PERAN PERGURUAN TINGGI
DALAM PERBERDAYAAN ZAKAT*
Dr. H. Abd. Salam Nawawi, M.Ag.**
* Makalah dipresentasikan dalam forum Sosialisasi Zakat di Kalangan Siswa dan Mahasiswa di Propinsi Jawa Timur Tahun 2012”, diselenggarakan oleh Kantor Kementerian Agama Wilayah Propinsi Jawa Timur, Kamis 14 Juni 2012 di Tretes Raya Hotel & Resort, Jl. Malabar 168-169 Tretes Prigen, Pasuruan.
** Staf Pengajar pada Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel (Jl. A. Yani 117 Surabaya, Telp/Fax 031-8418457), dan Ketua Komisi Pengawas Badan Amil Zakat Propinsi Jawa Timur (Jl. Raya Dukuh Kupang No. 122-124, Telp./Fax. 031-5613661 Surabaya), Alamat Rumah: Jl. Garuda VI/29 Rewwin, Waru, Sidoarjo, Telp. 031-8536592, 0818573792
Makna Substansial
Secara bahasa, “pemberdayaan” memiliki makna membuat berdaya, atau berkuatan, atau bertenaga. Ketika kata tersebut dirangkai dengan kata “zakat”, maka lahirlah frasa “pemberdayaan zakat” yang memantulkan isyarat bahwa zakat sejauh ini berada dalam kondisi belum berdaya sehingga ia perlu disentuh dengan ikhtiar pemberdayaan.
Dalam syariat Islam, zakat tergolong ibadah utama, yakni sebagai rukun Islam yang ketiga. Perintah untuk berzakat banyak dirangkai dalam al-Qur’an dengan perintah mendirikan salat sebagai rukun Islam yang kedua. Namun demikian tidak seperti salat yang sangat kental aspek ritualnya, zakat sangat kental aspek sosialnya. Maksud substantif dari syariat zakat yang merupakan ibadah maliyah ijtimaiyah ini adalah terwujudnya pemerataan aset finansial, yakni agar harta kekayaan itu tidak hanya beredar di kalangan mereka yang kaya saja.
Dari sini lalu muncul apa yang dinamakan “Muzakki” sebagai pihak yang “wajib berzakat” dan “Mustahik” (sebanyak 8 golongan) sebagai pihak yang “berhak atas zakat”. Satu dari delapan golongan Mustahik itu, yakni “Amil”, ditugasi melakukan fungsi intermediasi antara Muzakki dan Mustahik, yakni merealisasikan pengalihan sebagian aset finansial Muzakki kepada para Mustahiknya.
Secara sosial, hubungan Muzakki-Amil-Mustahik itu menggambarkan moda hubungan antara hak dan kewajiban sosial. Dalam moda hubungan seperti ini selalu saja ada ruang bagi kemungkinan terjadinya apa yang disebut dengan “kezaliman sosial”. Bagi Muzakki, wujud kezaliman sosial itu adalah tidak mengeluarkan zakat sesuai ketentuan. Bagi Amil bentuk kezaliman sosial itu adalah tidak melaksanakan fungsi pengumpulan dan penyaluran zakat dengan semestinya. Sedangkan di kalangan Mustahik, kezaliman sosial itu terjadi ketika pihak-pihak yang bukan Mustahik memosisikan diri sebagai Mustahik.
Nah, dalam konteks ini, makna substansial dari pemberdayaan zakat ialah ikhtiar untuk menutup, atau paling tidak mempersempit, ruang bagi terjadinya bentuk-bentuk “kezaliman sosial” itu tadi sehingga maksud substantif dari disyariatkannya zakat, yakni terjadinya pemerataan harta kekayaan, dapat diwujudkan dengan semestinya.
Regulasi dan Manajemen
Cukup tergambar dalam uraian tentang makna substansial pemberdayaan zakat di atas bahwa ikhtiar tersebut mengait, paling tidak, dua aspek, yakni regulasi dan manajemen.
Ia mengait aspek regulasi karena ikhtiar pemberdayaan zakat itu, seperti dikemukakan di atas, adalah kerja yang berintikan penegakan kewajiban sosial dan pencegahan kezaliman sosial. Karena itu, supaya maksud substantif dari syariat zakat bisa diwujudkan dan peluang kezaliman dalam implementasinya bisa diminimalisasi, maka dibutuhkan regulasi (peraturan perundang-undangan) yang kondusif.
Ia juga mengait aspek manajemen atau pengelolaan karena kerja pemberdayaan zakat yang sesungguhnya justeru berada di sini. Penguatan (impowering) manajemen zakat menyangkut —paling tidak— lima seginya yang pokok, yaitu (1) manajemen sumber daya manusia (SDM) zakat, (2) manajemen pengumpulan (fundraising) zakat, (3) manajemen aset/keuangan zakat, (4) manajemen penyaluran (distribusi) zakat, dan (5) manajemen kepengawasan zakat.
