Abstrak: Tulisan ini mencoba melakukan pembacaan paradigmatik terhadap pesan-pesan teologis Mekah dan Medinah (Makkiyyah dan Madaniyyah) mengenai implementasi sistem kalender Islam. Dengan menggunakan paradigma Evolusi Syariah yang dilansir oleh penulis asal Sudan, Mah}mud Muh}ammad T{aha, tulisan ini menyuguhkan sajian bahwa pesan-pesan Mekah tentang implementasi sistem kalender Islam adalah sangat berjangka jauh ke depan dan berada di luar jangkauan nalar umat pada waktu itu (abad ketujuh), yaitu suatu visi ideal yang mencitakan penyusunan kalender Islam dengan pendekatan fisis matematis atau hisab astronomi. Kondisi aktual umat yang masih ”jauh panggang dari api” untuk dapat merealisasikan visi Mekah tersebut karena tingkat peradabannya yang masih bersahaja (ummi>) difasilitasi oleh pesan Medinah yang hadir kemudian dengan misinya yang realistik, yaitu memulai realisasi penyusunan kalender Islam dengan pendekatan fisis observasional atau rukyat bi al-fi’l. Misi realistik Madinah yang bisa langsung diterapkan itu sejatinya bukanlah finish, tetapi start dari suatu track panjang menuju terwujudnya visi Mekah di masa depan. Tulisan ini akhirnya bermuara pada suatu positioning yang niscaya, yaitu bahwa kalender Islam itu tidak hanya berdimensi teologis tetapi sekaligus berdemensi budaya. Sebagai kalender teologis, implementasi penyusunannya harus berada dalam—dan tidak keluar dari—bingkai kepatuhan terhadap rambu-rambu shar’. Sebagai kalender budaya, implementasi penyusunannya harus berjalan seiring dengan tingkat kemajuan peradaban manusia di bidang fisika astronomi.
Kata Kunci: Kalender Islam, Pesan Teologis Mekah, Pesan Teologis Medinah, Paradigma Evolusi Syariah.
PENDAHULUAN
Sejak awal peradaban, manusia sudah merasakan perlunya sistem pembagian waktu menjadi satuan-satuan periode “bulan” dan “tahun” yang lazim disebut Kalender atau Taqwi>m. Kebutuhan terhadap kalender bertemali dengan kepentingan kehidupan sehari-hari dan/atau kepentingan penyusunan skedul ritus-ritus keagamaan mereka. Acuan yang digunakan untuk menyusun kalender adalah siklus pergerakan eksak dan ajeg dua benda langit yang paling menonjol kehadirannya dalam—dan sangat besar pengaruhnya pada—kehidupan manusia di Bumi, yakni Bulan dan Matahari. Kalender yang disusun berdasarkan siklus sinodik Bulan dinamakan Kalender Bulan (Qamariyah, Lunar). Kalender yang disusun berdasarkan siklus tropik Matahari dinamakan Kalender Matahari (Syamsiyah, Solar). Sedangkan kalender yang disusun dengan mengacu kepada keduanya dinamakan Kalender Bulan-Matahari (Qamariyah-Syamsiyah, Luni-Solar).
Pada sekitar empatribu tahun lebih sebelum Masehi, bangsa Arab telah membuat kalender Matahari. Satu tahun dalam kalender mereka terdiri dari 365 hari. Yang 360 hari mereka bagi rata menjadi 12 bulan, sedangkan 5 hari sisanya mereka skedulkan untuk pesta tahunan bangsa Arab. Di belakang hari kalender Matahari digunakan juga oleh bangsa Romawi. Bangsa Arab sendiri beralih pada kalender Bulan yang digunakan juga oleh masyarakat Mesir kuna dan Babilonia. Sedangkan kalender Bulan-Matahari digunakan oleh orang-orang Cina dan India.
Meskipun tidak jelas sejak kapan itu terjadi, namun cukup beralasan bila diasumsikan bahwa peralihan bangsa Arab ke kalender Bulan itu ada kaitannya dengan kehadiran Nabi Ibrahim AS dari Palestina (Ibrahim sendiri berasal Babilonia) ke wilayah itu. Ibrahim memboyong isteri (Siti Hajar) dan anaknya (Ismail) ke suatu lembah sunyi yang bernama Bakkah (Mekah) di tanah Arab. Di sana Ibrahim membangun Ka’bah (Baitullah) kemudian merintis penyelenggaraan ibadah haji yang waktunya dikaitkan dengan kalender Bulan. Sejak itu kalender Bulan mulai dipakai di kalangan bangsa Arab dan lambat-laun menggeser kalender Matahari. Ketika al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW pada abad ketujuh Masehi, kalender Bulan sudah mapan berlaku di kalangan masyarakat Arab. Nabi Muhammad SAW sendiri—yang hadir dengan misi pokok melanjutkan millah Ibrahim —semenjak periode Mekah telah menerima pesan-pesan teologis yang berjangka jauh ke depan mengenai penyusunan kalender Bulan tersebut.
Pesan Mekah dan Madinah Seputar Kalender
Al-Qur’an, sebagai sumber syariat Islam yang paling otoritatif, merangkum pesan-pesan teologis yang tidak hanya meletakkan dasar-dasar aturan tentang hubungan manusia dengan Penciptanya, interaksi dengan sesamanya, dan tindakan terhadap alam di sekelilingnya, tetapi juga menyatakan tentang untuk apa manusia diciptakan. Di samping itu, meskipun bukan buku pelajaran kosmologi, atau sains pada umumnya, al-Qur’an juga berbicara secara garis besar tentang kejadian alam semesta dan berbagai proses kealaman lainnya. Juga berbicara tentang penciptaan makhluk hidup, termasuk manusia yang terus didorong hasrat ingin tahunya dan dipacu akalnya untuk menyelidiki segala apa yang ada di sekelilingnya.
Hal-hal yang disebut terakhir ini banyak ditekankan oleh pesan Islam semenjak periode Mekah. Islam mengharuskan manusia untuk mengenal alam sekelilingnya, dan untuk itu Allah SWT mengeluarkan perintah dalam surat (10) Yu>nus ayat 101: قل انظروا ماذا في السموات والأرض (”Katakanlah: Perhatikan apa yang ada di langit dan di bumi.”) Perintah "انظروا" dalam ayat tersebut diterjemahkan oleh Ahmad Baiquni dengan ”periksalah dengan intiz}a>r” atau dengan mengaktifkan nalar. Sebab, perintah itu menurutnya tidaklah dimaksudkan sekedar untuk melihat dengan pikiran yang kosong, melainkan dengan perhatian pada kebesaran dan kekuasaan Tuhan, dan pada makna dari gejala-gejala yang diamati itu. Hal ini, menurutnya, akan menjadi lebih jelas manakala dihubungkan dengan teguran-teguran Allah SWT dalam surat (88) al-Gha>shiyah ayat 17-20: ”Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana dia diciptakan; dan langit, bagaimana ia ditinggikan; dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan; dan bumi, bagaimana ia dihamparkan.”
Perintah dan teguran tersebut tidak dapat diartikan lain kecuali merupakan cerminan yang sangat jelas dari kehendak teologis (ira>dah ila>hiyyah) dan bimbingan Sang Khalik supaya manusia memahami ayat (hukum) yang dibentangkanNya di alam semesta. Pemahaman ini penting bukan hanya agar manusia dapat menghayati kemahakuasaanNya, tetapi juga sebagai syarat untuk dapat mengemban misi suci kekhilafahannya di Bumi ini secara maksimal dan bertanggungjawab. Untuk tanggungjawab mengelola alam sekitarnya, manusia memang—tidak dapat tidak—harus mengenal dengan benar hukum-hukum yang mengikat dan mengatur alam. Untuk itu, manusia harus melakukan pengamatan (observasi) terhadap alam di sekitarnya dan mengolah (menalar) gejala-gejala yang diperoleh dalam pengamatan itu dengan kekuatan intelektual dan spiritualnya.
Begitu pula pesan-pesan teologis Mekah mengenai sistem kalender, seperti yang akan disajikan deskripsinya, terangkum dalam sejumlah ayat al-Qur’an dengan kemasan bahasa simbolik yang mendalam yang tidak hanya menuntun dan menerangi perjalanan spiritual manusia, tetapi juga mendorong dan mengapresiasi perkembangan intelektual serta kemajuan intelegensinya.
Pertama, surat (17) al-Isra>’ ayat 12:
وجعلنا الليل والنهار آيتين فمحونا آية الليل وجعلنا آية النهار مبصرة لتبتغوا فضلا من ربكم ولتعلموا عدد السنين والحساب وكل شيء فصلناه تفصيلا
Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan. Segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas.
Kedua, surat (39) al-Zumar ayat 5:
خلق السموات والأرض بالحق يكور الليل على النهار و يكور النهار على الليل وسخر الشمس والقمر كل يجري لأجل مسمى ألا هو العزيز الغفار
Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah Dia yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
Ketiga, surat (10) Yu>nus ayat 5:
هو الذي جعل الشمس ضياءً والقمر نورا وقدره منازل لتعلموا عدد السنين والحساب ما خلق الله ذلك إلا بالحق يفصل الآيات لقوم يعلمون
Dialah yang menjadikan Matahari bersinar dan Bulan bercahaya dan Dia menetapkan manzilah-manzilah bagi perjalanan bulan supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaranNya) kepada orang-orang yang mengetahui.
Keempat, surat (36) Ya>si>n ayat 37-40:
وأية لهم الليل نسلخ منه النهار فإذا هم مظلمون – والشمس تجري لمستقر لها ذالك تقدير العزيز العليم –والقمر قدرناه منازل حتى عاد كالعرجون القديم – لا الشمس ينبغي لها أن تدرك القمر ولا الليل سابق النهار وكل في فلك يسبحون
Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan, dan matahari beredar di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan Bulan telah Kami tetapkan untuknya manzilah-manzilah sehingga kembalilah ia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidak mungkin bagi Matahari mendapatkan Bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.
Kelima, surat (55) al-Rah}ma>n ayat 5:
الشمس والقمر بحسبان
”Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.”
Keenam, surat (27) al-Naml ayat 88:
وترى الجبال تحسبها جامدة وهي تمر مر السحاب صنع الله الذي أتقن كل شيء إنه خبير بما تعملون
Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap diam di tempatnya, padahal dia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Pesan-pesan Mekah di atas berbicara mengenai berbagai hal seputar fenomena ruang angkasa, suatu kawasan yang menjadi lahan perhatian disiplin fisika astronomi. Terasa sekali bahwa level dari hal-hal yang dibicarakan tersebut berada di luar jangkauan nalar masyarakat Arab pada waktu itu sehingga dapat dikatakan ”melampaui zamannya”. Pesan Mekah bahwa ”Dia menutupkan (يكور) malam atas siang dan menutupkan siang atas malam” menggambarkan fenomena pergeseran malam dan siang di permukaan Bumi dengan pola melingkar. Malam menutup kawasan-kawasan yang tadinya mengalami siang dan sebaliknya. Di sini ada isyarat tentang bulatnya bentuk planet Bumi. Mengenai Bumi sendiri pesan Mekah memberi ilustrasi ”kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap diam di tempatnya, padahal dia berjalan sebagai jalannya awan”. Ketika gunung-gunung, bagian yang paling kokoh dari Bumi, digambarkan berjalan seperti awan, maka pesan tersebut mengisyaratkan tentang fenomena gerak revolusi Bumi (gerak mengitari Matahari).
Pesan Mekah bahwa ”tidak mungkin bagi Matahari mendapatkan Bulan” menyiratkan perbandingan kecepatan gerak antara Bulan dan Matahari di mana Bulan lebih cepat gerakannya. Di samping itu bahwa ”Bulan telah Kami tetapkan untuknya manzilah-manzilah” menunjukkan bahwa posisi-posisi Bulan itu sudah tertentu kadar atau ukurannya. Selanjutnya bahwa ”Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan” menunjukkan adanya rekayasa perhitungan di balik fenomena pergerakan kedua benda langit tersebut. Hal-hal itu kemudian dirajut dalam simpul kehendak cerdas Sang Pencipta:لتعلموا عدد السنين والحساب , yaitu agar manusia, makhluk yang dinobatkanNya sebagai khalifah di Bumi, mempunyai pengetahuan mengenai “bilangan tahun” dan menguasai ilmu tentang “perhitungan”.
Sesudah aspek-aspek mendasar ini diberikan oleh pesan Mekah, pesan Medinah kemudian melengkapinya dengan segi-segi lainnya yang lebih bersifat operasional. Ketika muncul pertanyaan tentang hilal, misalnya, maka ayat 189 surat (2) al-Baqarah turun memberikan jawaban: هي مواقيت للناس والحج (“Hilal-hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji …” )
Dalam periode Medinah juga terjadi tindakan inkonsistensi dalam penerapan kalender Bulan oleh orang-orang musyrik Mekah seperti yang digambarkan ‘Abdulla>h Yu>suf ‘Ali berikut ini:
The Pagan Arabs were in the habit of counting months by the appearence of the moon, but irregularly intercalating a month once in about three years to bring the calendar up into conformity with the seasons. They did not do it on any astronomical calculations or on any system, but just as it suited their own selfish purposes, thus often upsetting all the old-established conventions about the months of the peace and security from war and thus getting an unfair advantage for the clique in power in Mecca over their enemies. Unless exact mathematical calculations are applied and reduced to a well-established system, there is apt to be confusion, and this can well be taken advantage of by arbitrary cliques in power.
Fakta sejarah yang kurang lebih sama mengenai peristiwa Mekah tersebut dimuat pula dalam riwayat yang dituturkan oleh Ibnu Jari>r yang bersumber dari Abi> Ma>lik, yaitu bahwa orang-orang kafir menjadikan satu tahun tiga belas bulan sehingga bulan Muharram jatuh pada bulan Safar. Dengan begitu mereka dapat menghalalkan hal-hal yang diharamkan dalam bulan Muharram itu.
Ulah kaum musyrikin Mekah tersebut langsung direspons pesan Medinah dengan dua ayat al-Qur’an dalam surat (9) al-Tawbah ayat 36-37 sebagai berikut:
إن عدة الشهور عند الله اثنا عشر شهرا في كتاب الله يوم خلق السموات والأرض منها أربعة حرم ذلك الدين القيم فلا تظلموا فيهن أنفسكم وقاتلوا المشركين كافة كما يقاتلونكم كافة واعلموا أن الله مع المتقين – إنما النسيء زيادة في الكفر يضل به الذين كفروا يحلونه عاما ويحرمونه عاماليواطئوا عدة ما حرم الله فيحلوا ما حرم الله زين لهم سوء أعمالهم والله لا يهدي القوم الكافرين
Sungguh bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (keketapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran. Orang-orang kafir disesatkan dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang Allah haramkan maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Setan) menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
LIMA RAMBU SAHR’I
Rangkaian pesan teologis yang terangkum dalam ayat-ayat al-Qur’an yang turun bertahap semenjak periode Mekah hingga periode Medinah itu mengintrodusir lima rambu shar’i yang secara keseluruhan membentuk bangunan doktrin Islam tentang sistem kalender.
o Pertama: Sistem Acuan Bulan (Qamariyah, Lunar)
Rambu ini dimuat surat (10) Yu>nus ayat 5: “Dialah yang menjadikan Matahari bersinar dan Bulan bercahaya dan Dia menetapkan manzilah-manzilah Bulan supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan”. Dikaitkannya penetapan manzilah-manzilah Bulan dengan pengetahuan manusia tentang bilangan tahun menunjukkan bahwa manzilah Bulan merupakan acuan penyusunan kalender Islam.
Tentang sinar Matahari dan Bulan, ayat tersebut menggunakan kata ضياء untuk Matahari dan نور untuk Bulan. Menurut suatu tafsiran yang disitir oleh al-Zuh}ayli>, kata ضياء digunakan untuk Matahari karena ia mempunyai cahaya sendiri, dan kata نور digunakan untuk Bulan karena ia memperoleh cahaya dari yang lain. Hasil observasi ruang angkasa membenarkan bahwa Bulan adalah benda langit yang gelap. Ia baru tampak bercahaya manakala bagian dari permukaannya yang menghadap ke Bumi tersinari Matahari. Berarti نور Bulan itu berasal—atau hanyalah pantulan—dari ضياء Matahari.
Sinar Matahari yang dipantulkan Bulan ke Bumi itu menjadi faktor yang membuat perubahan manzilah-manzilah Bulan bisa diikuti dari Bumi. Manzilah-manzilah Bulan ialah: المسافات التى يقطعها القمرفى يوم وليلة (jarak-jarak yang ditempuh Bulan dalam waktu sehari semalam). Perubahan manzilah Bulan adalah perubahan posisinya terhadap Bumi dan Matahari. Akibat perubahan posisi itu, sinar Matahari yang selalu mengenai seperdua permukaan Bulan terus-menerus bergeser dari bagian permukaannya yang menghadap ke Bumi ke bagian lain yang membelakanginya, dan sebaliknya. Akibatnya, bentuk penampakan Bulan jadi berubah-ubah. Awalnya tampak laksana sabit tipis, kemudian kian membesar sampai purnama, lalu berangsur mengecil sampai tidak kelihatan sama sekali. Al-Qur’an melukiskan kaitan antara perubahan manzilah Bulan itu dengan perubahan bentuk penampakannya dalam surat (36) Ya>si>n ayat 39 (yang artinya): "Dan Kami tetapkan bagi Bulan manzilah-manzilah, sehingga kembalilah ia sebagai bentuk tandan yang tua".
Bulan yang tampak laksana tandan tua itu lazim disebut hilal. Ketika surat (2) al-Baqarah ayat 189, yang turun pada periode Medinah, menyatakan bahwa “hilal-hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji”, maka tiada lain ini adalah bentuk pernyataan yang lebih tegas dari al-Qur’an tentang doktrin kalender Bulannya.
Dengan menggunakan sistem acuan Bulan, umur tanggal dan berlalunya bulan (shahr, month) bisa diketahui dengan mudah hanya dengan penginderaan yang sederhana terhadap posisi dan bentuk penampakan Bulan yang selalu berubah setiap hari secara signifikan. Hal itu tidak mungkin dilakukan pada kalender Matahari karena setiap hari Matahari hadir dengan posisi dan bentuk penampakan yang relatif sama.
o Kedua: Siklus Natural
Siklus atau penggalan masa berulang seperti “hari” (yawm, day), “bulan” (shahr, month), dan “tahun” (sanah, year), batas-batasnya dalam kalender Islam dikaitkan dengan fenomena alam (natur). Surat (17) al-Isra>’ ayat 12 menyatakan: “Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, … supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan …” Ini mengisyaratkan bahwa malam dan siang merupakan periode atau penggalan masa yang diacu dalam perhitungan kalender, yaitu sebagai periode “hari” atau “tanggal”. Dengan menyebut malam lebih dahulu daripada siang, diisyaratkan pula bahwa siklus hari bermula dari saat datangnya malam dan berakhir pada saat perginya siang. Malam dan siang—yang ditandai dengan gelap dan terang—adalah fenomena yang terkait langsung dengan sinar Matahari. Dengan demikian siklus hari di sini, batasnya ditentukan berdasarkan peristiwa terbenam Matahari. Jadi bersifat natural, bukan artifisial seperti batas siklus hari dalam kalender Kristen yang dikaitkan dengan perjalanan jarum jam.
Tentang siklus “bulan”, surat (2) al-Baqarah ayat 189 yang menegaskan bahwa “hilal-hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji …” membakukannya sebagai “periode waktu yang membentang di antara dua penampakan hilal berurutan.” Penampakan hilal itu sendiri terjadi pada sekitar peristiwa ijtimak atau konjungsi, yakni sebelum dan sesudahnya. Sebelum ijtimak, hilal tampak pada dinihari menjelang Matahari terbit, sedangkan sesudah ijtimak, hilal tampak pada senjahari setelah Matahari terbenam. Karena “bulan” itu terdiri dari sejumlah hari, sedangkan siklus hari dimulai pada saat terbenam Matahari, maka moment pergantian siklus bulan pun adalah pada saat terbenam Matahari pula. Jadi, penampakan hilal yang dimaksudkan adalah penampakan hilal muda yang terjadi setelah Matahari terbenam paska ijtimak. Jadi bila pada suatu senja sesudah peristiwa ijtimak Bulan sudah berkedudukan di sebelah timur Matahari, dan pada saat Matahari terbenam Bulan berada di atas ufuk dalam keadaan bagian dari permukaannya yang tersinari Matahari sudah ada yang menghadap ke Bumi dalam kadar yang cukup sehingga Bulan tampak sebagai hilal, maka sejak moment terbenam Matahari itulah siklus bulan lama berakhir dan siklus bulan baru dimulai.
Mengenai siklus “tahun” (sanah, year), penegasan surat (9) al-Tawbah ayat 36, “sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan …”, membakukannya sebagai “periode waktu yang terdiri dari dua belas bulan.” Al-Qur’an sangat tegas dengan pembakuan ini sehingga penyisipan bulan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik Mekah—seperti disinggung di atas— dikecam keras dalam surat (9) al-Tawbah ayat 37 (yang artinya): “Sesungguhnya mengundur-undur bulan haram itu hanyalah menambah kekafiran. Orang-orang kafir disesatkan dengan pengundur-unduran itu. Mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain. ...” Dalam kalender Bulan yang digariskan al-Qur’an tidak dikenal bulan ketigabelas seperti dalam kalender Bulan-Mataharinya komunitas Hindu Bali, Cina, dan Yahudi.
o Ketiga: Lokalitas Siklus
Inti dari prinsip ini ialah berlakunya batas siklus-siklus waktu dalam kalender Islam menurut keadaan obyektif setempat, yakni keadaan yang senyatanya di masing-masing kawasan. Ini adalah konsekuensi yang niscaya dari prinsip Siklus Natural tadi, karena fenomena-fenomena alam, dengan mana siklus-siklus waktu tersebut dipertalikan, memang terkait secara absolut dengan ruang-ruang setempat. Tegasnya, perjalanan waktu di Bumi itu bersifat lokal, bukan global. Waktu mengalir di permukaan Bumi dari timur ke barat selaras dengan aliran malam dan siang. Kawasan di timur mengalami terbenam dan terbit Matahari lebih dahulu daripada kawasan di barat. Semakin jauh jarak barat-timur antar dua kawasan, semakin panjang beda waktunya. Karena itu orang yang melakukan perjalanan jauh, melepaskan diri dari kawasan tempat tinggalnya, akan menghadapi kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan beda waktu.
Dengan demikian, alur pergantian siklus-siklus waktu dalam kalender Islam selaras dengan logika sistem perjalanan waktu di permukaan Bumi yang bersifat setempat-setempat itu. Kalau pada saat ghuru>b Matahari di suatu kawasan, hilal belum muncul, maka tidaklah logis kalau kawasan itu “dipaksa” berganti siklus bulan berdasarkan kemunculan hilal di kawasan lain. Sama persis tidak logisnya dengan, misalnya, menentukan pukul 5 sore sebagai awal waktu salat Zuhur untuk Mataram dengan alasan mengacu pada peristiwa tergelincir Matahari di kawasan lain yang jauh lebih ke Barat, atau pukul 8 pagi dengan alasan mengacu pada peristiwa tergelincir Matahari di kawasan lain yang jauh lebih ke Timur.
Terkait dengan ihwal kemunculan hilal, penting dikemukakan bahwa konfigurasi pergerakan Bumi, Bulan, dan Matahari yang berubah-ubah, menyebabkan kawasan-kawasan di Bumi yang pertama kali mengalami kemunculan hilal juga berubah-ubah. Dengan demikian, kalender Bulan menjadi tidak mengenal garis batas tanggal yang tetap, melainkan bergerak dinamik di sepanjang permukaan Bumi. “Bentuk dan arah garis batas tersebut berubah dari bulan ke bulan dalam satu tahun, dan berubah pula dengan perubahan tahunnya.” Setiap kawasan di muka Bumi, dengan demikian, pada dasarnya punya peluang yang sama untuk pada suatu waktu berganti siklus bulan berdasarkan kemunculan hilal dan pada waktu yang lain berdasarkan istikma>l.
Semenjak zaman Nabi SAW prinsip Lokalitas Siklus ini telah diimplementasikan sedemikian rupa kendati kemajuan pengetahuan mengenai seluk-beluk pergerakan benda-benda langit pada waktu itu masih sangat tidak memadai. Pada bagian awal dari periode Medinah, pergantian siklus bulan ditetapkan sendiri oleh Nabi SAW dengan acuan kemunculan hilal di Medinah dan sekitarnya. Penetapan tersebut cukup mengcover kawasan tinggal kaum muslimin yang sebarannya masih sebatas kawasan Medinah dan sekitarnya. Tetapi sesudah sebaran kawasan tinggal mereka mulai meluas, misalnya dengan jatuhnya negeri Mekah ke bawah kontrol politik kaum muslimin (fath} Makkah), maka penetapan pergantian siklus bulan berdasarkan kemunculan hilal di Medinah itu dipandang tidak lagi memadai. Nabi SAW menyerahkan penetapan pergantian siklus bulan untuk negeri Mekah kepada kaum muslimin di sana. Untuk itu beliau hanya memberi arahan tentang prosedur penetapannya. H{usayn ibn al-H{arth al-Jadali> meriwayatkan bahwa gubernur (ami>r) Mekah, al-H{arth ibn H{a>t}ib, menyatakan dalam khutbahnya:
عهد إلينا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن ننسك للرؤية فإن لم نره وشهد شاهدا عدل نسكنا بشهادتهما
Rasulullah SAW mengikat komitmen kami untuk bermanasik berdasarkan rukyat hilal. Jika kami tidak merukyatnya, dan ada dua orang adil yang bersaksi telah merukyatnya, maka kami disuruh bermanasik berdasarkan kesaksian mereka.
Dengan makin meluasnya sebaran kawasan tinggal kaum muslimin sepeninggal Nabi SAW, terutama sesudah terjadinya gelombang ekspansi wilayah pada masa Umar ibn al-Khat}t}a>b (khalifah kedua dari Khulafaur Rasyiddin) dan kemudian pada masa Mu’a>wiyah ibn Abi> Sufya>n (khalifah pertama dari dinasti Amawiyah), penerapan prinsip Lokalitas Siklus ini semakin menemukan relevansinya. Pada masa Mu’a>wiyah ibn Abi> Sufya>n pergantian siklus bulan Ramadan di Sha>m tidak dipedomani oleh penduduk Medinah. Kurayb—yang waktu itu diutus oleh Umm al-Fad}l binti al-H{a>rith untuk menemui Mu’a>wiyah di Sha>m—menuturkan peristiwa itu sebagai berikut:
استهل علي رمضان وأنا بالشام فرأيت الهلال ليلة الجمعة ثم قدمت المدينة فى آخرالشهر فسألنى عبدالله بن عباس رضي الله عنهما ثم ذكر الهلال فقال متى رأيتم الهلال فقلت رأيناه ليلة الجمعة فقال أنت رأيته فقلت نعم ورآه الناس وصاموا وصام معاوية فقال لكنا رأيناه ليلة السبت فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه أولا تكتفى برؤية معاوية وصيامه فقال لا هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ...
Tampak kepadaku hilal Ramadan, sedangkan aku berada di Sha>m. Aku melihat Hilal itu pada malam Jum’at. Kemudian aku tiba kembali di Madi>nah pada akhir bulan. ‘Abdullah ibn ‘Abba>s R.A. menanyaiku, lalu ia menyinggung soal hilal dan bertanya: “Kapan kalian melihat hilal?” Kujawab: “Kami melihatnya pada malam Jum’at.” Ia bertanya lagi: “Engkau sendiri melihatnya?” Kujawab: “Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Mereka berpuasa dan Mu’a>wiyah pun berpuasa.” Ia berkata: “Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu. Karena itu kami akan terus berpuasa sampai genap 30 hari atau kami melihatnya.” Lalu aku bertanya: “Apakah engkau tidak mencukupkan saja dengan rukyat Mu’awiyah dan puasanya?” Ia menjawab: “Tidak. Begitulah Rasulullah SAW menyuruh kita… ”.
Dalam perkembangan berikutnya memang muncul pandangan yang mengumandangkan universalitas siklus, seperti yang tercermin dalam pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad―yang untuk konteks sekarang sudah amat janggal―bahwa الزوال فى الدنيا واحد (peristiwa tergelincirnya Matahari itu di dunia adalah satu). Juga pendapatnya bahwa Bumi merupakan hamparan yang luas dan datar, sehingga bila sebagian kawasan sudah merukyat hilal sedangkan kawasan yang lainnya tidak, maka harus disimpulkan bahwa hal itu terjadi karena adanya faktor penghalang, bukan karena hilalnya belum berada pada posisi yang dapat dirukyat (dari kawasan-kawasan yang lain itu).
Tentu saja, pandangan Imam Ahmad ini tidak punya tempat berpijak yang kokoh dalam sistem kalender Islam dengan prinsip “lokalitas siklus” nya. Begitu pula teori Ittih}a>d al-Mat}a
Selanjutnya surat (36) Ya>si>n ayat 40 menegaskan, “tidak mungkin bagi Matahari mendapatkan Bulan”. Oleh sebagian mufassiri>n lama, ayat ini ditafsirkan dengan suatu ilustrasi tentang Matahari sebagai penguasa siang dan Bulan sebagai penguasa malam yang masing-masing diikat oleh suatu batas yang tidak bisa dilampaui ataupun dikurangi. Ketika datang era kekuasaan Matahari, hilanglah era kekuasaan Bulan, dan begitu pula sebaliknya. Meskipun ilustrasi ini cukup lugas menggambarkan prinsip “keajegan acuan”, namun ia tidak mencerminkan tafsiran yang logis terhadap ayat ini yang—sebenarnya—melukiskan keajegan Matahari dan Bulan dalam aspek kecepatan gerakannya. Oleh karena menyangkut perkara empirik, maka yang lebih memuaskan tentunya adalah penjelasan yang didasarkan atas hasil “pemeriksaan dengan intiz}a>r” yang diperintahkan Allah.
Dari hasil penyelidikan ilmu astronomi diketahui bahwa Bulan bergerak ke timur mengelilingi Bumi dalam waktu 27,321661 hari (27 hari 7 jam 43 menit 11,51 detik) untuk satu kali putaran. Sama dengan Bulan, Matahari juga bergerak ke timur pada Ekliptika dalam waktu 365,242199 hari (365 hari 5 jam 45 menit 46 detik) untuk satu putaran. Akibat dari pergerakan ini Bulan setiap hari bergeser 13 10' 34,89" ke timur, sedangkan Matahari hanya 0 59' 8,33". Dengan demikian, secara empirik terbukti bahwa Matahari memang tidak mungkin mendapatkan Bulan karena setiap harinya Bulan bergerak ke timur rata-rata 12 11' 26,56" lebih cepat daripada Matahari. Keajegan ini terjadi karena alam dikendalikan oleh sunnatulla>h yang mengatur bagaimana ia harus berkelakuan dan ia tidak dapat berbuat lain.
Konsekuensi logis dari rambu “keajegan acuan” di atas adalah terbukanya peluang untuk dilakukannya penyusunan kalender Bulan dengan pendekatan hisab astronomi, dan ini selaras dengan ira>dah ila>hiyyah atau kehendak teologis yang dicerminkan oleh pesan Mekah: “supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan” dalam surat (10) Yu>nus ayat 5 dan surat (17) al-Isra>’ ayat 12. Jika dirangkum dengan kalimat yang lebih pendek, rangkaian ayat-ayat Mekah di atas menekankan pesan teologis begini: Allah menjadikan Matahari bersinar dan Bulan bercahaya sehingga dari Bumi kamu bisa mengikuti gerak dan perubahan posisi-posisinya yang berjalan di atas acuan perhitungan yang eksak dan terukur, adalah supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan menguasai ilmu perhitungan (hisab).
PARADIGMA EVOLUSI SYARIAH
Terasa amat gamblang dari gambaran di atas bahwa ada spirit maju berjangka jauh ke depan yang dihembuskan oleh pesan-pesan Mekah, yakni spirit yang berhulu pada dorongan untuk melakukan observasi (pengamatan) dan bermuara pada penguasaan ilmu pengetahuan mengenai perhitungan (hisab) astronomi. Dari observasi terhadap posisi benda langit akan dihasilkan pengetahuan tentang kalender deskriptif (sebut saja demikian), yaitu kalender yang pergantian siklusnya baru diketahui sesudah fenomena alam yang menjadi acuan batasnya menampak nyata. Namun dalam jangka yang panjang, manusia dengan kemampuan akalnya bisa “naik” ke pundak akumulasi hasil observasi tersebut dan membuat proyeksi ke depan untuk menyusun, sebut saja, kalender preskriptif, yang batas-batas siklusnya sudah bisa diketahui sebelum fenomena alam yang menjadi acuannya sendiri nyata terjadi. Kalender preskriptif inilah yang dimaksud dengan kalender yang disusun dengan pendekatan hisab astronomi.
Memang, dengan meletakkan posisi Bulan sebagai sistem acuan, kalender Islam masuk dalam kategori kalender astronomik. Ia bukan hanya dekat dengan, melainkan berada dalam payung, disiplin ilmu fisika astronomi. Fisika sendiri merupakan bangunan ilmu yang tegak di atas data-data pengamatan yang dianalisis secara kritis dan disimpulkan secara rasional. Dalam fisika tidak ada tempat bagi spekulasi karena semua pernyataan harus didukung oleh pembuktian eksperimental atau observasional, atau secara tidak langsung dapat ditunjukkan kebenarannya secara matematis. Dari mulai observasi sampai dengan dihasilkannya ilmu hisab astronomi, ada serangkaian kegiatan yang merupakan unsur-unsur penting dalam fisika, yaitu observasi itu sendiri, kuantifikasi, analisis, dan kesimpulan. Observasi dilakukan terhadap bagian alam yang ingin diketahui sifat dan kelakuannya. Unsur ini tidak dapat digantikan dengan pengkhayalan kecuali bila didukung oleh hasil perhitungan matematik yang dijabarkan dari kelakuan-kelakuan alam lainnya yang telah diketahui. Kuantifikasi ialah pengukuran secara kuantitatif, bukan kualitatif. Besaran yang dapat diukur dinamakan besaran fisis. Kalau dalam suatu proses alamiah terdapat banyak besaran fisis yang tampil berhubungan satu sama lain, maka hubungan antar besaran-besaran fisis itu dapat dirumuskan dalam bentuk matematis. Selanjutnya data yang terkumpul dari berbagai pengukuran atas besaran-besaran fisis yang terlibat itu dianalisis dengan pemikiran yang kritis, lalu dievaluasi hasilnya dengan penalaran yang sehat untuk mencapai kesimpulan yang rasional.
Sementara itu Nabi SAW, sebagai pemangku al-Qur’an, pasti menyadari benar atas adanya ira>dah ila>hiyyah pada pesan Mekah yang mencitakan penyusunan kalender Islam dengan pendekatan hisab astronomi. Namun kondisi aktual masyarakat pada zaman itu sungguh “jauh panggang dari api” untuk dapat merealisasikannya. Beliau sendiri yang mengungkapkan keadaan mereka itu dengan sabdanya yang lugas sebagai berikut:
إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب الشهر هكذا وهكذا وهكذا وعقد الإبهام في الثالثة والشهر هكذا وهكذا وهكذا يعني تمام ثلاثين
”Sungguh kita adalah umat yang ummi>. Kita tidak bisa menulis dan tidak bisa menghitung. Satu bulan itu adalah sekian, sekian, dan sekian,” beliau menekuk ibu jari pada yang ketiga, ”dan satu bulan itu sekian, sekian, dan sekian”, yakni sempurna tiga puluh hari.
Realitas tidak klopnya pesan Mekah yang ideal itu dengan kondisi umat pada abad ketujuh meniscayakan adanya jalan bertahap, yaitu jalan yang oleh Mahmud Muhammad T{aha (penulis asal Sudan) disebut Evolusi Syariah. Mahmud melansir suatu cara pandang yang melihat ”kesempurnaan syariat Islam” tidak pada kebakuannya (dianggap sudah berakhir dengan wafatnya Nabi), melainkan pada kemampuannya untuk terus berkembang maju sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan manusia. Kemampuan tersebut, menurut paradigma ini, ada dan inheren (melekat sebagai pembawaan) dalam syariat ini yang terkait dengan dua model pesan yang diberikan dalam dua tahap kedatangannya, yaitu tahap Mekah dan tahap Medinah. Pesan Islam yang tertinggi, ideal, fundamental, dan abadi diberikan oleh pesan Mekah. Kemudian, oleh karena umumnya kondisi masyarakat pada abad ketujuh itu belum siap melaksanakannya, maka tahap Medinah kemudian memberikan pesan yang lebih realistik. Aspek-aspek dari pesan Mekah yang belum siap dilaksanakan dalam konteks sejarah abad ketujuh tadi tidak akan pernah hilang sebagai sebuah sumber hukum. Ia hanya ditangguhkan pelaksanaannya sampai tibanya kondisi yang tepat di masa depan. Substansi Evolusi Syariah, dengan demikian, adalah perpindahan (intiqa>l) dari teks wahyu yang pantas untuk mengatur abad ketujuh dan telah diterapkan, pada teks wahyu lainnya yang terlalu maju untuk ukuran kondisi pada waktu itu.
Untuk kasus penyusunan kalender Islam, kondisi ideal yang dicitakan terwujudnya kelak di belakang hari itu prosesnya sudah harus dimulai dari sekarang. Untuk itu, sesuai konteks abad ketujuh yang keadaannya masih ”jauh panggang dari api”, Nabi SAW, setelah pada periode Medinah kalender Bulan mulai efektif digunakan sebagai acuan waktu dari beberapa ketentuan syariat, mengeluarkan instruksi agar umat Islam mengacu pada batas siklus bulan yang diketahui melalui observasi langsung atau ru’yah bi al-fi’l karena memang tidak ada yang bisa dilakukan lebih dari itu. Selaras dengan prinsip dalam fisika, Nabi SAW pun menutup pintu bagi masuknya unsur spekulasi. Kalau rukyat gagal, beliau instruksikan umur bulan yang sedang berjalan digenapkan 30 hari. Instruksi beliau, antara lain, seperti dalam hadis berikut ini:
جعل الله الأهلة مواقيت للناس فصوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فعدوا ثلاثين يوما
Allah telah menjadikan hilal-hilal itu sebagai tanda-tanda waktu bagi manusia, maka berpuasalah kamu karena melihatnya dan berbukalah kamu karena melihatnya. Apabila kamu dihalangi mendung, maka hitunglah tiga puluh hari!
Meskipun observasi yang dilakukan pada waktu itu masih seadanya dan dilakukan bilamana perlu (sporadis), namun dalam konteks spirit Mekah, apa yang sudah beliau canangkan itu harus dilihat sebagai titik awal (starting point) dari track yang benar menuju terselenggaranya rukyat astronomik yang lebih cermat dan sistematik di masa depan. Dengan rukyat astronomik yang cermat dan sistematik, ilmu hisab astronomi yang dicitakan pesan Mekah untuk dikuasai manusia akan dapat terwujud.
Dari perspektif ini rukyat adalah “ibu” yang dari rahimnya lahir “anak” bernama hisab astronomi. Tentu saja yang dimaksudkan bukanlah rukyat yang diselenggarakan seadanya, sporadis, dan sekedar memenuhi kebutuhan mengindra kemunculan hilal saja, melainkan rukyat astronomik yang dilakukan dengan sistematis, terukur, tercatat, dan dimaksudkan untuk menggali data mengenai posisi dan pola gerakan benda-benda langit. Rukyat astronomik inilah yang akan terus menuntun hisab astronomi dalam meniti tahap-tahap perkembangan akurasinya, mulai dari akurasi rendah (taqri>bi>), sedang (tah}qi>qi>), sampai tinggi (tadqi>qi>).
Sebagai konsekuensi logis dari perbincangan tadi, maka dua jenis hukum Allah yang bertemali dengan kalender Islam—yakni hukum di>nulla>h dan hukum sunnatulla>h—masing-masing harus diletakkan dan diperankan sesuai dengan proporsinya. Fikih, sebagai ilmu yang mengkaji hukum-hukum Allah yang diwahyukan (hukum syariah), posisinya berada di pihak hukum di>nulla>h. Sedangkan hisab astronomi, sebagai ilmu yang mengkaji hukum-hukum Allah yang dihampar dalam bentangan semesta (hukum alam), posisinya berada di pihak hukum sunnatulla>h. Posisi yang proporsional untuk kedua disiplin ilmu ini adalah bila keduanya ”bermain” dalam wilayah kerja masing-masing.
Sejauh yang bisa dipahami dari uraian yang sudah dikemukakan, al-Qur’an dan Hadis—sebagai sumber fikih yang otoritatif—telah menggariskan, paling tidak, lima rambu di>nulla>h mengenai kalender Islam. Pertama, sistem kalender Islam mengacu pada posisi Bulan; Kedua, pergantian siklus hari/tanggalnya mengacu pada moment terbenam Matahari; Ketiga, pergantian siklus bulannya mengacu pada kemunculan hilal; Keempat, bahwa pergantian siklus tahunnya mengacu pada paripurnanya masa 12 bulan; Kelima, pengetahuan tentang batas-batas siklusnya digali dengan pendekatan yang tidak spekulatif, dari fisis observasional atau ru’yah bi alfi’l hingga fisis matematis atau hisab astronomi.
Rambu-rambu di>nulla>h mengenai batas-batas siklus dalam kalender Islam tersebut secara shar’i mengikat untuk dipedomani sehingga tidak ada lagi ruang legitimasi bagi argumen apapun untuk berpaling pada yang lain. Misalnya, untuk batas siklus bulan, dari “kemunculan hilal” ke “ijtima>’ qabl al-ghuru>b”. Juga tidak boleh ada penambahan atau pengurangan atas siklus tahun yang sudah ditetapkan kadarnya dua belas bulan. Adapun cara mengetahui batas-batas siklus tersebut, inilah segi yang oleh rambu kelima di atas dihubungkan dengan disiplin fisika astronomi. Untuk jangka waktu yang jauh ke depan, al-Qur’an menggariskan cita pendekatan fisis matematis, sedangkan untuk kebutuhan aktual yang selaras dengan kondisi abad ketujuh, hadis memulainya dengan pendekatan fisis observasional.
Sebagai langkah awal, harus diakui bahwa pendekatan fisis observasional (rukyat) yang dilakukan secara sporadis dan seadanya menyimpan sejumlah kelemahan. Hilal yang sudah muncul, misalnya, tidak terdeteksi karena terhalang mendung atau lainnya, atau karena fokus pandangan perukyat tidak tepat, atau karena ada problem pada penglihatan perukyat. Sebaliknya, hilal yang belum muncul dikira sudah muncul karena kekeliruan perukyat dalam menyimpulkan obyek yang dilihat. Bisa pula perukyat sengaja merekayasa: mengaku melihat hilal padahal tidak, atau sebaliknya. Nabi SAW telah berupaya meminimalisasi segi-segi kelemahan rukyat ini dengan melacak kecermatan empiriknya melalui dua jalur. Pertama, jalur kontrol “umur bulan” (obyektif), yaitu bahwa rukyat harus terjadi pada penghujung hari ke-29. Kedua, jalur kontrol “kejujuran perukyat” (subyektif), yaitu dengan menjadikan iman kepada Allah dan Rasul sebagai indikatornya.
Dengan dua jalur kontrol tersebut peluang terjadinya kekeliruan penentuan awal bulan Islam tentu masih cukup terbuka, namun spirit akurasi empirik yang diwariskan Nabi SAW mesti dilihat sebagai langkah awal yang harus dilanjutkan oleh kaum muslimin generasi berikutnya menuju dicapainya cita penyusunan kalender Islam yang cermat dan selaras dengan sunnatulla>h. Dalam perspektif inilah semua fakta tentang praktik penentuan pergantian siklus bulan Islam dari zaman Nabi SAW seharusnya “dibaca” dan “didudukkan” sehingga praktik tersebut tidak dilihat sebagai cita tentang penyusunan kalender Islam yang sudah ideal dan final, tetapi baru langkah awal yang harus terus dipertajam akurasinya.
Akurasi, dengan demikian, menjadi kata kunci di mana hukum di>nulla>h (baca: fikih) dalam hal ini harus mengapresiasi kemajuan yang dicapai oleh ilmu fisika astronomi, yaitu apresiasi yang mengejawantah dalam perkembangan pandangan yang bergerak dalam trend evolusi dari pesan Medinah menuju pesan Mekah. Hamparan panjang tradisi fikih sendiri mencatat bahwa perkembangan pandangan dengan trend seperti itu ada dan terjadi. Kalau generasi Sahabat masih sepenuhnya mencerminkan pesan Madinah di mana tidak ada pandangan yang muncul kecuali bahwa penyusunan kalender Islam harus didasarkan pada pendekatan fisis observasional (rukyat), maka pada generasi Tabi’in mulai muncul bibit pandangan yang mulai mencerminkan pesan Mekah. Adalah Mut}arrif bin al-Shakhi>r, fukaha dari kalangan Tabi’in, yang pertama kali memberi tempat pada pendekatan hisab astronomi kalau hilal tertutup awan. Selanjutnya bibit itu kian dimatangkan oleh sejumlah fukaha dari mazhab Syafi’i, seperti Ibnu H{ajar al-H{aytami> yang mengharuskan dianulirnya hasil rukyat yang tidak selaras dengan ”natijah yang disepakati” para ilmuwan hisab astronomi. Juga al-Subki>, al-Abba>di>, dan al-Qalyu>bi >yang berpandangan bahwa kesaksian rukyat hilal oleh satu atau dua orang harus ditolak jika menurut ilmuwan hisab astronomi hal itu tidak mungkin.
PENUTUP
Pembacaan dengan paradigma Evolusi Syariah terhadap pesan-pesan teologis Mekah dan Medinah seputar kalender Islam ini akhirnya bermuara pada positioning bahwa kalender Islam adalah kalender yang berdimensi teologis dan budaya. Ia, di satu sisi, adalah kalender teologis (taqwi>m ila>hi>) karena sistemnya dilandasi oleh dalil-dalil shar’. Di sisi lain, ia adalah kalender budaya (taqwi>m wad}’i>) karena penyusunannya mensyaratkan pengetahuan tentang kelakuan (peredaran) benda-benda langit yang menjadi acuannya.
Sebagai kalender teologis, implementasi penyusunannya harus berada dalam—dan tidak keluar dari—bingkai kepatuhan terhadap rambu-rambu yang digariskan oleh dalil-dalil shar’, yakni: 1) Sistemnya mengacu pada posisi Bulan (qamariyah, lunar); 2) Pergantian siklus hari/tanggalnya mengacu pada peristiwa terbenamnya Matahari; 3) Pergantian siklus bulannya mengacu pada peristiwa kemunculan hilal; 4) Pergantian siklus tahunnya mengacu pada paripurnanya masa 12 bulan; 5) Batas-batas siklusnya diketahui dengan pendekatan yang tidak spekulatif, dari fisis observasional atau rukyat (praktik Medinah) sampai fisis matematis atau hisab astronomi (visi Mekah).
Sebagai kalender budaya, implementasi penyusunannya tentu harus berjalan seiring dengan tingkat kemajuan peradaban manusia, dalam hal ini adalah pengetahuan tentang hukum sunnatulla>h yang mengatur kelakuan benda-benda langit yang menjadi acuannya (fisika astronomi). Ketika tingkat peradaban manusia masih bersahaja (ummi>) seperti pada awal kedatangan Islam di abad ketujuh, tidak ada jalan yang bisa diperbuat untuk menghindari spekulasi dalam penyusunannya kecuali merukyat (mengobservasi) langsung peristiwa alam yang menjadi acuannya dan memberlakukan prinsip ikhtiya>t}i> (hati-hati) manakala upaya rukyat tersebut gagal, yaitu istikma>l (menggenapkan 30 hari umur bulan lama). Setelah tingkat peradaban manusia di bidang fisika astronomi sudah maju, maka penyusunannya cukup dilakukan dengan pendekatan fisis matematis atau hisab astronomi. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar