Sabtu, 16 Januari 2010

COMPENSATION & BENEFIT BAGI AMIL

Oleh: Abd. Salam Nawawi (BAZ Jatim)

Yang dimaksud dengan COMPENSATION & BENEFIT pada judul yang diamanahkan kepada saya untuk membahasnya ini agaknya adalah GAJI & TUNJANGAN. Karena itu, supaya lebih dekat dengan rasa bahasa ibu sendiri, saya dalam tulisan ini memilih menggunakan sebutan Gaji dan Tunjangan.

1. Gaji dan Tunjangan: Pilihan Model

Pada dasarnya Gaji dan Tunjangan adalah kembalian-kembalian finansial yang diterima oleh para pegawai sebagai ganti (kompensasi, ‘iwadh) atas kontribusi mereka terhadap organisasi (lembaga).

Dalam praktik, setidaknya dikenal adanya empat model pemberian gaji atau penggajian. Pertama, model penggajian berbasis “golongan ruang kepangkatan, masa kerja, dan status kepegawaian” seperti yang diterapkan untuk PNS di Indonesia saat ini.

PNS menerima gaji yang terdiri dari tiga komponen: 1) Gaji Pokok, yang nilainya ditentukan oleh golongan ruang kepangkatan, masa kerja, dan status kepegawaian; 2) Tunjangan, yang meliputi (a) tunjangan keluarga yang terdiri dari tunjangan istri/suami dan tunjangan anak, (b) tunjangan jabatan fungsional atau jabatan struktural (untuk guru dan dosen ada tunjangan profesi), dan (c) tunjangan beras; 3) Pembulatan gaji ke kelipatan seratus. Perbedaan besaran gaji antara PNS golongan terendah (IA) dengan PNS golongan tertinggi (IVE) rasionya hanya 1 : 3.

Model penggajian yang dinilai menjadi biang dari tidak terciptanya budaya kompetitif pada PNS ini rencananya akan diganti dengan model baru yang secara terbatas telah diterapkan di lingkungan Departemen Keuangan, yakni model penggajian yang berbasis pada ”beban tanggungjawab, risiko, dan tingkat kesulitan kerja”.

Bila diterapkan nantinya, model yang kedua ini akan memberi penghargaan yang lebih besar kepada pegawai yang mempunyai tugas dan tanggungjawab yang lebih berat. Artinya, meskipun ruang kepangkatannya sama, besaran gaji yang diterima boleh jadi tidak sama. Untuk PNS yang ditempatkan di daerah terpencil akan diberikan tunjangan kemahalan. Rasio perbedaan gaji terendah dan tertinggi dibuat lebih lebar, yaitu mencapai 1 : 12. Penentuan besaran-besaran gaji tersebut nantinya akan dilakukan dengan mempertimbangkan gaji yang berlaku di pasar (swasta).

Ketiga, model penggajian yang berbasis pada ”prestasi kerja”. Besar-kecilnya imbalan yang diterima pegawai, dalam model ini, berselaras dengan tingkat-tingkat prestasi yang dapat ditunjukkannya. Kepada pegawai yang menunjukkan prestasi kerja yang baik diberikan bonus atau imbalan yang sesuai.

Model ini banyak diterapkan oleh organisasi atau perusahaan di Jepang. Bahkan setiap tahun, kepada para pegawai golongan bawah yang berprestasi, organisasi di Jepang memberikan anugerah inovasi. Tradisi pemberian anugerah ini membuat para pegawai termotivasi untuk mengemukakan lebih banyak ide baru untuk kemajuan organisasi atau perusahaan, dan selanjutnya berhasil menumbuhkan kesetiaan untuk secara bersama-sama memajukan perusahaan.

Dalam model ketiga ini pegawai diposisikan sebagai aset berharga dan tenaga penggerak utama yang menentukan berhasil tidaknya organisasi. Para pegawai juga dianggap sebagai bagian dari keluarga yang mesti diberi layanan yang sesuai dengan hasil usaha, tenaga, dan keringat mereka.

Keempat, model penggajian yang berbasis pada ”pengutamaan pekerja golongan atas”. Berbeda dengan di Jepang, model yang banyak diterapkan perusahaan di negara-negara Barat ini lebih banyak memperhatikan pekerja golongan atas. Hal ini seringkali menyebabkan para pekerja tidak puas sehingga terjadi berbagai tindakan yang merugikan perusahaan, seperti mogok kerja, bekerja dengan lambat, protes, dan sebagainya, yang berdampak pada berkurangnya pendapatan perusahaan.

2. Penentuan Gaji dan Tunjangan Amil: Perspektif Syariah

Di dalam al-Qur’an, surat (9) al-Taubah: 60, Amil disebut dan diletakkan sebagai salah satu dari delapan golongan yang berhak menerima (mustahik) zakat. Sesuai dengan sebutannya, eksisnya hak Amil untuk menerima bagian dari harta zakat ditentukan oleh suatu variabel yang bernama ”bekerja”. Karena itu tanpa bekerja di sektor pengelolaan zakat, tidaklah dapat seseorang dikategorikan sebagai Amil.