Manajemen SDM zakat berorientasi pada terwujudnya pekerja zakat yang mampu untuk mengampu tugas-tugas keamilan secara bertanggungjawab yang bermuara pada terselenggaranya pengalihan sebagian aset Muzakki kepada para Mustahiknya. Kemampuan tersebut dapat dibentuk, setidaknya, oleh paduan serasi antara pengetahuan mengenai hukum zakat, keterampilan manajerial maupun teknis sesuai bidang-bidang yang diperlukan, dan sikap amanah.
Manajemen pengumpulan (fund raising) zakat berorientasi pada terselenggaranya kerja penghimpunan zakat dengan efektif, efisien, dan tepat. Manajemen pengumpulan zakat dengan kualifikasi seperti ini meniscayakan tradisi kerja berbasis data (Muzakki) dan pola-pola komunikasi yang mampu menumbuhkan trust (kepercayaan) mereka.
Manajemen aset/finansial zakat berorientasi pada terselenggaranya tertib pencatatan/pembukuan aset zakat, tertib pengamanan, dan proporsionalitas rancangan alokasinya yang berpihak pada kepentingan para mustahik.
Orientasi dari manajemen penyaluran (distribusi) zakat adalah tersalurkannya aset zakat kepada yang empunya hak (mustahik) dengan tepat waktu, tepat sasaran, dan tuntas.
Sedangkan orientasi dari manajemen kepengawasan zakat ialah terselenggaranya kepengawasan zakat yang efektif agar fungsi Amil dalam mengalihkan sebagian aset Muzakki kepada para Mustahiknya berlangsung dengan semestinya.
Peran Perguruan Tinggi
Sebagai “dapur” pemikiran dan pengembangan ilmu pengetahuan, perguruan tinggi dapat mengambil peran yang berarti dalam ikhtiar pemberdayaan zakat dari sisi penguatan regulasi. Kalangan perguruan tinggi, misalnya, dapat memainkan peran untuk mengokohkan wacana akademik untuk mengadvokasi perlunya penguatan regulasi zakat berkenaan dengan dua hal berikut ini.
Pertama, berkenaan dengan ”peluang kezaliman” dalam implementasi zakat seperti yang telah disinggung di awal tulisan ini, kalangan perguruan tinggi dapat melakukan advokasi agar,
o kewajiban Muzakki diubah paradigmanya dari ”kewajiban agama yang bersifat pribadi” menjadi ”kewajiban agama yang bersifat sosial” sehingga Muzakki yang tidak membayar zakat dapat dihukum karena melakukan pelanggaran sosial;
o lahir regulasi yang mengatur besaran gaji Amil supaya institusi pengelola zakat ini tidak cenderung tampil sebagai mustahik dominan;
o kelalaian Amil mendistribusikan harta zakat kepada pihak-pihak yang bukan Mustahiknya, dan upaya sengaja pihak-pihak yang bukan Mustahik untuk memperoleh bagian dari harta zakat, mesti dilihat sebagai pelanggaran sosial yang membawa akibat sanksi.
Kedua, berkenaan dengan efektifitas dan efisiensi yang menjadi tuntutan yang niscaya dari pengelolaan zakat yang berdaya. Banyaknya lembaga amil zakat yang turun ke lapangan dalam keadaan tanpa saling bersinergi, secara tidak dapat tidak, akan melahirkan overlapping dan bahkan persaingan. Dalam kondisi seperti itu bisa jadi seorang Muzakki atau seorang Mustahik disasar oleh banyak lembaga amil, sementara Muzakki dan Mustahik lainnya malah tidak terjamah sama sekali. Belum lagi ketika setiap lembaga amil kemudian berlomba membuat iklan dan menerbitkan majalah sendiri-sendiri, jelas ini tidak efektif dan tidak efisien, dan kedua kualifikasi ini tidak selaras dengan nilai-nilai syariat. Dalam konteks ini kalangan perguruan tinggi dapat memainkan peran untuk mengadvokasi agar regulasi zakat tidak memberi peluang keadaan seperti ini terus berkembang. Adanya satu otoritas pengelolaan zakat, sebagaimana pajak, jelas lebih tampak kemaslahatannya daripada keadaan yang berlangsung sekarang ini, dan penguatan regulasi zakat harus berorientasi ke sana.
Di sisi lain, sebagai institusi yang khusus bekerja untuk mencetak SDM terdidik, perguruan tinggi dapat memainkan peran yang berarti dalam ikhtiar pemberdayaan manajemen zakat dari segi penyiapan SDM nya yang handal. Sebab, SDM handal adalah kunci pokok dalam penguatan manajemen zakat pada segenap seginya. Tentu untuk ini, perguruan tinggi harus memberikan perhatian memadai dengan menyediakan menu kurikulum yang relevan dengan kebutuhan riil ikhtiar penguatan manajemen zakat.
Sisi lainnya yang dapat dimainkan oleh perguruan tinggi ialah mengembangkan model-model mikro manajemen zakat yang “berdaya” untuk meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan agama; meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial; meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.
Demikianlah, wallahu a’lam.
Jumat, 15 Juni 2012
Langganan:
Komentar (Atom)