Ada lima perkara penting yang amat dijaga oleh Islam demi terealisasinya kemaslahatan bagi manusia dalam kehidupannya kini dan nanti. Kelima perkara itu adalah 1) agama (al-din), 2) jiwa (al-nafs), 3) akal (al-‘aql), 4) keturunan (al-nasl), dan 5) harta (al-mal).
Untuk menjaga agama (al-din) Islam, setiap muslim digariskan untuk memegangi empat komitmen, yakni komitmen iman, komitmen amal, komitmen dakwah, dan komitmen pertahanan.
Komitmen Iman
Komitmen iman merupakan moda penjagaan agama Islam melalui jalur internalisasi. Komitmen ini menuntut setiap muslim untuk meyakini Islam sebagai satu-satunya bukan salah satu agama yang benar. Keyakinan atas kebenaran Islam ini meliputi dua dimensinya sekaligus, yakni dimensi isi maupun dimensi bingkai.
Pada dimensi isi, Islam diyakini benar dalam arti semua materi ajaran yang diturunkan Allah itu tetap terjaga kemurniannya sampai sekarang. Sisi ini terpulang pada keterjagaan al-Qur’an dari segala bentuk perubahan dan infiltrasi unsur-unsur asing seperti yang digaransi sendiri oleh Allah melalui firmanNya: “Sungguh Kami telah menurunkan adz-Dzikr (al-Qur’an) dan sungguh Kami jua yang selalu menjaganya” (QS 15, al-Hijr: 9). Realitas konkrit dari keterjagaan al-Qur’an adalah eksisnya kitab suci ini dalam teksnya yang asli dan dalam versinya yang tunggal (hanya ada satu versi al-Qur’an di dunia).
Pada dimensi bingkai, Islam diyakini benar dari segi ruang dan waktu yang membinhgkai keberlakuannya. Sisi ini bertemali dengan universalitas subyek kepada siapa nabi pembawa ajaran Islam ini diutus, yakni kepada seluruh manusia atau kaffah li al-nas (QS 34, Saba’: 28). Juga bertemali dengan eternalitas masa kerberlakuannya (sampai akhir zaman) karena nabi pembawa ajaran ini adalah nabi penutup. “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasul Allah dan penutup nabi-nabi …” (QS 33, al-Ahzab: 40).
Menjaga Islam dengan komitmen iman meniscayakan subyek pemangkunya terbebas dari keyakinan sinkretis yang mengarah pada pembenaran ajaran semua agama. Jika pun ada warisan ajaran dari kitab Allah terdahulu yang dari dimensi isi berkualifikasi benar, pastilah warisan ajaran itu dari dimensi bingkai tidak berkualifikasi benar karena masa berlakunya sudah lewat (expired) dan kapling subyek sasarannya sudah tersapu habis oleh universalitas kerasulan Muhammad.
Komitmen Amal
Komitmen amal merupakan moda penjagaan agama Islam melalui jalur eksternalisasi. Komitmen ini tersimpul dengan singkat paling tidak dalam firman-firman Allah berikut ini: “Sungguh Kami menurunkan al-Kitab kepadamu dengan (membawa) kebenaran, maka sembahlah Allah dengan memurnikan agama kepadaNya” (QS 39, al-Zumar: 2); “Katakanlah: Sungguh aku diperintahkan menyembah Allah dengan memurnikan agama kepadaNya” (QS 39, al-Zumar: 11); “Katakanlah: Hanya Allah yang aku sembah dengan memurnikan agama kepadaNya” (QS 39, al-Zumar: 14)”
Menjaga Islam dengan komitmen amal, dengan demikian, adalah mengimplementasikan semua ajarannya dalam spirit mukhlishan lahu al-din (memurnikan agama kepadaNya). Murni itu apa adanya, tidak dicampuri, tidak dikurangi, dan tidak ditambahi. Tentu dalam makna ini, tidaklah dapat dibilang memurnikan agama kepada Allah, individu muslim yang hanya Islam ibadahnya tetapi tidak Islam muamalahnya. Disiplin membayar zakat tapi gigih mengembangkan riba adalah paduan dari dua aksi kesungguhan yang paradoks. Di satu bersemangat menjaga Islam tetapi di lain bernafsu mencampakkannya.
Komitmen Dakwah
Komitmen dakwah merupakan moda penjagaan agama Islam melalui jalur obyektivasi. Jalur ini membawa ajaran Islam yang eksis di bilik-bilik subyektif (baca: dunia individu) bergerak keluar “melanda” alam obyektif (baca: dunia masyarakat).
Dunia (individu dan masyarakat) adalah panggung ujian dengan manusia sebagai aktornya. Aktor yang tengah diuji ini memasuki panggung sebagai subyek yang bebas, yang merdeka, yang tidak dipaksa, yang leluasa memilih aksi yang hendak dimainkannya di panggung dengan penuh kesadaran, dan karena itu adalah juga subyek yang bertanggungjawab atas pilihannya.
Untuk mendapatkan yang terbaik amalnya (QS 11, Hud: 7 dan QS 67, al-Mulk: 2), Sang Khalik selaku penguji memberlakukan aturan main (role of the game) yang liberal sebagai berikut:
“… kebenaran itu datang dari Tuhanmu, maka SIAPA YANG MAU SILAKAN BERIMAN DAN SIAPA YANG MAU SILAKAN KAFIR. Buat mereka yang zalim sungguh telah Kami sediakan neraka yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta minum, mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. Sungguh mereka yang beriman dan beramal saleh, tentu Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang memperbagus amalnya. Bagi mereka surga 'Adn yang di bawahnya sungai-sungai mengalir; mereka di sana dihiasi dengan gelang-gelang emas dan mereka memakai busana hijau dari sutera halus dan sutera tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah. Itulah pahala yang sebaik-baiknya dan tempat istirahat yang indah. (QS 18, al-Kahfi: 29-31)
Karena sedemikian ini aturan main yang berlaku di medan dakwah, maka komitmen dakwah harus mengejawantah dalam aras yang serasi dengan aturan main itu. Karena itu Rasulullah SAW, juru dakwah Islam yang pertama dan utama, implementasi dakwahnya dipagari dengan sejumlah rambu berikut ini.
Pertama, rambu bahwa eksisnya peran-peran antagonistik di medan dakwah adalah sesuatu yang niscaya. Kalau saja Tuhanmu menghendaki demikian Allah menekankan dalam sebagian firmanNya, niscaya semua manusia berada dalam petunjukNya (QS 6, al-An’am: 35, QS 16, al-Nahl: 9); tidak ada manusia yang menyekutukanNya (QS 6, al-An’am: 107); tidak ada manusia dan jin yang menjadi setan dan memusuhi nabi (QS 6, al-An’am: 112); orang-orang musyrik tidak memandang baik perbuatan membunuh anak (QS 6, al-An’am: 137); penduduk Bumi beriman semuanya (QS 10, Yunus: 99); dan manusia menjadi umat yang satu (QS 11, Hud: 118, QS 16, al-Nahl: 33, QS 42, al-Syura: 8).
Kedua, rambu bahwa Rasul masuk ke medan dakwah itu dalam keadaan tidak dibekali pengetahuan tentang siapa-siapa yang berpotensi sesat dari jalanNya dan siapa-siapa yang berpotensi untuk mendapat petunjuk (QS 16, al-Nahl: 105).
Ketiga, rambu bahwa Rasul masuk ke medan dakwah tanpa dibekali otoritas untuk memberi hidayah, bahkan termasuk kepada orang yang dicitainya sekali pun. Otoritas tersebut dipegang sepenuhnya oleh Allah (QS 28, al-Qashash: 56).
Keempat, rambu bahwa adanya orang sesat di medan dakwah tidaklah punya efek bahaya terhadap orang-orang yang beriman apabila mereka berpegang pada petunjuk (QS 5, al-Maidah: 105).
Kelima, rambu bahwa yang boleh mengejawantah di medan dakwah adalah aksi-aksi persuasif yakni: a) Tabligh atau presentasi (QS 3, Ali ‘Imran: 20, QS 5, al-Maidah: 92, QS 5, al-Maidah: 99, QS 13, al-Raid: 90), b) Da’wah atau mengajak dengan bijak, dengan nasehat yang baik, dan dengan dialog yang lebih baik (QS 16, al-Nahl: 125), c) Tadzkir atau mengingatkan (QS 88, al-Ghasyiyah: 21), d) Tawshiyah atau berpesan (QS 103, al-‘Ashr: 3), dan e) Tabsyir atau mengabarkan berita gembira dan Tandzir atau memberi peringatan (QS 2, al-Baqarah: 119, QS 34, Saba’: 28, QS 35, Fathir: 24).
Keenam, rambu bahwa yang tidak boleh mengejawantah di medan dakwah adalah aksi-aksi kasar dan melecehkan seperti: a) Ikrah atau pemaksaan (QS 2, al-Baqarah: 256, QS 10, Yunus: 99), dan b) Sabb atau caci-maki (QS 6, al-An’am: 108).
Komitmen Pertahanan
Komitmen pertahanan merupakan moda penjagaan agama Islam melalui jalur advokasi ketika hadir kekuatan destruktif, baik dari kalangan eksternal (non muslim) maupun dari kalangan internal (muslim), yang hendak menjauhkan umat muslimin dari kehidupan damai yang realisasinya menjadi tujuan substansial dari ajaran agama mereka (Islam).
Jika kekuatan kontra damai itu datang dari kalangan eksternal (non muslim), maka komitmen pertahanan yang digariskan Islam (seperti diajarkan Nabi dalam hadis yang diriwayatkan Muslim) melarang umat Islam menghadapinya dengan kekuatan senjata (perang) kecuali sesudah langkah-langkah persuasif yang mereka tempuh berikut ini direspons dengan penolakan.
Pertama, langkah ajakan agar mereka masuk Islam. Jika mereka menerima dan mau bermigrasi (hijrah) ke negeri muslim, maka mereka memperoleh perlakukan yang sama dengan kaum muslimin yang sudah bermigrasi ke negeri muslim. Jika mereka memilih tidak bermigrasi, maka seperti kaum muslimin lainnya yang berdomisili di luar negeri muslim hukum-hukum Allah berlaku atas mereka dan mereka tidak mendapat bagian dari harta fay’ dan ghanimah kecuali jika mereka berjihad (berperang) bersama kaum muslimin.
Kedua, setelah langkah pertama ditolak langkah ajakan untuk hidup berdampingan secara damai di mana mereka dapat hidup aman dalam agama/keyakinan mereka di bawah perlindungan dari otoritas keamanan muslim dengan kompensasi pembayaran jizyah/pajak dari mereka.
Jika mereka menolak dan bersikukuh untuk memerangi kaum muslimin, maka komitmen pertahanan Islam yang cinta damai menggariskan: ”Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (QS 2, al-Baqarah: 190)
Perang yang tidak melampaui batas adalah perang yang diselenggarakan sekedar untuk menundukkan kekuatan destruktif yang kontra damai. Karena itu etika perang dalam Islam melarang pejuang muslim untuk: a) membunuh musuh dengan disertai perusakan wajah; b) membunuh warga sipil yang tidak melibatkan diri dalam perang seperti wanita, orang tua, dan anak-anak; c) merusak tempat-tempat ibadah, dan d) merusak tanaman (lingkungan hidup).
Jika kekuatan kontra damai itu datang dari kalangan internal (muslim), maka komitmen pertahanan Islam menggariskan tindakan sebagai berikut: ”Dan kalau dua golongan dari kalangan orang-orang yang beriman berperang, damaikanlah keduanya! Jika yang satu bertindak melampaui batas terhadap yang lain, perangilah yang melampaui batas itu sampai mereka kembali pada perintah Allah. Kalau mereka sudah surut, damaikanlah keduanya dengan adil, dan berlakulah adil, sungguh Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS 49, al-Hujurat: 9)
Empat komitmen penjagaan agama yang digariskan Islam di atas merangkai dengan serasi nilai-nilai kebebasan, keyakinan, konsistensi, tanggungjawab, kelembutan, keteguhan, proporsionalitas, dan keadilan. Inilah pijakan substansial yang mengantar umat Islam hadir sebagai ummatan wasathan yang menyuguhkan moderasi ke tengah kehidupan publik dunia yang cenderung membelit diri dengan ekstrimitas.
Kaum minoritas dengan agama dan keyakinan apa pun yang mau hidup berdampingan dengan damai akan aman dan terlindungi di tengah mayoritas umat muslim yang menjaga agamanya dengan cara Islam. Jika tidak, tentu pihak mayoritas muslim tidak lagi konsisten menjaga agamanya dengan acara Islam. Wallahu a’lam (Abd. Salam Nawawi).
Sabtu, 12 Maret 2011
Langganan:
Komentar (Atom)