Karena berada dalam hubungan ”bekerja”, maka wujud bagian Amil dari harta zakat adalah Gaji atau Tunjangan (upah). Gaji atau tunjangan Amil ditentukan oleh pihak atau institusi yang di tangannya otoritas pengelolaan zakat berada, yakni Ulil Amri atau pemerintah. Pemerintah yang mengangkat dan menugasi Amil, dan pemerintah pula yang mnentukan upahnya. Tidak pada tempatnya pemerintah membiarkan Amil menentukan sendiri dengan leluasa besaran gaji dan tunjangannya, karena pada harta zakat yang mereka urus dan menjadi sumber gaji mereka terdapat pula hak-hak para mustahik lainnya. Membiarkan Amil dengan leluasa menentukan sendiri besaran gaji dan tunjangannya sama artinya dengan membuka pintu lebar-lebar bagi Amil untuk tampil sebagai ”mustahik dominan” yang potensial merugikan hak-hak para mustahik zakat lainnya.

Dalam relasi kerja pada umumnya, penentuan gaji dan tunjangan pada dasarnya boleh dilakukan dengan pola Mu’ayyanah di mana gaji dan tunjangan (ujrah) pegawai sudah ditentukan sebelum pekerjaan dimulai, atau dengan pola Ghairu Mu’ayyanah di mana gaji dan tunjangan (ujrah) pegawai tidak ditentukan kecuali sesudah pekerjaan selesai. Gaji yang ditentukan sesudah pekerjaan selesai besarannya mengacu pada standar kelayakan besaran gaji yang berlaku umum untuk pekerjaan sejenis di lingkungan setempat (ujrah mitsil).

3. Menentukan Kelayakan Besaran Gaji Amil Zakat

Tugas pokok Amil Zakat adalah menjalankan fungsi intermediasi antara para Muzakki dan para Mustahik, yakni mengambil (menerima setoran) zakat dari para Muzakki dan mendistribusikannya kepada para Mustahik (ya’khuz al-zakah min al-muzakki wa yarudduha ila mustahiqqiha).

Di sisi lain, Amil Zakat sendiri, seperti telah dikemukakan, adalah termasuk Mustahik juga. Dengan demikian, Amil berserikat dengan para Mustahik lainnya dalam menghaki harta zakat. Konsekuensinya, harta zakat tidak boleh teralokasi habis hanya untuk membayar gaji Amil. Jika ini terjadi, maka keberadaan Amil malah menjadi faktor penghalang terealisasinya maksud utama disyariatkannya zakat, yaitu agar harta tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja.

Jadi, inti dari pekerjaan pada sektor keamilan tiada lain adalah merealisasikan maksud penyebaran modal dari yang ”kuat” kepada yang ”lemah”, atau membagi kesejahteraan dari mereka yang sudah sejehtera kepada yang belum sejahtera.

Karena itu, pekerjaan keamilan tidak identik dengan pekerjaan pada sektor-sektor usaha komersial yang bertujuan mengembangkan modal atau berorientasi profit. Sebaliknya pekerjaan keamilan tidaklah juga amat kental bersifat sosial, sehingga hak atas upah hanya dimiliki oleh pekerja yang fakir saja, seperti dalam pekerjaan mengurus harta yatim.

Karena itu, dalam posisi berada di antara sektor komersial dan sosial, kelayakan besaran gaji Amil ditentukan dengan prinsip ujrah mitsil sepanjang hal itu tidak mengakibatkan mudlarat pada terealisirnya hak-hak para Mustahik lainnya.

4. Model Penggajian dan Peningkatan Kinerja Amil

Dengan posisi sebagaimana digambarkan di atas, profil ideal para pekerja pada sektor keamilan zakat tentu saja bukan manusia bermental ”pengusaha dan buruh” seperti pada sektor usaha komersial, bukan pula ”relawan sosial” seperti pada pengelolaan harta yatim, tetapi ”relawan profesional”, yaitu mereka yang memiliki keahlian di bidangnya, siap berkhidmah untuk terwujudnya misi zakat, dan rela (memiliki sifat qana’ah) dengan imbalan finansial yang besarannya berselaras dengan tingkat pencapaian misi keamilan yang diembannya.
Dengan demikian, model penggajian yang pas, meski besarannya boleh jadi belum mencapai level ujrah mitsil, adalah model penggajian yang berbasis pada ”prestasi kerja” seperti yang diterapkan oleh kebanyakan organisasi di Jepang.
Adapun besaran gaji sampai pada level ujrah mitsil (layak dan bersaing di pasar), itu harus dicapai dalam trend naik yang berselaras dengan tingkat prestasi keberhasilan Amil itu sendiri dalam mengemban misi pengumpulan dan pendistribusian zakat. Demikianlah, wallahu a’lam.
Surabaya, 22 Pebruari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar