allah. Apakah engkau bicara kepada
Rasul seperti yang kudengar dan kauperlakukan beliau seperti yang kulihat? Demi
Allah yang telah mengutus beliau dengan membawa kebenaran, andai aku tidak
takut kehilangan beliau, sudah kutebas kepalamu.”
Karena tidak
proporsional, Rasul
SAW menegur Umar: “Aku dan dia lebih butuh pada
selain (hardikan) ini dari engkau, wahai Umar. (Lebih baik) kau
suruh aku membayar hutang dengan baik, dan kau suruh dia menagihnya dengan
cara yang baik. Pergilah engkau dengan dia. Berikan haknya. Tambahi dia 20 sha’
kurma sebagai konpensasi dari hardikanmu atasnya.”
Ringkas riwayat, setelah urusan selesai, Zaid bin Sa’nah
menyatakan keislamannya dengan bersyahadat di hadapan Rasul SAW. (Imam
al-Hakim dalam al-Mustadrak ‘Ala al-Shahiihain)
Allahu Akbar Walillahil Hamd.
Menahan diri untuk tidak
terpancing oleh prilaku buruk orang lain merupakan karakter atau
akhlak mendasar
dari
umat ini. Bahkan akhlak ini
menjadi tolok ukur tentang apakah kita tulus menjadi
hamba Allah
ataukah justru
menghamba kepada kepongahan
diri kita
sendiri.
Prilaku “buruk” yang terarah
pada symbol-simbol agama, semisal pengingkaran dan olok-olok non
muslim terhadap ayat-ayat Allah, tidak jarang ini menjadi percik api yang membakar
semangat jihad. Kita lalu terpancing keluar melakukan pembelaan dengan jihad
ofensif. Padahal Sang Pemilik ayat sendiri, menyuruh kita bertahan di dalam dengan jihad defensif.
وَقَدْ
نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ
بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي
حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ
الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا / النساء ١٤٠
Dan
sungguh Dia telah
menurunkan kepada kamu di dalam Alquran
bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan,
maka janganlah kamu duduk bersama mereka
sampai mereka masuk ke
pembicaraan yang lain. Sungguh (kalau kamu
berbuat begitu),
kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang
munafik dan orang-orang kafir di Jahannam semuanya.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah !
Sejatinya kalau kita mau
berikir tenang dan proporsional, fenomena pengingkaran
dan olok-olok non
muslim terhadap
ayat-ayat
Allah itu perkara
biasa. “Khiththah” mereka memang
seperti
itu. Tidak
kurang ayat-ayat al-Qur’an yang
menggambarkan sikap mereka yang seperti itu. Justru yang aneh
adalah kalau
mereka mengakui dan mengagungkan ayat-ayat Allah.
Karena itulah, kalau kita
mendengar mereka mengingkari dan mengolok-olok ayat-ayat Allah, kita hanya
disuruh Allah untuk mengingatkan saja supaya mereka mengontrol prilakunya (al-An’am, 69). Selebihnya kita
disuruh Allah untuk walk out alias tidak duduk
bersama mereka. Ca’na oreng Madura, “Se Baras Ngala”.
Nah, kalau kita
terpancing untuk
melayani
mereka,
kita tidak
menggubris suruhan Allah untuk walk out, adalah pastas bila Allah mencap kita sama dengan mereka. Mereka
mengingkari ayat-ayat Allah, kita melecehkannya. Na’uudzu billaah min
dzaalik.
Karena itu, di hari ‘Id yang agung ini mari kita buhul
tekad untuk lebih mengencangkan kendali diri. Dengan hidayah dan taufiq-Nya, semoga kita bisa hadir sebagai hamba yang mampu mencerminkan sikap dan prilaku Umat Moderat seperti yang
digariskan-Nya. Amin.
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم. أَلَمْ
يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا
نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ
فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
/ الحديد ١٦
(Kalimat Penutup Khutbah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar